Hari ini, Ridho sedang mencoba keberuntungannya bertamu ke rumah nenek tirinya. Ini kunjungan yang ke lima.
Empat kunjungan sebelumnya, hanya sekali yang diterima. Tiga kunjungan lainnya ditolak mentah-mentah. Tante Soraya tidak mood bertemu dengan siapapun. Terutama dengan Ridho.
Sekian detik kemudian, matic yang sudah setia menemaninya sejak kelas satu SMP, melaju perlahan meninggalkan pos penjagaannya. Melanjutkan perjalanan menuju salah satu rumah yang lokasinya paling ujung.
'Sabar Dho, jangan ciut nyali lu. Ini demi masa depan keluarga lu. Sekali layar terkembang pantang surut perjuangan. Jangan pulang dengan membawa hati yang bimbang. Perjuangkan hak kalian sebagai cucu keluarga Ibrahim Alarkam, juragan minyak dari Timur Tengah, hehehehe.' Sisi hati Ridho menghibur sekaligus mengomporinya.
Dengan kecepatan yang sesuai dengan instruksi dan peraturan yang terpampang di beberapa marka jalan. Ridho mengendalikan motornya dalam kecepatan yang tidak lebih dari 30 kilo meter per jam.
Melintasi jalan aspal yang super rata dan licin. Jika matahari sedang bersinar terik, maka sepanjang jalan itu akan tetap terasa teduh. Rimbunan Bougainville, Nusa Indah, Kayu Manis dan Palm Raja yang berjejer rapi akan melindungi dari sinar matahari siapapun yang melintas di bawahnya.
'Bro, lu mau ketemu siapa? Tante Soraya, nenek tiri lu? Sejak kapan dia mau mengakui lu sebagai cucunya? Lu masih belum nyadar? jangankan mengakui lu sebagai cucunya, dipanggil nenek saja dia gak mau. Bukankah lu harus memanggilnya Tante? Ngaca bro, ngaca!’ Ridho kembali terkekeh tanpa suara
‘Gak mungkin Tante Soraya yang terlahir dari keturunan darah ungu kebiru-biruan pemilik warisan yang gak bakal habis sembilan turunan itu mau punya cucu miskin seperti lu! Lihat motor yang lu kendarai? Itu lebih layak disebut besi tua, Bro! hahahaha.' Ridho masih tak puas mentertawakan dirinya sendiri.
Tante Soraya istri ketiga Kakek Ibrahim. Istri yang paling disayangi dan sangat mendominasi pada seluruh sendi kehidupan Kakek Ibrahim. Istri pertama Kakek Ibrahim, sudah meninggal dunia jauh sebelum Ridho terlahir.
Walau usia Tante Soraya relatif muda, tetapi semua cucu yang diakui oleh Kakek Ibrahim wajib memanggilnya nenek. Kecuali Ridho dan adik-adiknya.
Tak sampai lima menit, Ridho sudah sampai di depan sebuah rumah yang model dan ukurannya sedikit berbeda dari bangunan sekitarnya.
Pintu gerbang yang kokoh terlihat gagah dan anggun dengan ornamen khas Timur Tengah yang didominasi warna kuning gading keemasan.
Ridho memarkir motor maticnya di samping kanan pintu gerbang. Motor tua itu tidak tidak boleh ikut masuk ke halaman rumah yang lebih layak disebur istana. Barang rongsokan tak diizinkan ada di sekitar sana.
Walau tidak tertulis dalam aturan yang disodorkan petugas tadi, tapi Ridho sudah sangat paham dengan aturan tambahan itu. Karena beberapa bulan yang lalu, saat kunjungan pertama, dia terpaksa harus mengeluarkan kembali motornya.
Kunjungan Ridho kali ini merupakan manifestasi kekonyolan sekaligus kenekatan dirinya. Sudah berulang kali mamanya mewanti-wanti agar dia tidak mendatangi, mendekat apalagi masuk ke rumah nenek tirinya itu. Walau ada kepentingan yang sangat mendesak sekalipun.
Namun Ridho terpaksa tidak mengindahkan pesan mamanya itu. Dia tidak tahan sekaligus tak tega melihat adiknya yang sedang sakit selalu menyebut dan memanggil-manggil ayahnya. Ada juga hal lain yang tak kalah pentingnya yag harus disampaikan langsung pada ayahnya. Sudah lebih dari dua lima Pak Fuad tidak pulang tanpa kabar dan tanpa meninggalkan serupiah pun uang untuk keluarganya.
Ridho membuka helm dan merapikan rambut, wajah serta pakaiannya. Setelah itu ia berjalan mendekati tombol bel yang menempel di salah satu pilar pintu gerbang.
Seulas senyum tersungging. Sebuah harapan tersirat dari wajahnya. Tante Soraya yang sudah tiga kali menolaknya, mau berbaik hati mengizinkannya untuk memijat bel sakti itu. Walau hanya 9 menit waktu yang disediakan, namun itu jauh lebih baik daripada tidak diterima sama sekali.
Remaja paling nekat itu menarik napas panjang, lalu mengarahkan tangannya pada tombol kuning merah. "Bismillahirrahmanirrahim," bisik Ridho nyaris tak terdengar.
Dan suara bel pun berbunyi tiga kali.
Jantung Ridho tiba-tiba berdetak kencang. Pikirannya mendadak kalut, menebak apa yang akan terjadi di dalam nanti. Apakah sang Tante akan memperlakukannya lebih baik atau lebih buruk dari sebelumnya?
'Ya Allah, lindungi hambaMu dari segala hal yang menakutkan dan menyakitkan, Amin ya Robal Alamin.' Ridho berdoa dalam hati, seraya menatap langit yang kian menghitam. Embusan angin pun makin kencang. Menggoyangkan seluruh pepohonan yang diterpanya.
Tak lama kemudian, pintu samping gerbang yang lebarnya kurang lebih satu meter, perlahan terbuka.
Ridho segera membungkuk dan mengangguk hormat pada seorang wanita berusia kurang lebih 40 tahun yang membuka pintu.
Dengan bahasa yang sangat santun, serta gestur tubuh khas asisten rumah tangga di sinetron-sinetron, wanita patuh baya itu mempersilakan Ridho masuk.
'Semoga usaha gua menjemput impian mama dan adik-adik gua tidak berakhir sia-sia.' Ridho masih sempat berharap sebelum memasuki pintu yang hanya muat untuk satu orang dewasa.
Namun semangat yang tadi sempat menyala, kini tiba-tiba redup. Langkahnya pun mulai sedikit canggung. Secangkuk ragu dan pesimis seketika meyelimuti jiwanya saat menatap seorang wanita berusia 40 tahun berdiri angkuh di beranda depan rumah megah.
"STOP!" Bentakan Tante Soraya sontak menghentikan langkah Ridho pada jarak kurang lebih dua meter darinya.
"Ridho! sebenarnya maunya kamu apa? Sudah berapa kali aku melarangmu datang ke sini? Jangan pernah menginjakan kaki lagi di rumahku yang megah dan suci ini!" Tante Soraya menyambut Ridho dengan hardikan dan sumpah serapahnya.
Ridho berdiri kaku. Beberapa saat tertegun di halaman. Walau ia sudah menduga akan mendapat caci maki dari ibu tiri ayahnya, namun tak menduga sumpah serapahnya menjadi salam pembuka.
Enam menit yang tersedia memang tidaklah panjang. Sepertinya akan Tante Soraya habiskan dengan efektif dan efesien. Dia bahkan tak mengizinkan Ridho untuk menginjak lantai keramik teras yang berkilau.
"Saya mau menanyakan keberadaan ayah, Tan." Ridho yang dilarang memanggil nenek itu, menjawab santun setelah rasa terkejutnya sedikit berkurang.
"Hah! Fuad tidak pulang lagi ke rumahmu? Sudah berapa lama?" Wanita penggemar baju kaftan kelelawar saat berada di rumah itu bicara lantang dan arogan.
"Sudah lebih dari lima bulan. Barangkali dia ada di sini, Tan." Ridho berusaha menguasai diri. Menenangkan degup jantungnya yang mendadak dinamis. Firasat buruknya berbisik jika sekarang tidak akan lebih baik dari sebelumnya.
"Ya! Fuad sudah beberapa kali datang ke sini, suka-suka dia saja. Karena ini rumah orang tuanya. Jadi wajar kalau dia datang ke sini." Tante Soraya menyilang kan kedua tangan di dadanya. Sorot mata bening dan tajam di bawah alis tebalnya sangat mengintimidasi.
Sementara wanita yang tadi membukakan pintu, berdiri ketakutan di samping belakang sang majikan.
"Kalau nanti ayah datang lagi ke sini, tolong sampaikan pada beliau untuk segera pulang. Si Dede sedang sakit keras, setiap hari nanyain ayah, mungkin kangen." Ridho menyatukan dua telapak tangan dan meletakkan depan wajahnya yang menunduk. Memohon dengan sangat. Andai diminta untuk bersujud pun tentu akan dia lakukan asal permohonannya dikabulkan.
"Hah! enak aja kamu nyuruh-nyuruh aku. Emang kamu pikir siapa dirimu?" ketus Tante Soraya sambil mendongak angkuh.
"Saya mohon kesediaan Tante untuk sedikit membuka hati demi adik saya, cucu Tante juga." Ridho kembali memelas.
"Heh Ridho! Jangan ngomong sembarang kamu!" Tante Soraya berkacak pinggang.
"Ingat! Keluarga besar Ibrahim tidak pernah mengakui mamamu sebagai menantu. Jadi kalian bertiga bukan cucuku. Kamu jangan bermimpi apalagi besar kepala karena menyandang nama besar Ibrahim Alarkam. Seenaknya saja kalian mengaku cucuku. Fuad bin Ibrahim Alarkam masih bujangan." Tante Soraya makin lantang.
Sikap santun dan hormat Ridho, sama sekali tidak mampu membukakan hati Tante Soraya. Wanita bengis yang hatinya sudah membatu itu tidak pernah mau mengabulkan apapun permohonan Ridho.
Bahkan untuk hal yang paling sederhana sekalipun.
^^^