Chapter 2

1534 Words
"Mati lampu," jawab Ghifan. "Jadi lift berhenti." "Hum? Mati lampu? Lift berhenti?" gadis yang masuk dari lantai empat itu terlihat ngeri sekaligus senang. Tiba - tiba, dia merasa jantungnya berdetak cepat. Berderak cepat bukan karena takut, tapi karena bau di dalam lift itu adalah bau harum pria yang berada bersamanya di dalam lift bercampur dengan parfum yang dia pakai. Ini …. Aku satu lift dengan dia …. Batin gadis itu. Blush. Biarpun mati lampu dan tidak bisa melihat wajah satu sama lain di dalam lift itu, gadis itu tetap merasakan bahwa pipinya memerah, panas di pipi membuatnya menyentuh dua pipinya. Ghifan merogoh ponsel dari dalam saku celana yang dia pakai. Saat layar ponsel itu menyala, terlihat gambar wajahnya bersama dua perempuan terkasih dalam keluarganya, yaitu di sebelah kanan adalah ibu dan di kiri adalah adik perempuannya. Dapat terlihat jelas bahwa dua perempuan itu memakai kerudung dan baju gamis mewah. Dua telapak tangan dari dua perempuan itu saling bersentuhan memberi tanda selamat hari raya. Blush. Wajah gadis yang bersama Ghifan lagi - lagi memerah saat melihat gambar wallpaper di ponsel Ghifan. "Uamph!" gadis itu berusaha untuk menutup mulutnya agar tidak menjerit. Menjerit senang. Ghifan merasa sedikit aneh pada gadis yang berada di dalam lift bersamanya. Dia menyalakan senter ponsel agar ruang di dalam lift itu sedikit mendapat cahaya terang. Lalu dia melirik ke arah kanan, "Nona, Anda tidak apa - apa?" tanya Ghifan ke arah gadis yang ada bersamanya ke dalam lift. "Huh!" gadis itu terkaget lalu termundur satu langkah ke belakang. Ghifan, "...." er … mungkin gadis ini takut karena lift berhenti dan gelap. "Tidak apa - apa, mungkin sedikit lagi lampu akan menyala dan lift akan bekerja," ujar Ghifan menenangkan. Gadis itu hanya diam. Ghifan merasa bahwa sudah lebih dari lima menit lift ini mati, jadi dia berusaha untuk menelepon orang di dalam restoran. "Ya ampun, aku lupa, ini di dalam lift. Tidak ada sinyal," desah Ghifan. Sepuluh menit kemudian. Ghifan mengipasi di sekitar leher dan wajahnya, udara mulai terasa panas dan pengap. Gadis yang berada di sebelah kanan Ghifan sedari tadi terlihat diam dan menunduk.  Dalam hati Ghifan, apakah gadis ini tidak merasa kepanasan? Dia saja sudah merasa gerah. Sepuluh menit kemudian. Ghifan benar - benar merasa bahwa dia tidak akan bisa bernapas lagi. Dia ingin berteriak lantang di dalam lift. Namun, mengingat gadis yang berada bersamanya di dalam lift tak membuka suara keluhan apapun, Ghifan berusaha untuk menahan teriakan frustasi itu. Cukup. Dia tidak tahan lagi. Ghifan mulai maju lalu mengetuk seakan ingin mendobrak pintu lift. Empat menit kemudian. Menyerah. Ghifan menyerah, mau sekuat apapun dia mengetuk sampai mendobrak atau bahkan menendang pintu lift, lift itu tidak akan terbuka. Ghifan bersandar di dinding pintu lift menghadap ke arah gadis yang ada bersamanya di dalam lift. Ghifan heran, gadis yang ada bersamanya itu terlihat diam saja tanpa bersuara. Tunggu, diam saja tanpa bersuara. Apakah dia masih bernapas? Pikiran buruk sudah mulai menghantui Ghifan. Jangan sampai gadis itu tidak bernapas, alamat dia akan satu lift dengan …. Ting. Pintu lift terbuka. Ruang lift terlihat terang karena cahaya dari luar, ditambah lagi dengan ada dua senter besar dari mekanis yang ditujukan ke dalam lift. Ghifan berbalik. "Anda tidak-astaga! Tuan Ghifan!" mekanis dan asisten manager melotot kaget ke arah Ghifan yang bermandikan keringat. Ghifan hendak keluar dari dalam lift, jujur saja, dia sudah tidak sanggup lagi berlama - lama berada di dalam lift. Namun, dia berhenti lalu berbalik ke belakang. °°° Sret. Sapu tangan kain disodorkan ke arah gadis yang sedang bercucuran keringat. Ghifan merasa sangat prihatin pada gadis itu. Wajah, pelipis, kening, bahkan leher penuh dengan butiran besar keringat. Baju dres coklat yang dipakai gadis itu terlihat basah karena keringat hasil dari berdiri diam di dalam lift yang tertutup pengap, panas dan kurangnya oksigen. Blush. Wajah gadis itu memerah tersipu malu. Ghifan berpikir, mungkin terjebak di dalam lift membuat psikologis gadis ini agak terguncang. "Nona, apakah Ansa tidak apa - apa?" "Um? Ah … ya … m-maaf." Gadis itu meraih sapu tangan yang diberikan oleh Ghifan. Ya ampun. Sapu tangan! Aku memegang sapu tangan miliknya! Batin gadis itu menjerit senang. "Dipakai saja untuk menyeka keringatnya, Nona. Tidak apa - apa," ujar Ghifan. "Ah … ya … um … terima kasih." Blush. Memerah lagi. Ghifan tersenyum kecil tanpa sadar. Gadis ini tersipu terus. Lalu dia selalu menunduk. "Ayo, diseka saja keringatnya," ujar Ghifan setelah menunggu gadis yang dia pinjamkan sapu tangan tak berniat menggunakan sapu tangannya untuk menyeka keringat gadis itu. Gadis itu cepat - cepat menyeka keringatnya. Setelah selesai menyeka keringat, dia bingung, apakah harus mengembalikkan sapu tangan itu ataukah tidak. Ghifan menyodorkan tangannya. Ah, rupanya dia sudah meminta sapu tangan ini. Batin gadis itu agak sedih. "Ghifan." "...." Gadis itu mendongak lalu mematung. Melihat bahwa gadis yang dia ajak kenal tidak merespon, Ghifan tersenyum maklum, tangannya masih terjulur ke arah gadis itu. "Nama saya Ghifan." Ghifan memperkenalkan dirinya sekali lagi. Lama gadis itu tidak merespon, Ghifan berpikir mungkin gadis ini malu. Dia hendak menarik kembali tangannya. Hap. "T-tini! Syarastini!" "...." Untuk beberapa detik ruang itu sunyi. Gadis yang bernama Syarastini itu kelabakan berteriak namanya. "M-maaf." Syarastini menunduk. Blush. Memerah lagi. "Hahahamph!" Ghifan cepat - cepat menutup mulutnya karena tiba - tiba tertawa spontan. Tangannya masih digenggam erat oleh Syarastini. "Em … Nona, maaf tangan saya, bisa saya ambil kembali?" "Ah!" Syarastini kelagapan salah tingkah. Tini! Syarastini! Kenapa kamu sembarangan ngaur. Ghifan tersenyum kecil. "Ini pertama kali kami bertemu, saya baru mendengar nama Syarastini," ujar Ghifan setelah Syarastini melepaskan genggam tangannya. Blush. Syarastini menunduk lalu tersipu malu.  Ini … Bukan pertama kali. Ingin rasanya Syarastini mengatakan kata itu pada Ghifan, namun harus ditahannya. Syarastini tidak ingin menyahut ucapan Ghifan bahwa mereka baru pertama kali bertemu hari ini, sebab dalam ingatan Syarastini, hari ini bukan pertama kali mereka bertemu. Ghifan melihat jam tangan, sudah pukul delapan lewat empat puluh menit. Setengah jam terkurung di dalam lift dan lima belas menit menghirup udara segar sekalian bertegur sapa dan berkenalan dengan gadis yang bernama Syarastini ini. "Em, ini sudah hampir jam sembilan malam, sepertinya saya harus pulang ke rumah," ujar Ghifan. "Ah, ya! Pulang ke rumah!" Syarastini baru kaget bahwa dia juga belum pulang sudah jam begini. Dia cepat - cepat berdiri lalu ingin pamit. "Tini." Syarastini berhenti melangkah, dia mematung. Namaku dipanggil. Ya ampun. Dia berbalik perlahan ke arah Ghifan. Wajahnya terlihat seperti biasa, memerah. Ghifan tersenyum. Dia tersenyum lagi. Ya ampun. Batin Syarastini.  Ghifan menyodorkan tangannya ke arah Syarastini. Syarastini hanya diam, dia tidak tahu apa maksud Ghifan menyodorkan tangannya ke arahnya, bukankah mereka telah berkenalan tadi? Ah, apakah ingin mengajak pulang "Sapu tangan saya." Syarastini, "...." Tuhan, betapa malunya aku. Hampir saja dia membawa lari sapu tangan orang. Dengan perlahan menahan malu, Syarastini memberikan sapu tangan kain pada Ghifan. Sret. Tak tak tak. Syarastini berbalik lalu cepat - cepat berlari kecil agar Ghifan tidak melihat wajah memerah tersipu nya.   Ghifan hanya tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya. °°° Mobil mungil yang dikemudikan oleh Syaratini memasuki gerbang rumah mewah dua lantai. Syarastini memasukka mobil ke dalam garasi lalu dia masuk ke dalam rumah. "Assalamualaikum," salam Syarastini ketika memasuki pintu rumah. "Wa alaikumsalam," balasan dari seorang perempuan paruh baya berdaster. "Eh, Non Tini udah pulang," ujar perempuan paruh baya itu. Syarastini tersenyum, "Tini tadi terjebak di dalam lift, Bi. Lampu di restoran mati, jadi lift juga ikutan mati. Lumayan lama," balas Syarastini. Bibi asisten rumah tangga manggut - manggut mengerti. "Oh, begitu toh. Pantesan Non Tini pulangnya agak telat nggak seperti biasanya jam delapan udah di rumah." "Mama dan yang lainnya pasti udah istirahat yah? Tadi soalnya Tini minta ijin keluar bareng teman, soalnya mereka udah dapat kerja dan mau ke luar daerah, ada juga mau ke luar negeri," ujar Syarastini. "Udah, Non. Tuan dan Nyonya udah istirahat pas setelah makan malam tadi, kalau Kakek Non udah tidur, Non Tia lagi di ruang kerja buat tinjau laporan dan berkas dari kantor, soalnya kerjaan dibawa pulang dari kantor," balas Bibi asisten rumah tangga. Syarastini mengangguk mengerti. "Kalau gitu, Tini masuk ke kamar, yah Bi. Mau mandi lalu istirahat, tadi badan penuh keringat." "Non udah makan? Kalau belum, Bibi sipakan makan malam, yah?" tanya Bibi asisten rumah tangga. Syarastini mengangguk, "Tini udah makan, Bi, tadi di restoran bareng teman - teman. Kalau gitu Tini masuk, yah ke kamar." "Baik, Non." °°° Setelah sehabis mandi, Syarastini duduk di depan meja rias lalu memandangi wajahnya yang memerah. Dia mengingat lagi perkenalannya bersama pria bernama Ghifan itu. Syarastini melirik ke arah tangan kanannya, tangan di mana dia hari ini untuk pertama kali menyentuh tangan Ghifan setelah sekian lama. "Ya ampun. Rasanya kok seperti empat tahun lalu, yah? Hiii!" Syarastini menutup wajahnya karena tersipu malu. "Aduh, aku kok nggak bisa tidur sih?" Syarastini mulai mengipasi wajahnya. Sepertinya malam ini dia tidak bisa tidur. Syarastini mengambil ponsel lalu terlihat mengirim pesan pada seseorang. 'Rin, besok kalian masuk seperti biasa, kan?' Setelah mengirim pesan, Syarastini tidak sabar untuk menunggu pesan balasan. Sepuluh menit Syarastini menunggu bagaikan sepuluh tahun. 'Sorry baru balas, abis mandi. Yoi, besok masuk seperti biasa. Nanti kalau ada apa - apa gitu, aku hubungi.' Syarastini dengan cepat membaca pesan balasan. Dia mengangguk semangat. "Berarti besok Ghifan masuk kerja seperti biasa." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD