Nama yang Hilang

2397 Words
Provinsi Timur, "Yaa aku berangkat, aku berangkat! Berhenti berteriak!" Bentakan melengking disusul bunyi gebrakan pagar kayu mendecit keras. Son, melindungi telinganya secepat yang dia bisa. Kepalanya menggeleng tiga kali pelan, sambil mengelus d**a dan menghembuskan nafas panjang. Dia menutup matanya. "Selalu. Setiap pagi. Terlambat." Dia mengeluh kemudian. Suaranya pelan, bertambah pelan dan menghilang diakhir kalimatnya. Son, Masih terpaku di depan pagar kayu, melihat Ara pergi berlari semakin jauh dari rumah itu hingga tak terlihat lagi. "Kalau kau tidak suka hidup seperti ini, seharusnya kau hentikan saja, Ara. Lalu berteriaklah pada dunia bahwa kau masih hidup. Beritahu mereka siapa nama aslimu dan temui Angkasa kapan pun kau rindu padanya." Ara, satu-satunya nama yang terpikirkan olehnya demi bertahan hidup dan bersembunyi dari dunia. Dia, Lunaviza Askira. Seseorang yang selama ini sangat kita kenal dengan panggilan Naviza. Tapi nama itu, menghilang lima tahun silam.  ֎֎֎֎ Ara masih berlari mengejar garbang sekolah yang bahkan sudah tertutup rapat. Dia terlambat. Lagi. "Aahh.. lagi?" desisnya kesal.  Terdiam di depan gerbang sekolah tinggi umum provinsi timur. Gerbang yang terlalu tinggi untuk ia panjat dengan tangan kosong. Dia mendongak ke langit. Mengambil nafas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Keringatnya menetes dari pelipis kanan. Hari ini dia tidak boleh terlambat masuk kelas, ada ujian tulis sejarah yang sangat penting untuk hidup dan matinya sebagai mahasiswa tingkat 1 di sekolah itu. Selisih waktu antara kelas sejarah dengan jam masuk sekolah hanya 10 menit. Dia sudah terlambat 2 menit, sehingga waktu yang tersisa tinggal 8 menit. Ara mundur beberapa langkah ke belakang, menjauh dari gerbang itu. Mengambil ancang-ancang untuk meluaskan pandangan. Matanya menelisik ke kanan dan kiri sepanjang pagar sekolah yang tinggi menjulang ini. "Semua ketinggiannya sama.. " dia sedikit kecewa. Dahinya mengerut ke atas saat bibirnya menggerutu pelan. "Baiklah, aku terpaksa melanggar janjiku sendiri." Dia segera balik badan, berlari ke sisi kanan sekolah. Mundur lagi beberapa langkah ke belakang, dan mengambil posisi kuda-kuda, kedua kakinya sudah kokoh. Ara berlari ke pagar, dalam satu kali lompatan dan tendangan ke pagar, dia berhasil mencapai atap pagar dan melayang melewatinya. Pendaratan sempurna. "Huh.." hembusan nafas cepat. "Ini bahkan lebih mudah dari perkiraanku." Ara berlari mengejar kelas sejarah. Bangunan sekolah itu tidak serumit sekolah tinggi ilmu pedang IbuKota yang memiliki banyak lorong dan ruang tersembunyi. Gedung sekolah ini besar, dengan design yang sederhana, tidak terlalu banyak lorong, ruangan-ruangannya tertata rapi berbaris di sepanjang lorong utama dari pintu masuk. Jadi sebenarnya sangat mudah menemukan dimana ruang sejarah pagi ini. Dia akhirnya sampai. Ruang sejarah tingkat 1.  Ara mengatur nafasnya sebentar. merapikan rambutnya, dan meluruskan pakaiannya yang kusut karena tingkahnya. Satu langkah masuk ke ruangan itu, dia harus terlihat seperti bagaimana Ara dikenal. Bukan bagaimana Naviza bertingkah seperti di sekolahnya dulu.  Ara menyiapkan diri, dia masih berdiri di depan pintu. Mengambil satu buku untuk dia letakkan di depan dadanya, lalu melangkah masuk kelas dengan langkah yang sangat pelan dan lemah, dengan kepala tertunduk. Benar-benar seperti mahasiswa yang baik-baik dan lugu. Hari ini dia berhasil tidak terlambat. "Ara!" seseorang memanggilnya terlalu kencang. "Araaaa...." suara itu lagi, semakin mendekat. Lengannya tertarik ke bangku tengah dan dia terduduk tepat saat Dosen masuk ruangan. Suara itu menyelamatkannya hari ini. "Nam, terima kasih," bisik Ara pelan. Nam, dia teman sebangkunya. Gadis yang cukup berani dan sedikit tomboy, tapi juga penakut pada beberapa hal. Nam bahkan yang selalu melindungi Ara ketika mahasiswa lain mencoba berbuat jail kepadanya. Berkat keberadaan Nam, dia mampu memainkan dirinya sebagai Ara dengan baik. Benar-benar menjadi mahasiswa baik-baik yang jauh dari perkelaihan, ataupun konflik. Satu-satunya hal yang dia benci adalah, Ara harus menyembunyikan kemampuan bela diri nya juga, terutama saat kelas bela diri. Dia terpaksa menerima semua pukulan teman-temannya dan selalu mendapat luka memar di sekujur tubuhnya setelah kelas bela diri selesai. Ara sangat membencinya. "Ssst, hei Ara .. " bisik Nam pelan, selagi dosen masih berdiri di depan, sepertinya Nam tidak ingin melewatkan kesempatan bertanya pada saat-saat terakhir. "Ada apa?" sahut Ara sambil menundukkan kepala. "Kau sudah belajar?" kali ini Nam berbisik sambil menutupi mulutnya "Tentu saja. Kau tidak?" balas Ara sedikit khawatir. "Kita mendapat Dosen sejarah baru mulai hari ini. aku dengar semua soalnya baru dan dosen baru yang membuatnya sendiri," bisik Nam, suaranya lebih khawatir dibanding Ara. Ara sedikit mendongak ke depan, dia ingin melihat wajah dosen sejarah yang baru. tapi meja dosen kosong, hanya ada tasnya saja. Matanya menelisik ke seluruh ruang kelas mencari keberadaan dosen baru itu. Yang dia temukan justru teman-temannya yang terperangah tidak sadar mengagumi ketampanan dosen baru mereka. Ara  belum menemukan dimana dia. "Kau, mencari ku?" Ara segera berbalik, suara itu tepat dari belakang kursinya. Ara menatapnya sebentar, dengan ekspresi wajah yang datar, sangat berbeda dengan mahasiswi lain yang begitu terperangah hingga lupa segalanya. "benar, anda belum memperkenalkan diri kepada kami," jawab Ara dengan berani, Tapi walau bagaimana pun dia tidak boleh terlihat menonjol dibanding teman-teman lainnya, jadi dia mengucapkannya dengan suara yang ragu-ragu dan sedikit ketakutan. "Ah ya.. benar, aku hampir lupa." Dosen baru itu tersenyum di akhir kalimatnya, Lalu dia berjalan ke depan kelas lantas berbalik badan dan menyapa mahasiswanya. "Selamat pagi anak-anak. mulai hari ini saya akan menjadi dosen pengganti untuk mata kuliah sejarah kalian yang baru. kalian bisa memanggil saya, Regha." Seperti biasa, mahasiswa tingkat 1 yang masih labil di usia mereka, mudah terpesona pada pandangan pertama, mudah terbius hanya dengan ketampanan. Semua mahasiswi di kelas itu tersenyum kegirangan menahan rasa bahagia. Mereka memiliki dosen impian sekarang. "haruskah mereka seperti itu?" bisik Ara pelan. Dia kembali menundukan kepalanya, menyembunyikan sedikit rasa jijik karena sikap teman-teman kelasnya. Hanya semenit, lalu ekspresinya kembali normal. "Pak Regha," seru Nam tiba-tiba. "Anda terlihat masih sangat muda, boleh kami tahu berapa usia anda, Pak?" Mahasiswi lain ikut menyoraki, mereka sama penasarannya dengan Nam. Tapi, Regha membalas mereka dengan senyum yang ramah. "Ah, kalian penasaran? Tentu.. akan bapak beritahu. Tapi hanya untuk yang memperoleh nilai tertinggi di kelas ini. bagaimana?" jawab regha merasa menang. "Oke, karena semua sudah mendapatkan soal dan lembar jawabannya, sekarang silahkan kalian kerjakan. Hanya ada 5 soal disana. Jadi 30 menit cukup ?" lanjut Regha. Dan kelas sunyi seketika. Tidak ada yang berbicara sedikit pun. Semua serius mengerjakan 5 soal itu, sebab mereka ingin menjadi peraih nilai tertinggi dan mendapatkan hak mendengar jawaban dari Regha. Ara tercengang membaca soal itu. Bukan karena ini soal yang terlampau sulit untuknya. Sejarah adalah keahliannya, itu juga salah satu alasan yang membuat dirinya menjadi anggota Intelejen Kerajaan lima tahun silam. Sekolah tinggi tingkat 1 bukan pertama kali untuknya, dan tentu saja ini bukan sebenar-benarnya level dia. Sesulit apapun soal sejarah di sekolah, pasti bisa dia kerjakan, sebab semua soal itu ada jawabannya, tidak seperti memecahkan teka-teki sejarah dari warisan raja yang entah dimana jawabannya tidak pernah ditemukan. Tapi soal yang diberikan Regha ini, benar-benar membuatnya terdiam. 1. Ceritakan bagaimana insiden benang merah lima tahun lalu berhasil diselesaikan 2. Menurutmu, siapa yang paling berjasa dalam usaha kerajaan menumpas benang merah 3. Apa yang kalian tahu tentang bangsa Vocksar 4. Studi kasus : jika seandainya kerajaan sedang dalam ancaman bahaya besar, dan raja sangat membutuhkan kekuatan, sementara satu-satunya orang yang bisa memberikan raja kekuatan itu adalah kalian atau orang yang kalian cintai, apa yang akan kalian lakukan, dengan catatan, menyerahkan diri sama seperti sebuah kematian. Atau bahkan lebih buruk dari itu. Sampai pada soal ke 4, Ara masih tertegun. Tangannya gemetar. Soal-soal ini memaksanya mengingat semua yang terjadi lima tahun lalu, semua luka yang berusaha ia lupakan dalam hati saat ini kembali dalam ingatannya. Penanya tergeletak di meja. "Pak! Ada soal yang tidak saya pahami." Bovian, ketua kelas, mengacungkan tangan. "soal no. 4. Apa yang lebih buruk dari kematian yang bapak maksud?" "Ah ya, maksudnya adalah kalian hidup, tapi seperti orang mati." Jawab Regha, dia menjeda sebentar. Ara terdiam, dia masih berusaha berdamai dengan hatinya, memori pahit lima tahun lalu perlahan menguasai pikirannya. Semuanya seolah menjadi sangat jelas, seperti kembali terjadi. Penderitaan yang dia alami di markas benang Merah selama setahun lebih. Bagaimana dia hampir kehilangan nyawa di tali gantungan, menebas leher sahabatnya sendiri demi sebuah penerimaan, membuang kehidupan bersama Qaqa yang damai, dan yang paling menyakitkan adalah kehilangan orang yang sangat ia cintai, Angkasa.  Lalu berakhir dengan sebuah pelarian, bersembunyi dari ancaman dunia. Regha melanjutkan, "Hmm Bovian, kau tahu bagaimana seorang hidup tanpa jiwa?" "Tidak " jawab Bovian. "Hidup tanpa jiwa, artinya kau hidup tapi tidak memiliki kehidupanmu. Kau hidup tapi dilarang memiliki perasaanmu. Kau hidup tapi tidak boleh jatuh cinta, kau hidup dalam lingkaran ancaman kematian setiap hari. Kau memiliki tujuan dalam hidup itu, tapi tujuan itu bukan milikmu, tujuan itu adalah kematian. Kau hidup setelah memberikan jiwamu kepada raja. Kau hidup setelah kau menyerahkan orang yang kau cintai kepada raja. Kau tetap hidup sekalipun semua yang berharga telah dirampas darimu. Lalu setelah semua yang telah kau berikan, mereka akan mulai mengejarmu dan mengancam nyawamu. Hidup seperti itu, bukankah lebih buruk dari kematian?" Ara tiba-tiba menyambung jawaban Regha tanpa ia sadari. Semua kata-kata itu tulus dari lubuk hatinya terdalam, hingga matanya berkaca-kaca. Sementara yang lain, semuanya tercengang. Tak terkecuali Regha. Kelas itu senyap beberapa saat. "Bagaimana Bovian?" seru Regha memecah suasana. Regha tertarik memperhatikan Ara, konsepnya tentang hidup tanpa jiwa terdengar familiar untuknya, sekalipun konsep itu sebenarnya sedikit berbeda dengan dia. Konsep yang dibicarakan Ara, adalah konsep yang dijalani sahabatnya selama ini. seseorang yang spesial untuk Regha, dan begitu mengagumkan dimatanya. Bagaimana mungkin Ara memiliki konsep yang sama dengan sahabatnya itu. Dari meja dosen, Regha mengamati Ara.  ֎֎֎֎ Ujian berakhir, Nam mengajak Ara ke kantin sekolah seperti hari-hari biasanya. Mereka harus makan banyak sebelum kelas bela diri di mulai hari ini. kelas yang paling dibenci Ara.  Kantin sekolah sangat besar, ada tidak kurang dari 100 meja tersedia dengan 6 kursi untuk setiap meja. Arsitektur ruang kantin mengambil gaya klasik dengan d******i warna krem dan coklat muda. Jendela-jendela tinggi di seluruh dindingnya dan lampu gantung tidak kurang dari 10 berjajar di langit-langit. Nam mengambil meja nomor 90, tempat favorit Ara, tepat di depan jendela luar menghadap ke lapangan rumput. "Hei, Ara, kau luar biasa!" puji Nam dengan semangat. "Hei jangan bercanda.." Ara sedikit malu menanggapi Nam. "Kau baru menyadari kalau aku hebat, Nam? Yang benar saja!" Ara sedikit menyombongkan diri. "Hei! Awas ya, saat kelas bela diri aku tidak akan membelamu!" ancam Nam sambil bercanda. "Baiklah.. baiklah.. kau menang Nam.. hahaha" Ara akhirnya mengalah. Siapa yang menyangka kalau sebenarnya ada perbedaan usia yang cukup jauh diantara mereka, begitu juga antara Ara dengan teman-teman kelasnya. Ara lebih tua delapan tahun dari Nam. Hebatnya adalah wajahnya sama sekali tidak menua, dia masih tetap cantik dan pantas untuk berperan menjadi mahasiswa tingkat 1 lagi. padahal enam tahun lalu, dia bahkan sudah hampir menyelesaikan sekolah ilmu pedangnya. Terkadang Ara berpikir, apakah penyamarannya tidak keterlaluan? Tapi ini satu-satunya cara teraman untuk bersembunyi dan berlindung dari ancaman sejak lima tahun lalu. "Kau bisa mengerjakan ujian tadi?" celetuk Nam sambil mengunyah makanannya dengan santai. Ara terdiam sebentar, "Bagaimana denganmu, Nam? Aahh,, pasti sangat mudah untukmu.." jawab Ara santai. Dia melanjutkan dalam hatinya, "soal hari ini, sama sekali tidak mudah, Nam. Menjawab soal itu seperti menceritakan kisahku sendiri." "Hahaha.. kau mengejekku? Aku bahkan tidak tahu harus menuliskan apa. Topik itu tidak pernah ada dalam materi sejarah kita. Dosen lama pun tidak pernah menyinggungnya. Bagaimana aku bisa mengerjakan?" keluh Nam, dia menggerutu, benar-benar kesal.  "Ara, kau pernah dengar tentang Benang Merah?" "Ya. kasus itu sudah diketahui hampir oleh seluruh negeri, Nam. Jangan katakan kau tidak tau." "Aku tahu Benang Merah. Aku tahu mereka akhirnya berhassil ditumpas oleh pasukan kerajaan 6 tahun lalu. Tapi, bagaimana mungkin kita tahu siapa yang paling berjasa? Bukankah sudah pasti itu Yang Mulia Raja?" tanya Nam penuh selidik. Dia memasang ekspresi bingung. "Benarkah?" Ara masih terus santai menyantap makan siangnya, tapi suaranya jelas mengisyaratkan keraguan. Dia harus menjaga emosinya tetap netral. Nam, paling ahli memancing emosi orang. "Bukan Yang Mulia Raja?" bisik Nam pelan.  Dia mendekat ke wajah Ara dengan ekspresi penuh ingin tahu. Senampan makanan baru mendarat di meja mereka, seseorang berdiri menunggu untuk bergabung, "Jika bukan Raja, lantas siapa menurutmu, Ara?" sahut Regha menyela pembicaraan mereka.  "Boleh aku bergabung disini?" dia langsung duduk dengan santai. "Pak guru?" Nam tercengang. Melihat Regha duduk di samping Ara dan makan siang semeja bersama mereka. dia bergegas melihat sekelilingnya. Tidak ada teman sekelas mereka dalam jarak yang dekat. Dengan begitu meja makan ini masih bisa tenang. "Aku penasaran siapa yang memiliki kontribusi terbesar menumpas Benang Merah? Kupikir kau tahu jawabannya, Ara ?" tanya regha dengan santai. Dia memotong daging ayam lalu menyantapnya. Ara tetap melanjutkan makannya tanpa terpengaruh kedatangan Regha. "Ppsstt.." Nam mendesis memberi isyarat Ara untuk menjawab sapaan dosen baru mereka. "Oh, maafkan saya, Pak, Regha. Kupikir anda sedang bertanya kepada Nam." Regha meletakkan garpu dan pisaunya. Dia memutar dadanya ke kiri menghadap Ara. "Dari semua mahasiswi ku, hanya kau yang bersikap seperti ini kepadaku. Hhmm baiklah, aku akan memberitahumu berapa usiaku. Tahun ini, umurku 30 tahun." Regha menatap Ara, berharap mendapatkan respon yang sama seperti mahasiswi lainnya. Yang terpesona kepadanya. Atau setidaknya dia harus menerima pujian. "Jadi, kita hanya selisih 2 tahun, Regha. Itu artinya kau juga seumuran dengan Angkasa." pikir Ara di dalam hatinya. "Saya penasaran tentang satu hal, Pak." Cetus Ara, dia merubah topik pembicaraan. Regha antusias mendengarnya, sekalipun sebenarnya hati kecilnya meledak sebab harapannya sirna. "Apa yang bapak tahu soal Benang Merah dan Vocksar? Sepertinya bapak sangat menguasai informasi tentang mereka, hingga membuat mahasiswa tingkat 1 seperti kami harus berpikir keras dan menebak sesuatu yang bahkan dirahasiakan oleh Istana. Bagaimana mungkin mahasiswa tingkat 1 bisa menjawab pertanyaan yang bahkan seorang gubernur pun belum tentu bisa menjelaskannya. Nama Vocksar, pasti itu sesuatu yang sangat menarik bagi sejarawan seperti bapak, karena mereka dikatakan seperti manusia spesial, dengan kekuatan luar biasa. Tapi Bangsa Vocksar, dimata saya hanya sekedar Bangsa pembantai. Bahkan saya tidak bisa memaafkan orang yang pernah membangkitkan mereka kembali. Ada kalanya saya berpikir, mungkin seharusnya kita berterima kasih kepada Yang Mulia Raja Vafah. Tapi.. walau bagaimanapun juga, semua sudah terjadi. Mereka telah menuliskan sejarah mereka sendiri di tanah Zakaffa ini." Ara mengatakannya dengan serius. Hampir-hampir Nam tidak percaya sahabatnya itu memiliki keberanian dan pengetahuan yang hebat seperti itu. Ucapan Ara membuat Nam melongo. Kedua alisnya terangkat dan mulut yang terbuka lebar. Sementara Regha, dia juga tersentak mendengar pertanyaan Ara. Ini benar-benar pertama kalinya untuk Regha bertemu dengan orang yang mengoreksi dirinya seperti ini. "aah,, kau merasa seperti itu? Benarkah? Kau mengatakannya seolah kau benar-benar terlibat disana, Ara." Balas Regha. "kau benar, Regha. Aku ada disana. Aku tahu segalanya.. "  "Ara, pstt.. apa yang kau lakukan? Cepatlah minta maaf! Atau kau bisa tidak lulus ujian." Bisik Nam mencoba menyadarkan sahabatnya. Dia menggertak tangan Ara berharap dia menghentikan ucapannya sebelum terlambat. Ara melihat ke arah Nam sebentar, lalu kembali menatap Regha yang sekarang kesal dengan ucapannya. "apa yang baru saja kau katakan Naviza?  Kau akan mengungkap semuanya? Lalu mereka akan datang dan membunuhmu! Berapa kali pun aku memikirkannya, aku tidak bisa melakukan apapun selain bersembunyi." "maafkan aku, pak guru." Ara segera menundukan kepala. "tapi, aku masih ingin tahu, kenapa kau menanyakan tentang Benang Merah dan Vocksar ke mahasiswa tingkat 1? Yang aku tahu, bahkan Istana mencoba menutup rapat informasi tentang mereka. pertama, siapa kau sebenarnya, Regha? Kedua, kenapa kau melakukan ini? ketiga, mungkinkah kau seseorang seperti ku?" ¤¤¤¤¤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD