2. Kabur

1197 Words
Berderai kepedihan dalam penantian yang berujung pupus harapan. Namun, bukan kehidupan namanya jika tidak muncul harapan baru. *** Rasa berkabung masih menyelimuti hati Cantili. Harapannya pupus bersama surat wasiat yang datang kepadanya. Bahkan ia belum mengetahui di mana makam ibunya. Namun, selalu ada harapan baru di balik kepedihan. Tentang wasiat Rahayu agar Cantili menemui ayah kandungnya. Di sisi lain, Cantili begitu berat meninggalkan Bude Hani sendirian tanpa saudara. Dahulu, Hani pernah menikah. Namun, suaminya meninggal setelah tiga bulan pernikahan. Perasaan yang begitu dalam kepada mendiang suaminya, membuat Hani memutuskan untuk menyendiri sembari merawat Cantili. Tentu saja berpisah dengan Cantili membuatnya bersedih. Akan tetapi, Hani pun tidak punya pilihan lain, selain mengizinkan Cantili pergi ke kota seperti wasiat terakhir Rahayu. *** Berbekal uang pas-pasan, Cantili menerjang kabut temaram itu. Diam-diam ia menyusuri jalan setapak menuju pasar untuk menaiki angkutan pedesaan, karena angkutan itu akan membawanya ke terminal di wilayah kecamatan. Satu tas ransel berwarna hitam pudar menggelayut di pundaknya. Tentu saja, cincin wasiat itu ia simpan baik-baik di dalam saku celananya. Hitam manis semanis gula Jawa warna kulitnya. Rambutnya panjang bergelombang sebahu. Lesung pipi di sebelah kanan membuat senyumnya manis dipandang. Sederhana dan berwibawa, itulah Cantika Lily (Cantili). Ini pertama kalinya Cantili pergi ke kota metropolitan. Ada perasaan gugup hingga membuat tangannya sedingin es. Namun, keteguhan hatinya saat mengingat wasiat ibunda membuat Cantili yakin bahwa dia akan segera menemukan ayah kandungnya. Alamat tempat tinggal Rahayu yang berubah-ubah setiap kali mengirimkan surat membuat Cantili tergerak hatinya untuk mengecek kebenarannya. Pernah ia meminta tolong kepada tetangga yang bekerja di kota metropolitan untuk mengeceknya. Namun, semua alamat itu palsu, bukan tempat tinggal Rahayu. Artinya, Rahayu benar-benar merahasiakan keberadaannya, serta keberadaan Cantili di desa. ‘Banyak misteri yang belum terungkap, tapi kenapa ibu justru pergi meninggalkanku?’ batin Cantili berontak di sela-sela waktu menunggu angkutan pedesaan itu melaju. Dirinya tetap waspada, lantaran takut ketahuan anak buah juragan Gendon yang biasanya berkeliling pasar. ‘Semoga saja pak sopir segera pergi dari sini! Matahari hampir muncul, aku takut kepergok anak buah juragan Gendon!’ batinnya yang resah menunggu angkutan itu terisi penuh penumpang. Cantili semakin resah ketika sorot matanya menangkap sosok kekar bertato yaitu salah satu anak buah juragan Gendon melenggang santai di dekat penjual bubur. Bukan Kirno, melainkan Santoso. Tetap saja Cantili khawatir. Ia berusaha menutupi wajahnya dengan tas ransel. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi menyapa Cantili. “Cantili?” ucap seorang perempuan dengan lantang. “Sssttt!!!” “Ssstttt!!!” pinta Cantili agar perempuan itu tidak bersuara lantang saat menyapanya. “Pagi buta begini mau ke mana, Til?” “Sssttt! Tal, Til, Tal, Til .... Can gitu loh, Ning manggilnya! Lebih enak didengar!” Mendengar ucapan Cantili, Nining hanya menahan senyum. Nining adalah teman dekat Cantili yang menyapanya sepulang tengkulak di pasar. “Lah iya tumben-tumbenan?” tanya Nining penuh curiga. “Ning jangan kenceng-kenceng ngomongnya!” “Lah emange piye toh?” “Sssttt!!! Tak kandani! Aku ini takut ketahuan sama Mas Santoso! Takut ketahuan kalau aku mau pergi jauh! Pokok’e jauh!” bisik Cantili kepada Nining. “Owalah kowe ngga ngomong sih! Ke mana toh?” bisik Nining yang juga ikut ketar-ketir. Rumor tentang juragan Gendon yang mengincar Cantili memang sudah santer terdengar. Namun, kali ini Nining melihat sahabatnya begitu ketakutan kepergok Santoso. Mendengar suara yang mencurigakan dari dalam angkutan pedesaan itu, Santoso berusaha memeriksanya. Cantili yang menyadarinya memilih untuk buru-buru turun dari angkutan itu. “Ning!” “Ning!” panggil Cantili sembari menepuk bahu Nining. “Opo toh, Til?” “Aku titip Budeku yo! Jagain pokok’e!” ucap Cantili sembari meremas bahu Nining. “Loh, mau ke mana?” Nining kebingungan melihat Cantili terburu-buru turun dari angkutan pedesaan itu. Cantili menyadari keberadaan Santoso yang sudah mengenali dirinya. Ia memilih untuk menaiki ojek walau ongkosnya lebih mahal, dari pada tertangkap basah. Santoso yang menyadari keberadaan Cantili pun akhirnya mengejar gadis itu. Dia curiga kalau Cantili akan pergi jauh, lantaran menggendong ransel. Dengan buru-buru Cantili mencari ojek. Akan tetapi para tukang ojek pun takut akan ancaman Santoso. Sehingga tidak ada yang mau mengantar Cantili. Merasa terpojok, Cantili memilih untuk berlari sekuat tenaga. “Bisa-bisane kepergok ngene!” gerutu Cantili sembari terus berlari. Semburat jingga mulai memerah. Cantili takut dirinya ketinggalan bus. Ia pun berusaha terus berlari hingga seseorang membunyikan klakson motornya untuk mengageti Cantili. “Astagfirullah! To! Ngagetin aja!” ucap Cantili yang jantungnya hampir copot mendengar klakson itu. “Isuk-isuk wes playon ngono, Can?” tanya Wanto kepada Cantili. “Playon Mbahmu! Meh jantungan aku!” sambar Cantili sembari tersengal-sengal napasnya. “Lah iya tumben-tumbenan?” “Wes ga usah banyak nanya! Saiki antar aku ke terminal!” Tanpa basa-basi Cantili langsung duduk di bangku belakang. “Hah? Piye?” “To! To! Cepet gas, To!” teriak Cantili yang melihat Santoso sudah mendekat. “Hah?” “Ra sah hah heh, To! Gas pol cepetan!” Wanto yang tidak tahu menahu pun akhirnya tancap gas menuju terminal yang ada di wilayah kecamatan. Ia mengantar Cantili tepat saat bus akan berangkat. Terpaksa Cantili membeli tiket dadakan. Asalkan dirinya bisa terbebas dari belenggu juragan Gendon. Tatapan mata Cantili tidak bisa bohong kalau dirinya merasa ada sesuatu yang hilang saat bus melaju meninggalkan wilayah tempat tinggalnya. Ada harapan yang harus ia gapai. Ada masa lalu yang selalu ia rindu yang telah melebur menjadi kenangan. Kecuali janji Cantili yang akan kembali menjemput Hani setelah dia bertemu ayah kandungnya. Setelah menempuh perjalanan hampir setengah hari. Cantili akhirnya tiba di kota metropolitan pada malam hari. Dirinya menempuh jarak yang jauh hingga berganti bus tiga kali. Setibanya di sana. Cantili sama sekali tidak tahu arah. Ke mana dia harus melangkah? Tanpa ponsel, tanpa alamat yang jelas. Namun, bukan Cantili namanya kalau tidak cerdik untuk bertahan hidup. Dia terlihat biasa saja, tanpa gugup. Lalu dirinya berjalan menuju sebuah warung kopi yang masih ramai. Perut yang lapar membuat Cantili memberanikan diri untuk bertanya kepada pemilik warung kopi. Setelah bernegosiasi, Cantili diberi satu porsi mie rebus dengan imbalan mencuci gelas serta mangkuk yang kotor. Mudah bagi Cantili mengerjakan itu semua asalkan bisa mengirit dan perut hangat terisi makanan. Lalu saat dirinya hendak mencari penginapan, ia melihat seorang gadis berjalan sempoyongan. ‘Ini orang mabuk atau sakit?’ batin Cantili yang berjalan begitu menepi sembari memperhatikan perempuan itu. Tak lama setelahnya, perempuan itu terjatuh. Tentu saja Cantili panik. “Mbak!” “Mbak!” “Duh Gusti, piye iki?” ucap Cantili kebingungan. “Mbak! Bangun e Mbak!” ucap Cantili lagi sembari menepuk pipi gadis itu. “Tolong!” “Tolong!” teriak Cantili panik. Kemudian seorang pengendara ojol yang sedang menunggu penumpang pun menghampiri. “Kenapa Kak?” tanya pengendara ojol yang juga bingung melihat orang pingsan. “Saya ngga tahu, Pak. Gimana ini?” gugup Cantili yang tangannya mulai sedingin es karena khawatir. “Dibawa ke klinik saja, Kak!” “Jauh ngga, Pak?” “Dekat sini ada. Ayo saya antar!” “Tapi gimana ini saya nggak kuat nggendongnya!” ujar Cantili lagi. “Mari saya bantu!” Akhirnya mereka diantar ke klinik oleh orang baik. Namun, Cantili tetap gelisah. Dia sama sekali tidak punya uang lebih untuk membayar biaya perawatan atau pun pengobatan. Cantili berharap kalau gadis yang ia tolong itu segera siuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD