0.1

1529 Words
9 Yanvar 2020 Aku menatap pantulan diriku di cermin. Satu kata untukku, rapi. Ya, jelaslah! Seragam yang kupakai selalu tersetrika sampai kerahnya kaku-kaku saking terlalu sering digosok, pake minyak GPU. Eh, canda ya, teh! Ya kalik, gila aja, setrika baju pake minyak urut! Lalu, seragam itu juga kukancingkan sampai tepat di bawah leher. Kenapa? Soalnya kalo enggak gitu, nanti dadaku terekspos, ya, dikit sih. Tapi kan tetep aja, aurat gitu lho! Agak terbuka atasnya. Jadi, aku--Rezvan Arnawa--sebagai manusia budiman merasa perlu begitu. Reader: Aelah! Mana ada orang minat ama elu! Arna: Dalamnya samudra bisa diukur, nafsu manusia siapa yang tahu? Reader: "..." Aku membuka pintu kamar sambil menenteng tas sekolah, lantas keluar menuju dapur. Ayahku tak nampak, tapi itu juga tak penting bagiku. Di dapur aku melihat sosok yang sibuk wara-wiri. Tanpa pikir panjang, kupeluk dia dari belakang. "Arna," ucapnya penuh kasih sambil menggoreng ikan bandeng. Tangan kirinya yang tidak sedang memegang apapun menggenggam tanganku. Entah kenapa rasanya mirip adegan klasik film-film. Tau, kan? Oke, tidak seratus persen mirip, sih. Tidak mungkin, kan, berdiri di atas kapal sambil menggoreng bandeng. Lagipula, mana ada ikan bandeng di laut? Aku melepas pelukanku pada ibuku. Menghampiri meja makan dan meminum s**u putih hangat seperti kemarin pagi, dan kemarinnya, dan kemarinnya dari kemarin pagi. Aku tau, memang aku sudah besar. Tapi, s**u itu baik, kok, bagi pertumbuhan. Walau aku tak yakin aku ini masih bisa tumbuh apa enggak. Tapi, melihat tinggiku yang hanya 167cm harusnya masih bisa, 'kan? Aku berjalan ke ruang tamu. Hanya ada tirai yang membatasi antara dapur--sekaligus ruang makan--dan ruang tamu. Dari tempatku berdiri--di depan tirai--bagian tepat di depanku adalah pintu rumah, di sebelah kiri depanku ada pintu menuju toko kelontong ibuku. Sedangkan tepat di sebelah kananku ada jalan menuju kamarku dan dua kamar lain, serta satu kamar mandi yang kami gunakan bersama-sama. Semua kamar di rumahku tidak ada yang kosong. Karena, eum, yah ... orang tuaku pisah ranjang. Mereka tidak akur sejak empat tahun terakhir dan pisah ranjang sejak dua tahun lalu--kurasa. Aku berjalan ke arah pintu tembus toko. Ada jarak antara lantai ruang tamu dengan lantai toko, kira-kira sepuluh senti. Setelah aku membuka pintu, tampak di depanku etalase kaca. Toko ibuku ini didesain sebagai berikut: tiga etalase kaca ada di tengah ruang. Ada satu sisi tanpa etalase, sebagai gantinya terdapat rak panjang tempat ibuku meletakkan shampoo, sabun mandi, detergen, sampai hand body di atasnya. Tersedia pula makanan ringan dan minuman--botol dan sachet-an. Ada yang biasa saja, ada pula yang dingin. Tapi tenang saja, sedingin apapun dia akan luluh kalau kamu gencar deketin. Eh? Ah sudahlah! Tak apa kalo kalian tak mau dengar, tapi jangan lupakan kalo aku ini laki-laki. Jadi paling enggak aku lebih tau. Walau sebenernya, aku ... ekhem, enggak punya pengalaman cinta. Okelah itu enggak penting juga, sekian curahan hatiku tentang kisah asmaraku yang kering kerontang. Mari, kita bahas toko di rumahku saja. Nah, kalau dari tempatku berada, sisi sebelah kananku adalah lemari panjang. Masih bingung dengan perkataanku? Cara bicaraku ruwet, ya? Hehehe, maafkan aku. Aku, kan, cuma remaja 15 tahun. Baru 18 bulan Luglio¹ tahun lalu aku resmi jadi anak tingkat Algemene². Nah, begini biar kuperjelas. Penjual ada di tengah ruang, dikelilingi tiga etalase kaca beserta satu rak panjang di sisi lainnya. Paham? Baiklah, tidak penting juga kalian paham atau tidak. Aku berjalan ke arah depan, menggeser side roller door yang menjadi tameng perlindungan dari maling dan siapapun yang berniat mencuri. Aku menyempatkan diri menyapu lantai toko. Lantas kembali masuk ke dalam, ke dapur tepatnya. Ibuku telah merampungkan acara masak-memasaknya. Ia sedang mengisi bekalku. Dimasukkannya separuh badan bandeng goreng beserta sambel favoritku. Ah, iya, ngomong-ngomong, aku memang tak pernah sarapan di rumah, hanya minum s**u. Padahal aku berangkat sekolah naik sepeda, pulang juga gitu. Keren tidak? Enggak, ya? Emang sih, mau keren macam mana coba? Jaman sekarang aja udah makin maju, tapi aku masih terjebak dengan transportasi tradisional macam becak, bedanya punyaku cuma roda dua. Nah, kalo roda tiga merk semen, kan, ya? Sudah-sudah, lagi-lagi bahasannya kemana-mana. Dasar aku! "Banyak amat, Bu? Separuh buat Arna? Kebanyakanlah Bu," protesku. "Kamu itu! Coba liat! Kamu enggak tinggi-tinggi karena kurang asupan gizi! Makan protein, Nak! Kata Menteri Kelautan dan Kemaritiman, ikan itu bagus, sehat. Nanti kamu ditenggelamkan hlo kalo endak makan ikan," jawab ibuku dengan pembelaan yang agak maksa. Aku sendiri ragu akan ditenggelamkan oleh menteri ikan-ikanan itu. Apa ibuku ini lupa aku sudah besar? Mana takut aku sama ancaman begituan. Tapi aku lebih takut lagi kalo dosa jadi aku hanya mengiyakan pernyataan ibuku, "Iya, nanti Arna di-bom. Hiy, serem, takut deh." Ibuku melanjutkan aktivitasnya. Ngomong-ngomong soal ketakutan, apa ketakutan kalian sobat? Kalau aku ... entahlah. Aku takut akan banyak hal. Mulai dari hal biasa seperti Tuhan dan ibuku, sampai yang enggak masuk akal kayak cerita seram dan hantu. Tapi, ada satu yang benar-benar enggak wajar. Maksudku aku harusnya enggak takut sama hal ini. Tapi, gimana ya? Kalo kamu enggak merasa takut, harusnya enggak ada alasan buat terus menghindar, bukan? Aku bukan takut, cuma menghindar. Masalahnya, kalo kalian tanya kenapa aku menghindar aku sulit juga jawabnya. Enggak ya, sekali lagi kutekankan aku enggak takut! Pokoknya kalian liat sajalah sendiri nanti. "Makan! Makan! Lapeeer!!" seru seorang pria ketika aku memasukkan bekalku ke dalam tas. "Mbok ndak usah teriak-teriak to, Yah," ucap ibuku. Ya, sayangnya pria dengan kumis tipis dan tato sangar di kedua bisepnya ini adalah ayahku. Dia menarik kursi dan duduk, tepat di seberang tempatku berada. Dengan celana kolor dan kaus putih singlet ia tampak percaya diri untuk berkata, "Mana kopi? Tau suami bangun enggak disapa, enggak ditawari minum malah dikomen." Astaga! Begimana, sih? "Ayah juga dateng pake ribut-ribut segala. Emang siapa yang mau ngelayani kalo hobinya teriak-teriak enggak jelas. Kuping siapa enggak panas dengerinnya?" sahut ibuku persis seperti yang kupikirkan. Di luar dugaan, ayahku masih mampu menjawab, "Oh? Jadi kamu enggak mau ngelayani suami sendiri gitu?" Tak ingin melihat sinetron ini lebih lanjut--meski pemeran utamanya adalah orang tuaku sendiri--aku menyampirkan tas di kedua bahu. "Gitulah ibumu itu, Na. Liat, masak sama suami sendiri enggak hormat? Makanya kamu kalo cari istri yag bener, yang bisa menghargai suami," ucapnya padaku. Aku menghela napas, diam saja. Begitulah kiranya drama yang kusesap tiap pagi. Tidak disemua pagi, tapi aku sering berada dalam posisi ini. Ayahku seperti tak melihat bahwa dirinya juga salah. Ia senang sekali menyalahkan orang lain. Budayakan ngaca sebelum ngece! Ayahku sepertinya masih perlu diajari soal hal ini. Ia selalu menganggap diri paling benar, ibuku sendiri keras kepala dengan sifatnya yang juga tak mau kalah. Ibuku orang yang pintar, dia tidak akan mundur begitu saja, terutama ketika ia punya data yang cukup untuk melawan. Padahal kita sedang bicara tentang keluarga. Artinya ini bukan hanya tentang salah dan benar, bukan? Harusnya ada rasa pengertian, pengampunan, dan penerimaan. Apa ayahku sudah lupa bahwa aku bisa ada di sini juga karena ibuku? Bisa-bisanya dia menimpakan salah ke atas pundak ibuku. Selalu seperti ini. Aku ada dalam posisi seolah jadi hakim. Kalau aku mengiyakan pernyataan ayahku artinya aku lebih memihaknya ketimbang ibuku. Tapi kalau diam saja bisa-bisa ayahku mengira aku memilih ibu. Kalau begini jelas terlihat bahwa suaraku jadi penentu siapa yang paling benar. Untungnya ibuku tidak menanggapi. Ia sibuk dengan secangkir kopi hitam untuk ayahku. Aku menghampiriya, "Buk, Arna berangkat," ucapku seraya mengambil tangan dan mengecupnya. Ia hanya mengangguk sambil mengusap puncak kepalaku. Aku beranjak menghampiri ayahku. "Yah, Arna pamit berangkat dulu," ucapku menarik tangannya dan menempelkannya di atas jidatku. Aku keluar dari dapur sesak itu menuju ruang tamu. Mengambil sepedaku yang terparkir di ruang tamu, membuka pintu rumah dan melesat keluar jalan menghirup segarnya embun pagi di pukul enam lebih sepuluh. ♦♣♥♠ Aku sampai di sekolah pukul setengah tujuh. Usai memarkir sepeda aku berjalan dengan hati-hati sambil melihat kanan dan kiri. Was-was barangkali ada makhluk itu. Oh, iya, mending kuceritakan sedikit tentang sekolahku. Terdiri dari lima bangunan besar, sekolahku ini mulai dibuka untuk umum sejak 12 tahun yang lalu--artinya sekolahku menerima peserta didik dari negeri tetangga atau pulau seberang. Berdiri sejak era Kaum Wicca, diprakasai oleh seorang keturunan Saylendra yang mengabdi pada Kaum Wicca, tetapi dibangun oleh tetes air mata dan curah keringat manusia penghuni kotaku ini. Bangunan sekolahku ini bentuknya segilima. Halaman tengahnya taman dikelilingi gerbang tinggi besar pada bagian luar. Setelah lama berdiri, bangunan sekolahku sama sekali tidak dibangun ulang. Memang ada pembaharuan untuk beberapa fasilitas, tapi hal itu sama sekali enggak mengubah struktur bangunan asli. Aku emang banyak tau soal sejarah sekolah. Tapi, aku enggak sepinter bayangan kalian. Aku-- "Arna! Hoi, bro, apa kabs?" sapa seorang cowok padaku sambil menepuk pundakku. Hei! Aku sudah bilang belum, sih? Aku ini ... enggak ada temen di sekolah. Kalau kalian tanya kenapa makhluk-makhluk inilah penyebabnya. Makhluk yang ... sebisa mungkin pengen aku hindari--atau musnahin aja sekalian, ah, tapi takut dosa. Enggak pernah bawa kabar bagus kalo nyamperin dan sama sekali enggak menyenangkan ketemu mereka. Aku cuma diem, enggan menyahut. "Congek, Na? Disapa juga, jawab kek. Kaku amat napa sih?" timbrung yang lain. "Oh, aku tau dia kenapa," ucap cowok yang tadi pertama kali menyapaku, "Kerah bajumu tuh, Na! Kaku banget kayak tembok!" ucapnya sambil menarik-narik kerah seragamku. "Tembok datar kalik!" "Tapi, dia kan kaku juga. Mana ada tembok empuk enyes kayak kasur," protesnya. "Analogimu ngaco, Bhas. Dia lagi dateng bulan kalik, makanya judes ama kita," yang terakhir bersuara. Aku diam saja, males ah ngapain juga ditanggepin. Ngomong-ngomong, sudah kalian hitung? Perkenalkan mereka tiga amoeba sekolahku. Huh, aku tak suka mengatakannya, tapi .... Selamat datang, lagi, derita!¡ ♦♣♥♠ ¹ : bulan Juli ² : setara SMA
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD