Awal Kengerian

1624 Words
        Dilan mematung dengan keringat mengalir melewati pelipisnya. Beberapa anak perempuan saling memegang tangan rekan yang ada di dekatnya dengan harapan sedikit menenangkan diri. Nyatanya, mereka sama sekali tidak bisa tenang. Alex yang memang sejak dulu sukar menahan emosi memaksa mendobrak pintu kaca di gedung sekolah. Tentunya tidak bisa di buka begitu saja, dan Alex malah berteriak mengamuk.         “b*****t! Siapa yang bikin undangan itu? NGAKU!” teriak Alex murka.         Semua pasang mata di sana menunduk ciut melihat sisi preman Alex yang sama sekali tidak berkurang seramnya sejak dulu.         “Alex! Jangan marah-marah. Kita di sini nggak ada yang tahu siapa yang iseng bikin undangan itu. Tenanglah.” Ujar Alfa menengahi.         Alex mendengus. “Gue nggak akan maafin siapapun yang udah iseng kayak gini sama gue.”         Alfa menghela napas. “Iya, iya. Sabar dulu Alex, kamu jangan asal ngumpat, kendalikan diri.”         Alex menghela napas, ia berjongkok sembari mengusap wajahnya kasar. Wajahnya memerah dan ekspresi kemarahan masih tersisa di sana.         Dilan menggigiti bibirnya, meski ia hanya diam, nyatanya ketakutan dan rasa khawatir menyelimuti hatinya. Ia tidak mengira semua nya akan berujung seperti ini. Siapa sebenarnya yang mengirimi undangan misterius itu hingga menjebak mereka di sini?         “Aaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrggg…!!!”         Semua pasang mata menoleh ketika jeritan memilukan itu tiba-tiba terdengar. Irene memegangi lehernya dengan kedua mata melotot dan mulut terbuka lebar. Tangannya seperti menggapai-gapai sesuatu yang ada di lehernya. Dilan mengernyit bingung, Dilan sama sekali tidak melihat apapun di leher Irene.         Buru-buru Alfa menahan tubuh Irene yang meronta-ronta. Semuanya di rundung kepanikan. Bahkan Alex yang sejak tadi tampak marah sekarang malah terlihat gemetar ketakutan.         “Irene! Irene! Sadar Irene! Hey!” Alfa menepuk-nepuk pipi Irene yang memucat. Gadis itu tetap berusaha meraih sesuatu di lehernya, sesuatu yang sama sekali tidak terlihat oleh Alfa dan yang lainnya.         “Ohok… uhuk…” Irene jatuh terduduk dengan batuk hebat. Dilan yang sejak tadi hanya diam mengamati langsung terbelalak ketika melihat lingkaran tanda merah membekas di leher putih Irene.         “I—ini…” Dilan menyentuh leher Irene, sementara gadis itu masih berusaha keras menghentikan batuknya.         “A—ada ap—a?” tanya Irene gagap.         “Bekas kemerahan.” Gumam Dilan pelan, tapi masih mampu di dengar oleh Irene dan Alfa yang berjongkok di dekat mereka.         Alfa mendongakkan kepala Irene, hendak melihat apa yang dikatakan Dilan soal bekas kemerahan itu. Keningnya mengerut samar dengan ekspresi kebingungan paling mumpuni.         “Bekas merah apa, Lan?” tanya Alfa bingung.         “Itu, di leher Irene ada bekas merah seperti luka bakar.” Jelas Dilan pelan. Teman-teman lain yang sejak tadi hanya diam mematung melihat Irene berteriak langsung mendekat karena penasaran, dan yang Dilan dapati hanya kerutan kening dan wajah-wajah bingung seperti Alfa.         “Nggak ada apapun di leher Irene, Dilan?” ujar Arga bingung.         Dilan bungkam, ia mengucek matanya sekedar mamastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekedar bayangan semu belaka.         Bibir Dilan bergetar. “Ka-kalian sungguh nggak melihatnya?” tanya Dilan takut.         Arga menggeleng, pun dengan teman-teman mereka yang lain, bahkan Alfa menatapnya dengan raut bingung. Dilan mengalihkan pandangannya menuju leher Irene, gadis itu masih mengatur napasnya. Dia terlihat begitu kacau dengan penampilannya yang acak-acakan. Bahkan, rambutnya yang selalu berkilau sejak masa sekolah itu sekarang terlihat kusut dan mencuat kesana-kemari.         “Dilan, tolong jangan mengatakan hal-hal aneh, ini akan semakin memperburuk suasana saja.” Ujar Alfa mengingatkan.         Dilan langsung berdiri. “Kamu pikir aku mengada-ngada, gitu?” tanyanya tidak terima.         Alfa gelagapan. “Bukan, bukan maksudku gitu. Aku hanya—“         “Cukup.” Dilan mendesis tajam, ia menjauh dari kerumunan dan menyandarkan dirinya ke daun pintu. Dilan berandai jika pintu itu bisa di buka pasti ia sekarang tengah tidur nyaman di kasur empuknya. Setidaknya, ia tidak perlu merasa kecapekan karena kelas nya sejak pagi dan acara reuni yang berubah menjadi jebakan begini. Seharusnya ia tidak usah ikut. Dalam hati Dilan menyesali keputusannya ikut.         “Sekarang lebih baik kita tenang dan cari cara untuk keluar dari sini, atau minimal kita bisa nunggu sampai pagi datang, ku rasa nanti kita pasti bisa keluar kalau satpamnya udah datang.” Alfa menyarankan, yang lain mengangguk setuju.   *           Mereka memutuskan untuk berpencar mencari jalan keluar. Karena jumlah orang di kelas berjumlah genap, mereka memutuskan untuk berjalan dua orang. Dilan berjalan dengan Kiyan, salah satu gadis yang masuk di pertengahan semester tahun ketiga delapan tahun silam. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Kiyan, dan Dilan juga tidak terganggu dengan gadis itu. Memang, sejak masa sekolah dulu anak laki-laki suka sekali menempeli Kiyan dan Kinan karena keduanya begitu cantik dan menawan. Hanya, mungkin Dilan dan Alfa saja yang tidak pernah terang-terangan menunjukkan atensi nya kepada dua gadis itu. Jika teman sekelas yang lain begitu akrab dan santai bicara dengan Kiyan dan Kinan, maka Dilan masih dirundung kecanggungan. Dilan tidak semudah itu dekat dengan orang baru, meski dalam hal ini mereka bukan baru saja kenal.         Ngomong-ngomong soal Kiyan, gadis itu lebih banyak diam daripada bicara. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan raut ketakutan apapun. Kalau Dilan tidak salah lihat, Kiyan dan Kinan bahkan sama sekali tak bereaksi ketika Irene menjerit sambil memegangi lehernya. Mereka hanya diam, tanpa ekspresi.         “Ah, Kiyan sekarang kamu kerja dimana?” tanya Dilan berusaha memecah kesunyian. Gedung sekolah begitu sepi saat malam hari. Lampu-lampu yang menyala hanya bersinar temaram dan itu menambah kesan horror bagunan ini. Iya, Dilan mengakui jika dirinya memang penakut, tapi melihat bagaimana Kiyan tetap tenang dengan senyum tipisnya itu membuat Dilan semakin merinding di buatnya. Wajah Kiyan itu, mengingatkan Dilan dengan boneka Barbie milik Adiknya di rumah. Boneka Barbie memang cantik, tapi bagi Dilan boneka-boneka yang bentuknya mirip dengan manusia itu menyeramkan, tak terkecuali boneka Barbie.         “Aku pemilik toko boneka.” Jawabnya datar. Kiyan sama sekali tidak menoleh, bola matanya bahkan sama sekali tak bergerak hanya untuk sekedar melirik Dilan.         Desiran aneh tiba-tiba Dilan rasakan. Ada perasaan tidak nyaman yang membuncah di hatinya. Dingin, lalu mencekam. Suara-suara teman-temannya yang lain sudah tidak terdengar lagi. Dilan hanya dapat mendengar langkah kaki nya dan Kiyan. Di saat seperti ini, telinga Dilan menjadi semakin sensitif. Lengannya bergerak-gerak gelisah dengan bulu kuduk merinding.         “Kamu baik-baik saja, Dilan?” tanya Kiyan khawatir—sepertinya begitu, karena Dilan sama sekali tidak melihat raut khawatir seperti yang biasa ia lihat dari rekan-rekannya yang lain. Dilan terpaku mengamati pupil mata Kiyan. Pupil itu terlihat berbeda, setidaknya bagi Dilan.         Dilan menggeleng. “Tidak, aku baik-baik saja, kok.” Jawab Dilan pelan. Ia menghembuskan napas perlahan, kemudian tersenyum hanya untuk memberitahu Kiyan bahwa dirinya benar-benar tidak apa-apa.         “Kiyan, menurutmu siapa yang iseng bikin undangan itu?” tanya Dilan tiba-tiba. Dilan tidak tahu mengapa ia menanyakannya, kalimat itu meluncur begitu saja dari kedua belah bibirnya tanpa mampu ia cegah.         Kiyan menggeleng. “Menurutmu siapa?”         Dilan menghentikan langkahnya, senyuman Kiyan menjadi menyeramkan beberapa detik yang lalu. Dilan menahan napas dengan tubuh bergetar ketakutan. Sial, kenapa Kiyan terlihat begitu menyeramkan?         “A—aku tidak tahu.” Dilan tergagap. Nyatanya, ekspresi wajah Kiyan selalu berhasil membuat jantung Dilan melompat.         “Coba kita masuk ke sana.” Kiyan menunjuk sebuah ruang kelas di ujung lorong lantai dua. Dilan mendongak untuk melihat plang penunjuk ruangan. Di sana tertulis kelas XI IPS 3, sebenarnya Dilan tidak tahu apa tujuan Kiyan mengajaknya masuk ke dalam kelas. Mereka berkeliling untuk mencari jalan keluar lain, atau mencari apa saja yang bisa membantu mereka keluar dari gedung sekolah ini.         Karena tidak memiliki pilihan lain, Dilan mengangguk saja ketika Kiyan membuka pintu ruang kelas itu. Seperti yang diduga, ruangan kelas jauh lebih mencekam dibanding lorong-lorong tempat mereka berjalan. Karena sejak masa sekolah Dilan tidak terlalu bergaul dengan anak kelas lain, Dilan kurang tahu tentang isi kelas-kelas lain. Kiyan dengan santainya melangkahkan kaki-kaki rampingnya ke dalam kelas, di sana begitu gelap, Dilan menyalakan senter hape nya setidaknya untuk berjaga-jaga.         “Dilan…”         “Hm?” Dilan nyaris saja terjatuh karena terkejut kalau saja ia tidak segera mengendalikan dirinya. Kiyan berada di belakangnya, dengan sorot mata ikan mati miliknya. Dilan meneguk ludah susah payah. Dilan sadar akan sesuatu, sejak beberapa menit yang lalu ia bersama Kiyan, ketakutan terus menggerayangi dirinya, entah karena apa.         “A—ada apa?” tanya Dilan gugup.         “Ada cermin aneh di sana.” Ujar Kiyan dingin.         Dilan mengikuti kemana telunjuk Kiyan mengarah. Di ujung kelas bagian kanan ada sebuah lemari khusus penyimpanan alat-alat kebersihan, di sampingnya ada cermin berukuran cermin rias menyatuh dengan dinding yang ada di sana.         “Memangnya boleh ya memasang cermin begini?” gumam Dilan pelan, ia mendekati cermin itu untuk sekedar memastikannya sementara Kiyan mengekorinya.         Dilan menyentuh pinggiran cermin itu, ada pembatas dari kayu berwarna coklat tua. “Ini sebenarnya untuk apa?” tanya Dilan.         Kiyan menggeleng. “Aku tak yakin, coba bicara kepadanya.”         Dilan mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”         Kiyan terkekeh. “Barangkali cermin itu seperti cermin milik nenek sihir?”         Dilan kira Kiyan hanya bercanda, ia memposisikan dirinya di hadapan cermin itu. Menghela napas sebentar kemudian mengatakan sesuatu seperti yang diinstruksikan oleh Kiyan.         “Wahai cermin, tunjukkan pada kami apakah kami pasangan?” ujar Dilan lantang. Sungguh, Dilan tidak bermaksud apapun mengatakan ‘pasangan’ apalagi di hadapan sebuah cermin yang Dilan yakini sepenuhnya sebagai benda mati.          Kalian bukan pasangan yang di takdirkan.         Dilan reflek mundur hingga terjatuh ketika sebuah tulisan berwarna merah darah muncul melalui cermin yang sejak tadi diperhatikan olehnya. Tiba-tiba saja suara derak bangku-bangku yang ada di kelas bersahut-sahutan. Dilan diam membatu dengan keringat kembali menguncur deras.         Jika tiga orang atau lebih termasuk dirimu berkumpul bersama, seseorang akan mati.         Deg. Jantung Dilan berdegup gila-gilaan, napasnya sama sekali tak beraturan apalagi setelah tulisan berwarna merah darah itu kembali muncul dari cermin yang sejak tadi menjadi objek pengamatannya. Seluruh tubuh Dilan rasanya seperti kehilangan tulang. Lemas tanpa tenaga. Dilan membisu dengan keringat dingin menguncur deras, dan ia harap ini bukan awal dari hal-hal buruk lainnya. ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD