2

1362 Words
Vhiya Aku melangkah malas ke meja kerjaku. Sudah sebulan sejak aku makan siang dengan Friska. Maka sudah sebulan juga aku berstatus ‘Nyamuk bos’. Status paling kubenci karena aku dianggap tidak becus kerja kecuali karena kemahiranku menjilat atasan. Awalnya aku sudah menduga akan ada desas-desus di belakangku. Setelah dikonfirmasi pada Edi yang punya pacar biang gosip, aku hanya bisa mendesah pasrah. Sekali makan siang bersama, julukan jelek sudah menempel. Dan Friska kelihatannya tidak terpengaruh dengan pandangan mata karyawan lain. Tentu saja dia tidak terpengaruh, tiap dia bersirobok dengan karyawan lain, tatapan sopan dan sapaan hormat akan terlimpah padanya. Beda hal denganku yang belakangan sering menerima pandangan menilai dari atas ke bawah. “Pagi, Ed,” sapaku seraya menjatuhkan bokongku pada kursi kerja. “Pagi-pagi pasang muka suntuk,” ledek Edi. Aku hanya bisa mencebik kesal. Aroma kopi hitam Edi mengundang lidahku ingin mencicipinya. Aku membasahi bibir bawah melihat Edi menyeruput kopinya dengan khidmat. “Bagi kopinya dikit,” pintaku. Edi melotot ke arahku. Lalu meletakkan mug kopinya jauh sehingga sulit aku raih. “Nggak boleh. Kalo cewek gue liat ntar jadi berabe.” “Elah, dia kan nggak di lantai ini gawenya,” timpalku sengit. Edi menatapku remeh. “Lo lupa ini kantor dindingnya punya mata. Asal lo tau, debu yang melayang juga bisa bergosip di sini. Nggak cukup gelar ‘Nyamuk bos’ buat lo, hah?” Aku mengerucutkan bibir. Sejujurnya aku mengakui kebenaran omongannya, gosip di kantor ini memang level wahid. Kurang lima menit sekali update berita baru melalui mouth to mouth bahkan online. “Mending lo beres-beres. Cakep-cakepin tuh muka,” kata Edi. Wajahnya tampak tidak enak sudah menolak permintaanku meski demi kebaikan kami juga. “Buat apa? Gue nggak ada urusan ketemu klien.” Aku menjawabnya cuek. Telunjukku menekan tombol power komputer dengan malas. Aku ingin segera menenggelamkan diri dalam pekerjaan lalu pulang tepat waktu. “Yodeh terserah,” balas Edi tak kalah acuh. Sejam kemudian aku baru menyadari maksud di balik saran tak biasa Edi. Aku menatap serombongan orang turun dari lantai atas, area khusus bagi atasan dan departemen personalia. Orang-orang itu berjalan dari satu kubikel ke kubikel lain. Sesekali mereka berhenti sebentar, melakukan percakapan entah apa itu. “Ed, Ed,” desisku pada pria di sebelah kubikelku. “Hmm.” Edi masih setia memantengi monitornya. “Lo nyuruh gue dandan karena ada sidak ya?” tanyaku dengan suara kecil. Tidak ada satu pun dari kami yang bertatapan atau membuat interaksi mata. Terdengar suara kekehan tertahan Edi. “Makanya kalo dikasih saran nurut.” “Lo nggak bilang bakal ada sidak. Korelasinya sama dandan apa?” Suaraku menggeram menahan emosi. Kuperhatikan rombongan itu terdiri dari lima pria dan dua perempuan. Satu perempuan kukenali sebagai Friska. Tiga pria lainnya adalah kepala masing-masing departemen. Sisanya tidak bisa kukenali karena terlalu jauh dan mungkin memang tidak kukenal. Barangkali orang kantor pusat. “Bos dari pusat masih lajang, karyawati lain heboh mau tebar ranjau. Emang nggak mau ikutan?” Aku merasakan nada usil dalam ucapan Edi. Hanya saja aku berbeda dengan karyawati lain. Aku tidak mau menjalin hubungan apa pun sekarang dan ke depannya dengan pria manapun. Aku mencoba mengembalikan fokusku pada tabel Excel di hadapanku. Sidak pagi ini bukan pengalaman pertama selama aku bekerja di sini. Namun hatiku ketar-ketir mengingat efisiensi karyawan yang akan diberlakukan. Rombongan itu berjalan mendekat ke arah kubikel divisiku. Bu Erika berjalan tergopoh-gopoh menyambut pria yang berdiri di antara rombongan itu. Seseorang yang paling menonjol dengan setelan jasnya yang melekat pas badan, tubuh tegap, dan wajah rupawan. Wajah rupawan itu... Aku membelalakan mata ketika menyadari pria itu bukan orang asing. Wajahnya, senyumnya, bahkan jernih matanya benar-benar kuhapal. Aku merendahkan badan agar keberadaanku tertutupi dinding kubikel. Aku merapalkan doa apa saja yang terlintas agar situasi yang paling aku takutkan tidak terjadi. Debar jantungku rasanya sudah mendobrak-dobrak tulang rusuk. Keringat dingin turut menyemarakan kepanikan dengan mengalir dari pelipis turun ke pipiku. “Vhiya.” Hatiku mencelos. Debarannya hilang. Aku meneguk ludah, mempersiapkan diri pada panggilan itu. Rasanya aku ingin menyangkal namaku sendiri. Sekali saja, aku ingin berganti nama untuk satu hari, Aku mengangkat kepala. Mataku menemukan Bu Erika berdiri di depan kubikel dengan wajah cemas. Aku melirik kanan-kiri Bu Erika, tidak ada siapapun. Mataku mengintip di balik tubuh gempal atasanku itu, barulah aku menemukan rombongan para atasan itu berjalan menuju ke lantai atas. “Vhiya,” panggil Bu Erika lagi. “I-iya ap-p-pa, Bu?” Aku menggigit daging dalam mulut sambil mengutuk kegugupan yang menyerang. “Kamu sakit?” Pertanyaan Bu Erika membuat Edi melirikku penuh tanda tanya. “Nggak, Bu. Saya baik-baik saja. Cuma kebelet,” jawabku bohong. Bu Erika bernapas lega dan Edi kembali melanjutkan aktivitasnya di komputer. “Saya kira kamu sakit. Pucat begitu mukanya. Kalau kebelet bilang saja, sidak bukan alasan kamu menahan buang air. Bisa bahaya kalau ditahan-” “Bu,” potong Edi. Wajahnya kelihatan bosan mendengar ocehan Bu Erika. “Nanti Vhiya kencing di sini.” Bu Erika tertawa. Dia mengizinkanku ke toilet. Aku terpaksa berjalan terburu-buru demi menutupi kebohonganku soal kebelet.   OoO   Aku mencuci tangan usai mendekam dalam bilik toilet selama sepuluh menit yang tidak menghasilkan urin keluar sama sekali. Saat berjalan keluar toilet, sebuah sapaan menyergap telingaku. “Hai, Vhi.” Tubuhku menegang. Suara itu jelas bukan suara Bu Erika. Otakku berpikir ada baiknya aku pura-pura tidak mendengar lalu kabur kembali ke kubikelku dengan aman. Ah, pasti tidak aman jika orang yang memanggilku menyusul dan menarik perhatian karyawan sekantor. Berikutnya gosip paling rendahan akan menempel di belakang julukan ‘Nyamuk Bos’. Aku balik badan dan mendapati seorang pria dalam setelan jas yang licin. Dulu, orang itu akan berkeliaran dengan kaos yang dipadu kemeja flanel dan celana jeans. Ketika mulai bekerja, dia memakai kemeja polos dan pantalon hitam. Sekarang, setelah sekian tahun berlalu, penampilannya tak lagi sama. Penampilan seorang eksekutif muda. Pria itu menampilkan senyum ramah. Jika perempuan lain akan terbius untuk ikut tersenyum, tidak denganku yang mati-matian menahan takut. Pria itu masih tampan dan mempunyai aura penggoda iman perempuan mana saja, tapi aku sudah imun dengannya. Aku mengangkat sebelah tangan, menginterupsinya yang mau berbicara. “Jika ingin bertanya kabar, saya baik bahkan akan lebih baik jika Bapak bersikap tidak mengenal saya. Jadi tolong jangan bersikap akrab dengan saya,” kataku. Aku memutar tubuh lalu berjalan cepat kembali ke kubikel dengan tenaga yang tersisa. Aku tidak ingin berbalik untuk melihat bagaimana ekspresi pria itu. Aku ingin dia tahu aku serius akan ucapanku. “Udah kencingnya?” tanya Edi. “Udah,” desisku. “Yakin nggak sakit?” Aku menoleh ke Edi dengan tampang bodoh. “Hah? Apa deh maksudnya?” “Muka lo masih pucet.” Telunjuknya mengarah pada wajahku. Bagaimana bisa aku menjelaskan ke Edi kalau aku baru saja bertemu orang yang pernah aku sakiti, yang secara kebetulan adalah bos dari kantor pusat dan secara kebetulan pula pria itu adalah kakak sepupu dari bos besar kantor ini, Friska. “Perempuan biasa Ed, tamu bulanan.” Aku pasang cengiran lebar. Percaya, Ed, percaya saja. Edi mengangguk. Aku mengurut d**a. Sedikit bisa tenang. Bathinku terus memohon pada Tuhan agar aku diizinkan bekerja di sini tanpa bersinggungan dengan masa laluku, Pranaji Devario dan keluarganya. Tubuhku kontan melompat dari kursi saat mendengar dering telepon di mejaku. Edi menatapku kesal dan jengah. Aku mendesiskan kata ‘maaf’ lalu mengangkat gagang telepon itu. “Nanti maksi bareng yuk. Awas kabur.” Tut. Tut. Tut. Aku mematung. Panggilan itu begitu singkat tanpa sapaan halo atau basa-basi mengenalkan diri. Tidak perlu. Tanpa mengenalkan diri pun aku tahu siapa yang menelepon dengan saluran kantor demi urusan pribadi, serta dibumbui dengan ancaman kekanakan di ujungnya. Setelah cukup pulih dari ‘tabrakan’ kejutan seharian ini, aku meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Tanganku memijat pelipis yang mendadak terasa ditusuk-tusuk. Nasibku tidak cukup baik. Mungkin aku harus mencoba kebiasaan pacar Edi yang langganan membaca ramalan bintang harian. Jika di ramalanku mengatakan ‘jangan masuk kerja’, aku bisa menyiapkan diri akan ada petaka yang menanti. Sehingga dengan mudah aku menyiapkan surat rekomendasi dokter untuk izin kerja. “Siapa yang nelpon?” tanya Edi. Friska, jawabku dalam hati. “Bos,” jawabku pendek. Aku mengetuk keyboard keras-keras agar tampak sibuk dan menutup akses Edi bertanya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD