bc

Benih Sang Duda Kaya

book_age18+
796
FOLLOW
7.9K
READ
HE
escape while being pregnant
opposites attract
arrogant
decisive
heir/heiress
blue collar
drama
bxg
no-couple
genius
like
intro-logo
Blurb

“Dengan semua yang kumiliki ini, tidak ada perempuan yang akan menolakku.”—Jeremy.

“Aku bersumpah! Aku tidak akan pernah luluh hanya karena uang yang kamu miliki Jeremy!”—Jenara

Jenara membenci orang kaya, dan ia semakin membenci orang kaya setelah bertemu dengan Jeremy—laki-laki yang hanya mempermainkan perempuan dengan uang.

Rasa benci Jenara semakin menjadi saat Jeremy berusaha merebut anak semata wayangnya—anak yang tanpa sengaja hadir dalam hidupnya karena hubungan masa lalu mereka, anak yang selama ini ia sembunyikan dari Jeremy.

Bagaimanakah akhir dari kisah ini? Ikuti perjalanannya setiap hari.

chap-preview
Free preview
Awal Sebuah Masalah
“Mama tidak mau tahu Jeremy! Ini perintah!” Jeremy Kalvin Palevi, pria berusia tiga puluh delapan tahun itu hanya diam—makan dengan tenang, membiarkan perempuan yang melahirkannya mengatur napas, setelah meneriakinya. Beberapa tahun terakhir Rosseane—ibunya menjadi sangat bawel, selalu menuntutnya memiliki istri dan anak. Tidak memandang waktu dan tempat yang dibahasnya selalu hal yang sama. Seperti sekarang, di kantornya pun Rosseane tetap mengomelinya. Berulang kali setelah ia bercerai, Ibunya itu selalu mengajaknya makan malam—padahal aslinya kencan buta, lalu sering kali mengadakan pesta besar-besaran untuk perayaan sekecil apapun—yang aslinya sedang menjaring calon menantu. Jujur saja, Jeremy muak. Ia bosan mendengarkan hal itu. Tapi ia tak bisa melakukan apapun selain mendiamkannya. Toh besoknya saat ia mengabari mendapatkan tender besar ibunya itu tak akan membahasnya lagi. Namun dari semua itu yang paling menyebalkan adalah membahas mantan istri. Perempuan yang membuatnya tak percaya pada gelar istri dan pada perempuan manapun. “Sampai sekarang Mama masih tidak habis pikir, kenapa kamu menceraikan Clara? Kenapa kamu melepaskan perempuan seperti dia? Coba kalau kamu masih sama dia! Sekarang kamu pasti sudah punya anak! Kamu sudah punya penerus Jeremy!” “Uhuk!” Jeremy mengulurkan gelas, saat hampir Rosseane raih—dengan jahil Jeremy menariknya lagi. “Apa tidak bosan membahas istri dan cucu terus?” “Jeremy! Dasar anak nakal!” Jeremy terkekeh melihat ibunya yang murka. Lalu memberikan gelas di tangannya. “Ma tidak bisakah Mama membiarkanku menikmati hidupku dulu sementara waktu?” “Tapi Jeremy mau sampai kapan? Kamu sudah 38 tahun, kamu juga sudah menduda selama 7 tahun.” Jeremy kembali duduk tegak, menghadap ke arah Rosseane yang masih menatapnya berang. “Apa lagi yang kamu kejar? Karir sudah bagus, kamu punya semua hal yang orang lain inginkan. Cuma anak! Cuma penerus yang belum kamu punya.” “Sekarang coba kamu pikir, untuk siapa kerja keras yang kamu lakukan sekarang kalau tidak punya keturunan? Untuk siapa kamu bekerja dari gelap sampai gelap lagi kalau bukan untuk penerusmu?” “Baik! Sekarang Mama tidak akan membicarakan soal istri. Tapi anak. Mama ingin cucu! Cucu dari kamu—anak laki-laki Mama! Penerus utama keluarga Palevi!” Jeremy menggaruk alis sesaat, lalu berdiri. “Mau kemana kamu?! Mama belum selesai bicara.” “James mengabari kalau Suster-nya Kaisar pulang kampung, dan James sendiri harus menjaga Nadia yang masih di rumah sakit. Jadi aku akan menjemput Kaisar ke sekolah.” “Minta saja asistenmu yang jemput. Gabriel atau Viona, siapapun itu.” “Tidak bisa, Kaisar ingin pulang denganku.” Rosseane mendesis. “Bilang saja kamu mau menghindari Mama.” Jeremy tergelak. “Tuh tahu.” “Dasar anak nakal!!!” Jeremy mendekat ke arah Rosseane, memeluk ibunya itu. Buk! “Aw! Ma! Sakit!” Rosseane memukulnya keras. “Rasakan itu. Dasar keras kepala!” “Keponakanmu saja sudah punya anak. Kamu juga sudah dipanggil Kakek! Tapi masih begitu-gitu saja!” James melenggang pergi meninggalkan ibunya, mengabaikan seluruh ocehan yang belum juga selesai. “JEREMY! POKOKNYA MAMA MAU CUCU!” *** “Kaisar kamu yakin kakekmu tidak lupa?” “Tidak Gio.” “Tapikan kakek-kakek suka lupa.” “Ih. Kakekku bukan kakek-kakek. Tapi Kakek. Kakekku masih muda. Masih keren.” Giovanni Agung Adiwangsa anak yang hampir berusia enam tahun, baik, cerdas dan sangat sopan. Meski bukan dari kalangan keluarga kaya raya tapi Gio—nama panggilan anak itu—bisa berada di sekolah elite berkat kecerdasan yang ia miliki, berkat bakat yang perlahan muncul dan ditemukan oleh salah satu keluarga Kaisar yang memang pemilik sekolah elite itu satu tahun lalu. Saat pertama kali bertemu dengan Kaisar di playground, Gio malu—anak itu minder karena Kaisar memiliki segalanya. Tapi Kaisar begitu rendah hati, Kaisar justru lebih memilihnya sebagai teman daripada orang kaya yang lain. Berkat Kaisar Gio bisa mencoba makanan enak yang tidak pernah ia makan di rumah, berkat Kaisar juga ia bisa merasakan mobil mewah yang belum pernah ia tumpangi. “Itu dia!” Seru Kaisar. Sebuah mobil mewah memasuki lapangan parkir. Gio meringis, sungkan saat melihat mobil mewah yang sangat mengkilap itu. Pasti mahal. Pikir otak kecilnya. “Apa tidak apa-apa aku menumpang?” Gio mendadak ragu, ia jadi ingat lagi penuturan ibunya yang selalu setiap pagi ia dengar. Kalau ia tidak boleh menumpang sembarangan pada orang yang tidak dikenal. “Tidak apa-apa. Ayo.” “Eh… aku nunggu Mama aja.” “Ih jangan. Mau sampai sore nunggu di sini? Nanti lapar. Nanti ngantuk. Mendingan ikut yuk. Gapapa.” “Hei ada apa ini?” “Kakek!” “Kai please jangan panggil Kakek. Om saja.” “Ih Kakek. Kata Mama sama Papa, panggilnya Kakek jangan om.” “Baiklah. Terserah Kai saja.” Gio menatap pria dewasa dihadapannya itu, memindainya beberapa saat dengan kepala yang miring. Entah kenapa rasanya Gio begitu nyaman melihat orang asing dihadapannya itu. Tidak ada rasa takut seperti biasanya, tidak ada rasa canggung juga. Ia justru ingin menatapnya semakin lama. “Hai. Siapa ini Kai?” “Gio. Gio teman Kai.” Kaisar menoleh ke arah Gio. “Gio ini Kakek yang aku bilang. Kakek Jeremy.” “Oh.” Matanya mengerjap. “Hai Kakek—ah Om, aku Giovanni, panggil saja Gio. Salam kenal Om.” Ujar Gio diakhiri dengan senyuman manis dan mata yang menyipit. Jeremy dibuat terdiam oleh anak itu, jantungnya mendadak berdebar kencang, desiran hangat perlahan merambat masuk memenuhi dadanya. Saat tangannya meraih tangan mungil itu, seolah ada sengatan listrik yang semakin menggetarkan jiwanya. “H—hai Gio. Kenalin nama Om Jeremy. Kamu bisa panggil Om saja ya? Om Je.” Gio mengangguk semangat. Seketika Jeremy seperti tersihir oleh anak itu, ia tak bisa mengalihkan pandangan dari anak itu barang sedetik pun. Parasnya sangat tampan, dengan dahi sempit, matanya yang bulat, bulu mata yang lentik, hidungnya yang mungil—tapi sudah terlihat jelas akan sangat lancip saat dewasa, juga bibir tipisnya. Jeremy seperti melihat jiplakan dirinya saat kecil. Persis, 80% dari wajah anak itu mirip sekali dengannya. Apakah anak ini anaknya? Anak yang tanpa ia ketahui keberadaannya? “Om?” Jeremy terhenyak, ia kemudian tersenyum. Apa yang sedang kamu pikirkan Jeremy? Jangan gila. “A—ayo Om antar pulang.” “Tidak apa-apa?” Jeremy tersenyum tipis. “Tentu saja. Nanti Om antar pulang sampai ke depan rumah. Ayo.” Jeremy mengulurkan tangan pada kedua anak itu, yang tentu saja di sambut dengan suka cita. Saat itulah Jeremy merasakan perbedaan genggaman anak itu. Genggaman anak itu terasa sangat ketat, sangat pas di tangan kirinya. Hatinya kembali menghangat, kembali terasa penuh oleh suka cita. Ia melirik Gio yang sedang berjalan begitu riang. Bagaimana bisa ia merasakan perasaan ini pada seorang anak yang bahkan baru pertama kali ia temui? Seperti… perasaan rindu. Penuh damba.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook