bc

Serpihan Hati

book_age16+
22
FOLLOW
1K
READ
family
age gap
goodgirl
brave
drama
comedy
sweet
humorous
lighthearted
coming of age
like
intro-logo
Blurb

Usia tiga puluh lima tahun, kata orang sudah seharusnya menikah. Tapi cintaku selalu kandas dan berakhir buruk. Seperti gadis yang terakhir kali bersama denganku, memilih untuk meninggalkanku dan bersama pria lain hanya karena harta. Bukan karena aku tak punya apa-apa. Usaha cafeku sudah meluas. Tapi aku memilih untuk tampil apa adanya. Saat itu, kuputuskan untuk tidak memikirkan perihal menikah. Kututup rapat hatiku. Namun seorang gadis bernama Silvie muncul dalam kehidupanku. Gadis yang biasa saja, tapi tidak munafik. Ia tampil apa adanya dan blak-blakan. Silvie dengan terang-terangan mengaku menyukaiku. Memaksaku untuk membuka hati lagi. Namun terlalu banyak perbedaan di antara kami, yang membuatku harus berjuang untuk bisa bersama dengannya. Akankah kisah kami berakhir bahagia?

Cover:

Gambar: Pixabay (autumnsgoddess0)

Font: Playlist Script, Open Sans

Desain: silvia_meigita

chap-preview
Free preview
Patah Hati
Aku memarkirkan mobilku dengan asal. Pikiranku kacau. Hatiku sakit, teramat sakit. Bagaimana tidak, gadis yang aku yakini akan menemaniku seumur hidup, nyatanya memilih untuk mengakhiri hubungan kami secara sepihak. Tak ada alasan yang jelas. Ia hanya bilang, kalau kami tidak berjodoh. Alasan macam apa itu? Bagaimana dia bisa mengatakan hal itu, seolah dia mengetahui rahasia Tuhan yang satu itu. Dan jika memang benar dia tau, kenapa dia mau merajut cinta bersama denganku? Bunyi dentuman pintu rumah pun terdengar memekakkan telinga saat aku menutupnya kasar. Membuat ibu yang sedang menata bunga hias di meja menatap kaget sekaligus bingung. "Adi, ada apa ini?" tanya ibu. Tapi aku hanya mengabaikannya. Aku tidak sedang dalam mood yang baik untuk menjawab ibu. Berjalan dengan langkah panjang langsung menuju kamar. Menguncinya dengan rapat. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur yang selalu menemani malamku. Bayangan pertemuan kami tadi kembali melintas di pikiran. "Aku mau putus," Rara berkata setelah kami terdiam beberapa saat. "Apa? Ra, kamu sadar apa yang kamu ucapkan?" Aku sungguh tidak percaya dengan apa yang kudengar. Rara menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Wanita memang seperti itu. Sulit ditebak. "Aku serius, Kak. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita lagi." Dia menegaskan. Aku menatapnya secara intens. "Tapi kenapa, Ra? Aku ada salah apa sama kamu? Bukannya kita selama ini baik-baik aja? Bahkan aku udah memikirkan untuk pernikahan kita kelak," kataku mencoba membantah. Rara malah menggelengkan kepala. "Tapi aku nggak bisa, Kak. Kita ternyata nggak berjodoh." "Nggak berjodoh, gimana maksud kamu? Kamu tau siapa jodoh kamu kelak?" "Ya, aku merasa seperti itu, Kak. Jadi aku nggak ingin melanjutkannya lagi." Kuraih tangannya dalam genggaman. "Ra, kita bisa bicara baik-baik. Kamu jelasin apa kesalahan Kakak. Biar Kakak bisa benerin. Nggak kayak gini, dong, Ra." Rara melepaskan tangannya dari genggamanku. "Nggak bisa, Kak. Maaf. Dan terima kasih udah nemenin Rara dua tahun belakangan ini." "Ra, kamu punya pria lain?" Aku mencoba menyelidik. Aku tidak percaya jika hanya itu alasan yang dia berikan. Aku pikir, dia menemukan seseorang yang dia rasa lebih baik dariku. Karena selama ini, kami tak pernah terlibat percekcokan. Dan aku yakin, kalau kami saling mencintai. Cintaku ini tidak bertepuk sebelah tangan. "Nggak, Kak. Kita cuma nggak berjodoh aja," katanya kekeuh. Aku terdiam. Bagaimana mungkin hanya alasan itu yang dia punya, dan langsung memutuskan hubungan kami. Memangnya dia siapa? "Ra..." "Maaf, ya, Kak. Aku pergi dulu. Kakak baik-baik, ya, tanpa aku." Rara langsung melangkah meninggalkan aku yang masih mematung tak percaya. Takdir semacam apa ini, Tuhan? Kenapa aku harus merasakan kembali sakitnya ditinggalkan oleh orang yang ku sayangi? Kenapa nasibku tidak begitu baik dalam hubungan percintaan? Kesalahan apa yang sudah aku lakukan dalam kehidupan ini, hingga aku tak layak untuk mendapatkan cinta yang tulus? Karma apa ini, Tuhan? Disaat aku sudah yakin, jika dia adalah orang yang tepat untuk bersamaku, dia malah memutuskan untuk pergi. Aku sama sekali tidak pernah menyakiti hatinya. Aku selalu menjaganya dengan sangat baik. Semua keinginannya selalu kuberikan, sebisaku. Tapi kenapa harus berakhir seperti ini? Hancur sudah duniaku. Tidak ada lagi yang bisa kupercaya di dunia ini. Semua sama saja. Tak ada yang menginginkanku. Kehadiranku di dunia ini seperti tak ada manfaat. "Kamu kenapa, Di?" Kudengar suara ibu yang mengetuk pintu kamar. "Nggak, Bu. Aku cuma ingin sendiri aja." Aku membalas dari dalam. Tak ada niat untuk membuka pintu. Aku masih bisa mendengar helaan nafas ibu di luar. Aku tau, ibu sedikit kecewa. Tapi jika aku memberitahukan pada ibu bahwa gadis yang terakhir kali ku kenalkan padanya sudah meninggalkanku, ibu pasti lebih kecewa lagi. Dan aku pasti akan mendengar pertanyaan yang menyakitkan itu lagi. Apa lagi kalau bukan pertanyaan 'kapan nikah?'. Jujur saja, aku juga ingin segera menikah. Tidak pernah terbersit dalam pikiranku untuk bermain-main dalam urusan hubungan percintaan. Aku selalu serius, bahkan sejak pertama kali menjalin hubungan dengan seorang gadis. Tapi sayangnya, semua berakhir tidak baik. Dari sekian banyak wanita yang pernah ku ajak kencan, nyatanya tidak satupun yang bisa menerima diriku apa adanya. Haruskah aku berhenti sekarang? Rasanya, waktu tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Ya, tiga belas tahun sudah. Sejak aku masih berusia dua puluh dua tahun, pertama kalinya aku menjalin hubungan dengan seorang gadis. Dan kini, di usia tiga puluh lima tahun, pencarian ku belum membuahkan hasil. Aku masih melajang, dan saat ini baru saja patah hati. Menyedihkan. Terlalu meratapi nasib, aku malah tertidur entah sudah berapa lama. Saat aku terbangun, aku hanya merasakan seluruh tubuhku sangat berat. Rasanya sangat sulit untuk bangun dari tempat tidurku. Saat mengusap wajah, wajahku basah. Sepertinya aku menangis dalam tidurku. Karena aku tidak berkeringat. Sesedih ini ternyata diriku kehilangan dia. "Kak." "Hm?" Aku memalingkan wajah ke samping, ke arahnya. Menatap wajahnya yang sangat intens menatapku. "Aku mencintai Kakak." "Aku tau. Aku juga mencintaimu." Dia memeluk tubuhku dari samping. Menyandarkan kepalanya di bahuku. Sikap manja yang sering dia lakukan padaku. Dan aku menyukai saat dia seperti itu. Yang berarti, dia membutuhkanku. Kehadiranku cukup berarti baginya. Aku pun memberikan sebuah kecupan di rambutnya yang memiliki wangi sangat khas. Wangi yang sangat aku sukai. "Berapa persen cinta Kakak untukku?" tanyanya lagi tanpa mengubah posisinya. "Memangnya cinta itu punya persen-persen juga?" "Tentu saja!" Dia mengangkat wajahnya dan menatapku sedikit garang. "Siapa tau aja, Kakak hanya mencintaiku setengah hati." Aku terkekeh pelan. "Aku sama sekali tidak mengetahui hal seperti itu. Bagiku, cinta ya tetap cinta. Tidak pernah tau ada persen-persennya begitu." Seolah menyadari sesuatu yang menyenangkan, senyum tipis tersungging di bibir mungilnya. Kemudian mengembalikan posisinya seperti semula. "Aku ingin selamanya bersama Kakak," katanya setelah menyandarkan kepalanya lagi di bahuku. Tangannya pun menyelip masuk ke dalam celah di antara tangan dan pinggangku. "Kakak mau, kan, menua bersamaku?" lanjutnya. Aku melepaskan gamitan tangannya di lenganku. Memilih untuk merangkulnya dengan erat. "Tentu saja." Kami saling menatap untuk waktu yang sangat singkat. Ku dekatkan wajah padanya, hingga sebuah kecupan singkat kuberikan tepat di bibirnya. Hanya kecupan kecil. Aku tidak ingin berbuat terlalu jauh. Dan kami tersenyum bersama setelahnya. Kenangan itu kembali melintas di pikiranku. Saat dimana dia mengatakan secara langsung, kalau dia mencintaiku dan ingin hidup bersamaku sampai menua bersama. Tapi ternyata, janji itu palsu. Janji yang ku yakini akan membawa kebahagiaan, malah berujung tak baik. Aku mengusap wajahku dengan kasar. Bayangan tentang dirinya masih saja memenuhi pikiranku. Padahal yang kudapatkan darinya adalah kepedihan. Sekarang, tidak ada lagi yang perlu aku ingat darinya. Entah bagaimana caranya, aku harus segera melupakan dirinya. Ya, harus! Aku harus memulai kehidupanku yang baru, tanpa dirinya tentu saja. Semoga saja alam masih berbaik hati padaku, dengan menghapuskan dirinya dari hati dan pikiranku. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.5K
bc

My Secret Little Wife

read
97.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook