1. Satu

1370 Words
Sekarang, bisakah Rahee menyuntikkan cairan bius ke dalam tubuh pria itu? "Kau selalu ada di mana pun. Aku tak habis pikir denganmu. Setidaknya, seorang pengangguran sekalipun masih memiliki waktu lain selain untuk menguntitku." Ia berdesis dalam langkah terburu. Ada satu pasien yang menanti perawatannya. Kira-kira seperti itu. Tetapi Sean tak pernah mau jauh satu langkah pun darinya, sejak hari kemarin. Rahee tak paham dengan kewarasan lelaki Oh itu. "Untuk itu, katakan 'ya' dan lusa kita menikah. Maka aku akan berhenti mengikutimu." "Pria gila!" Rahee memajukan kecepatan berjalannya bahkan ia sampai berlari, selain untuk menjauh dari Sean, ia juga sedang dikejar waktu. Berbicara dengan lelaki itu justru membuat waktunya terbuang. Dan Sean hanya terdiam menatap hampa pada punggung Rahee yang semakin mengecil hingga hilang di belokan koridor. "Oh, bastard! Kau di sini?" Sean terkejut tapi tak nampak, ia selalu pandai menyembunyikan rautnya dengan satu ekspresi datar yang ia punya. Menatap Kei yang sudah berani menghancurkan lamunan kosongnya. "Masih sama. Membujuk dia agar mau kunikahi." Kei tergelak dengan tawanya. Rupanya perkataan Sean barusan bagaikan lelucon konyol yang patut ia tertawakan. "Si Jenius ini bisa bodoh juga, ya?" Sean mendelik, Kei merampungkan ucapannya, "Siapa yang mau menikah denganmu jika cara kau mengatakannya saja seperti seorang psikopat! Dia takut, Dude. Kau harus memulainya dengan cara pendekatan." Begitu katanya. "Kami sudah dekat, saranmu terlalu melankolis. Aku bukan remaja yang mengajak gadisnya untuk pacaran, jika perlu kuingatkan." "Baiklah, terserah kau saja. Ngomong-ngomong, waktuku tidak banyak. Aku pergi dulu dan jangan berlama-lama mematung di sini, kau tidak malu jadi pusat perhatian? Ini rumah sakit, Sean." Peringatannya dengan tatapan jenaka. Sean mendengkus kesal, tak perlu diingatkan pun ia sudah tahu dan tidak lupa bahwa ini memang rumah sakit. Bau obatnya saja sangat menyengat. "Akan kuberi dia waktu senggang hari ini saja. Lakukanlah dengan baik, dan jangan mengulang masa lalu. Ingat!" ucapan Kei sebelum kini benar-benar beranjak pergi. Sean memutar bola matanya, sebelum kemudia dia terkekeh sinis. Sudah dikata, Sean tidak bisa memainkan gerakan bibirnya dengan manis dan benar. Yang dia bisa hanyalah berkata sinis, menyeringai, dan kissing. Hanya itu. *** Bukan musim panas, bukan juga musim dingin atau pun semi. Sean tak yakin, mungkinkah ini musim gugur? Peduli setan! Yang dia tahu, cuacanya lembab dan berawan jingga. Dengan dirinya yang duduk manis di pinggir jendela kafe, dia sedang menanti wanitanya. Ya, benar. Mulai saat ini Rahee adalah miliknya, dan yang ditunggu pun tiba. "Sepenting itukah urusanmu hingga membuatku break di saat jam kerja?" Napasnya masih memburu karena marah dan lelah setelah berjalan cepat untuk sampai di sini. Sean tersenyum. "Duduklah, dan pesan sesuatu. Sepertinya kau butuh air." Sangat santai tak bernada. Secepat kilat Rahee meraih gelas berisikan air dukun yang tinggal bersisa setengah. Meminumnya dengan sekali tegukan hingga kandas. Bukan karena haus, tapi dia kesal dan ingin memaki pria kurang ajar ini. Sean membulatkan bibirnya menyerupai 'o' kecil di sana, tapi rautnya masih datar. "Kau meminum tepat di bagian bekas bibirku. Kita resmi berciuman," katanya. Rahee tertawa remeh, lalu ia duduk memosisikan diri tepat di hadapan Sean. "Langsung saja, katakan tujuanmu?" Sean mengangguk. "Masih sama, ayo menikah." Demi Tuhan! Ingin rasanya Rahee membenturkan kepala Sean pada kaca tebal di sampingnya agar dia sadar atas ucapannya barusan. "Kenapa?" Rahee menyipitkan matanya. "Aku tak mengenalmu. Segampang itukah kau mengajak seorang gadis untuk menikah? Bahkan belum genap dua hari kita bertemu. Sangat konyol!" "Untuk itu, bertanyalah." Pasta ikan! Sebenarnya siapa yang gila di sini? "Kenapa kau mengajakku menikah?" tanya Rahee. Dia akan bersabar sedikit lebih lama menghadapi sosok di hadapannya. "Aku mencintaimu." Ini lebih gila daripada yang tadi. Rahee menggeleng sambil tertawa, menertawakan diri sendiri yang mau-mau saja datang kemari atas perintah Kei. "Kau—" "Ikut aku!" Sean menarik lengan Rahee sebelum kalimat gadis itu selesai. Mereka keluar dari kafe dengan iringan tanda tanya besar dan bisikan-bisikan halus dari siapa pun yang melihat tingkah keduanya. Sean tak peduli, bahkan jika dia sadar saat ini genggaman tangannya berubah menjadi sebuah cengkeraman kuat hingga membuat Rahee meringis. "Lepaskan aku, Sean!" Ia memberontak. Tak suka diperlakukan kasar apalagi oleh orang yang baru kenal kemarin dengannya. Bukannya menurut, Sean justru semakin mempererat pegangannya pada tangan Rahee dan terkesan menyeretnya. Kemudian menghempaskan tubuh gadis itu ke dalam kursi penumpang di sebelah jok kemudinya. "Oh Sean!" Aston Martin One-77 andalannya yang menjadi respons bentakkan Rahee. Sean menginjak pedal gasnya sedalam yang ia bisa, menunjukkan angka kilometer per jam yang tidak main-main dengan kecepatannya. Membelah jalanan padat kota Seoul dengan kuda besinya, Sean mengabaikan Rahee. Jantungnya bedetak tak seirama. Selama dalam perjalanan Rahee memejamkan matanya dengan sebelah tangan yang digenggam erat oleh Sean. Aneh sekali, pemuda itu yang membuat nyawa mereka nyaris mati tapi perlakuannya kini seolah dia adalah pahlawan pelindung untuk dirinya. Mobil itu berhenti. Rahee membuka kelopaknya perlahan. "Jangan takut, Sayang. Ada aku." Rahee terlonjak ketika suara bisikan itu menyambut ketidaktenangan jantungnya. Sekarang apa lagi? Rahee menatap penuh permohonan pada wajah Sean, memintanya agar menghentikan hal gila ini. Hidupnya sudah tenang tanpa munculnya sosok tersebut. "Apa maumu?" Berusaha sekuat tenaga agar tidak berteriak memaki. Sean mengulurkan tangannya, membenarkan helai rambut yang menghalangi wajah cantik itu. Ia tersenyum simpul, untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Sean bisa memainkan lekukan bibirnya dengan benar. Rahee tertegun, hatinya bersorak girang, jutaan kupu-kupu terbang menggelitiki rongga perutnya. Perasaan macam apakah ini? "Menikahlah denganku, Rahee. Aku akan melamarmu. Jadi, bersiaplah," katanya lembut. Lagi-lagi respons tubuhnya bertolak dengan logika. Dalam hati, Rahee tersenyum hingga sampai ke pipinya yang bersemu entah karena apa. Namun, pikirannya menentang keras respons tersebut. Ini bukan cinta pandangan pertama, kan? Tentu saja bukan! Jika iya, harusnya ini terjadi kemarin saat pertama kali melihat Sean. Rahee tertawa. "Woah, kau pandai sekali bermain kata," sinisnya dalam berucap. Sean sedang diselimuti oleh sayap malaikat putih, jadi dia tak menggubrisnya dengan kalimat pedas atau perlakuan iblis. Yang ada, Sean justru keluar dari mobil, membukakan pintu bagian penumpang, melepaskan sabuk pengaman tanpa Rahee setujui, dan setelahnya dia malah membopong tubuh mungil itu dalam gendongan. Rahee menjerit, ia minta diturunkan. Selain malu, tersanjung, dia juga tak mau berpikir hal positif lainnya kepada pria yang berani menjungkirbalikkan hati dan pemikirannya. Sungguh b*****h! "Setelah ini, jatuh cintalah padaku Rahee," bisiknya di tengah langkah yang ia bawa. Rahee menenggelamkan wajahnya pada d**a bidang Sean, dia tak mau menunjukkan rona panas di sisi wajahnya. Sean tak boleh tahu, atau pria itu akan semakin besar kepala. *** Pemandangan musim gugur memanglah jadi juara dalam tingkat romantisme percintaan. Banyak para muda-mudi atau pasangan suami istri yang menjadikan nuasansa jingga sebagai latar untuk berkasih asmara. Sama seperti saat ini, Sean yang bertingkah ingin melamarnya. Sean menurunkan Rahee di tepi sungai Han. Katanya tempat ini sangat bersejarah dan legendaris terhadap persoalan cinta. Apalagi ditambah dengan rona sunset yang menjadi latar belakang suasananya. "Aku bukan pria seperti mereka," katanya sambil menunjuk sosok yang dia contohkan dalam bahasannya. Sean menjeda kalimatnya sejenak, menatap lekat lensa cokelat terang milik Rahee dengan sorotan mata elangnya. "Dan aku tidak mau seperti itu." Rahee hanya diam, dia belum menyerap betul makna kata dari perkataan itu. "Aku tak pernah bermain-main dengan ucapanku, semua yang kutakan bukan lelucon atau pun omong kosong. Untuk itu, jangan menganggapnya angin lalu. Rahee, aku sedang melamarmu," tegasnya. Lagi-lagi membuat Rahee bingung sendiri. Adakah pria macam ini selain Sean? Melamar seorang gadis dengan suara datar yang sarat akan tuntutan. Ia pikir, hanya Sean saja yang seperti ini. "Aku tidak butuh jawaban, yang kumau hanya kau untuk hadir dalam acara kita. Sudah kuputuskan, besok adalah puncaknya. Hari pernikahan kita." Kalian dengar itu? Harus seperti apa Rahee menanggapinya? "Sean—" "Menikahlah denganku." Kalimat yang sama seperti saat pertama, inikah yang disebut lamaran? "Oh Sean—" "Ya. Besok, persiapkan dirimu." Oh Tuhan! Rahee mengusap kasar wajahnya, di hadapan Sean dia tak perlu jaim atau bermalu-malu kucing. Saat ia hendak membuka mulut, secepat itu bibirnya bungkam kembali. Rahee terkejut, bola matanya yang tak mau berkedip. Oh Sean sedang memainkan bibirnya di atas permukaan bibir miliknya. Oh, bagus sekali! Ciumannya dicuri dengan tidak manusiawi. Seolah ia adalah permen kapas, bibirnya dilahap gemas dan seakan ingin menghabisi seluruhnya. Sean tak mau melepaskan tautan mereka meski Rahee sedang berusaha untuk melepas diri. Masalah utama bukan dari pandangan orang-orang yang malah mengabadikan momen menjijikkan ini. Bagi Rahee ini sangat menjijikkan. Yang jadi permasalahannya adalah, dia kehabisan napas, membutuhkan oksigen untuk tetap hidup. Dan dengan kurang ajarnya Sean malah semakin menjadi. Rahee menangis. Sean lupa diri. Ciuman lembutnya berubah buas, ia menggigit kasar bagian yang dilahapnya hingga menghasilkan darah. Siapapun tolong, sadarkan pria itu! ***     NOTE: Oke. Aku rasa di dunia nyata cowo jenis Sean itu emang gak ada. Makanya aku buat karangan fiksinya. Sebelum menuju ke jenjang yang lebih lanjut, aku mau memperingati. Mungkin, ini jenis cerita Mature. Tapi tenang, gak akan merinci di setiap kegiatannya kok. Aku juga masih terlalu dini untuk menjabarkannya. Wkwkwk Sekian terima kasih ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD