Bab 2 : Teman Baru dan Senior

1637 Words
Matahari menyembul malu-malu dari peraduannya. Udara yang berembus pagi ini pun terasa segar meski hawa dingin dari musim sebelumnya masih tersisa. Musim semi yang indah di tempat yang baru. Sarah berjalan menuju kelasnya dengan perasaan riang. Ia sendiri tidak tahu kenapa pagi ini rasanya begitu bersemangat. Ia belum mendapatkan teman sesama mahasiswa, tetapi tak jadi masalah. Setidaknya belum ada yang mempermasalahkan penampilannya. Hari pertamanya kemarin berjalan lancar meski sempat bersinggungan dengan dua senior yang Song Eun sebut menyebalkan. Sarah yakin seiring waktu ia pasti akan mendapatkan teman. Untuk saat ini, ia sudah bersyukur bisa berkenalan dengan Song Eun. Ia tidak beruntung karena ayahnya sakit saat OT berlangsung sehingga Sarah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan teman dan mengenal para seniornya sebelum benar-benar terjun ke kehidupan kampus. Namun, kehadiran Song Eun membuatnya tak lagi terlalu memikirkan hal itu. Sebenarnya, Sarah selalu takut tak dapat menemukan teman dekat jika berada di lingkungan baru. Mengingat selama berkali-kali ia pindah mengikuti pekerjaan ayahnya, hanya Hae Jin dan Su Yong yang bisa ia sebut sebagai teman. Namun, ia merasa yakin Song Eun adalah pribadi yang cocok untuk dijadikan teman baik. Ia bisa menebaknya di pertemuan pertama mereka, saat Song Eun yang awalnya menjaga jarak justru membelanya. Song Eun adalah gadis yang sederhana. Meski tampak nerdy dengan kacamata yang setia menghiasi wajahnya, ia ternyata tak seculun yang terlihat. Song Eun tampak keren sewaktu Sarah mengunjunginya di kantin kemarin siang. Cekatan dan rajin. Mereka sempat berbincang sejenak dan bertukar nomor telepon sebelum Song Eun harus kembali ke rutinitasnya. Dalam percakapan singkat tersebut, Song Eun sendiri mengatakan jika tidak ada teman yang benar-benar dekat dengannya. Gadis itu berpikir demikian karena statusnya yang hanya pegawai kantin kampus. Mahasiswa hanya akan bicara padanya untuk memesan makanan. Namun, Sarah meyakinkannya jika ia sungguh-sungguh ingin menjadi teman Song Eun. Dia percaya mereka akan cocok. Hari masih pagi saat Sarah tiba di kampus. Namun, sudah ada beberapa mahasiswa yang berlalu lalang. Kebanyakan berpasangan atau berkelompok dengan teman-teman mereka, menikmati suasana pagi sembari duduk-duduk di sekitar taman. Sarah mengurungkan niatnya untuk menuju kantin. Jam kerja Song Eun baru dimulai satu jam lagi. Gadis berkacamata itu jelas belum ada di sana sekarang. Ia lalu memutuskan untuk berbelok menuju taman dekat perpustakaan. Sembari menunggu kelasnya yang akan dimulai setengah jam lagi, Sarah pikir tak ada salahnya mampir ke sana dan ikut menikmati suasana taman kampus di pagi hari seperti yang lain. Sepuluh menit berada di sana cukup untuk bekal memulai hari sebelum akhirnya disibukkan dengan mata kuliah wajibnya hari ini. Suasana kampus yang cukup lengang membuat Sarah leluasa memilih tempat duduk. Ada beberapa bangku kayu panjang di taman tersebut. Sarah memutuskan untuk berdiam di bangku paling ujung, tepat di bawah naungan sebuah pohon gingko yang daunnya mulai bertunas. Setelah mendaratkan tubuhnya di sana, Sarah mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas. Novel yang baru dipinjamnya dari perpustakaan kemarin, tetapi belum sempat ia baca. Sarah baru membaca halaman pertama novel tersebut ketika terdengar suara langkah kaki mendekat. Ia menutup kembali novel di tangannya, lalu memandangi sepasang sepatu yang berada di hadapannya. "Pergilah! Ini tempatku," usir pemilik sepatu tersebut. Sarah mendongak untuk melihat siapa gerangan orang tersebut. Ia tidak suka ketika ada yang mengakui barang publik sebagai milik pribadi. Di Seoul, dia sudah sering bertemu orang-orang semacam itu. Sarah tidak berharap hal yang sama di Daegu. Namun, kalimat penolakan sekaligus bantahan yang siap keluar dari bibir Sarah sontak tertahan begitu ia dan orang tersebut bertatap muka. Pemuda yang kemarin menolong Sarah. Dia ada di hadapannya sekarang. Penampilannya tak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pakaian serba hitam, kecuali kausnya yang berwarna abu-abu. Namun, terlepas dari pakaian apa pun yang dikenakan pemuda itu, Sarah jelas tidak akan lupa dengan wajahnya. "Mianhae. Rupanya kamu. Aku tidak tahu jika ini tempatmu. Tapi, boleh aku duduk di sini beberapa menit lagi? Aku sedang menunggu teman," ujar Sarah. Melenceng dari niat awalnya yang siap untuk berdebat. "Kamu mengenalku?" tanya pemuda itu balik. Tak mengindahkan permintaan Sarah. Hampir saja Sarah mengatakan pertemuan mereka tempo hari, ketika ia ingat jika pemuda itu meminta Sarah melupakannya. "Aku rasa tidak. Aku baru di sini." Tadinya Sarah pikir pemuda itu akan bersikap ramah dengan memperkenalkan diri. Namun, jawabannya sungguh di luar dugaan. "Kalau begitu jangan bersikap ramah padaku,” balas pemuda itu dengan nada datar. Seharusnya Sarah tersinggung dengan ucapan pemuda itu, tapi ia justru diam. Tak tahu harus bereaksi apa. Lagipula, sejujurnya ia enggan untuk pergi. Tempat yang pemuda tersebut akui sebagai miliknya itu juga nyaman bagi Sarah. "Bahkan orang asing pun berhak mendapatkan keramahan. Lalu apa yang salah dengan sikapku?" Sarah hampir tidak percaya ia berkata seperti itu. Seharusnya ia langsung pergi saja begitu pemuda itu mengusirnya tadi. Sekarang, ia terkesan menantangnya. Seketika itu juga Sarah mendapat tatapan tajam dari pemuda tersebut. Tak tahu apa yang akan terjadi, ia hanya bisa berusaha membuang jauh-jauh semua dugaan buruk yang muncul di kepalanya. "Jadi, kamu tidak mau pergi?" Sarah menggeleng. Pertanyaan singkat yang membuatnya seolah berada di bawah ancaman. Terlebih suara sang pemuda yang berat terasa sangat mengintimidasi. "Hanya sebentar," pinta Sarah dengan nada suara sedikit memohon. Pemuda itu terdiam. Melihat ke sekeliling dengan gerakan samar, seolah sedang memastikan sesuatu. Begitu yakin akan apa yang dicarinya, ia kembali menatap Sarah. "Terserah kamu. Anggap saja kita tidak pernah membicarakan hal ini." Pemuda itu menjawab lalu berjalan pergi meninggalkan Sarah. Kalimat yang hampir sama dengan kemarin. Seolah pemuda itu anti dengan sebuah ingatan. Sarah jadi penasaran, apakah dia benar-benar melupakan semua hal yang sudah dialaminya. Atau sebenarnya dia selalu mengingatnya, sehingga perlu sebuah penolakan untuk membebaskan diri dari hal itu. Entahlah. Sarah sadar itu bukan urusannya. Kalaupun ada yang ingin ia tahu dari pemuda itu, maka hanya ada satu hal. Namanya. *** Lee Hong Ki tiba di kampus sepuluh menit lebih awal dari biasanya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa hari ini perasaannya mendadak berbeda. Pertama kali dalam tahun-tahunnya di kampus, Hong Ki merasa akan sangat menyesal jika sampai membolos atau terlambat datang. Kedatangannya hari ini juga terasa damai karena tak ada Ye Na yang biasanya akan menyambut lalu membuntutinya ke mana pun ia pergi. "Hanya sebentar.” Suara seorang perempuan menghentikan langkah Hong Ki yang mendekati taman kampus. Ia terdiam dan memandangi sumber suara tersebut. Si gadis beri dan pemuda berandal. Perpaduan aneh yang sukses menggugah rasa penasaran Hong Ki. Tatapan Hong Ki tak lepas sedikit pun dari kedua orang tersebut. Ia ingin tahu yang sedang dibicarakan mereka. Namun, tak lama kemudian Min Hyuk tiba-tiba pergi, menyisakan si gadis beri sebagai fokus utama Hong Ki. Seharusnya ia segera beranjak karena sumber ketertarikannya telah berakhir. Tak ada lagi percakapan yang mengundang rasa ingin tahu. Di bangku panjang itu kini hanya ada seorang gadis yang mendadak membuat Hong Ki merasa perlu mengamatinya. Penampilan gadis beri itu sungguh lain dari yang lain. Ransel ungu, bandana ungu, rok ungu, serta ornamen buah beri bertebaran di benda-benda yang dipakainya. Jika ingin menjadi pusat perhatian, gadis itu sukses besar. Walaupun perhatian yang didapatkannya tidak seperti yang biasanya diharapkan para gadis. Mungkin dia akan terlihat lebih cantik jika melepas semua atribut buah beri itu. Gumaman Hong Ki terdengar olehnya sendiri. Membuatnya tersadar dari keanehan yang baru saja melanda. Seorang Lee Hong Ki memikirkan seorang gadis yang jelas-jelas ada di depannya. Bukankah itu sangat aneh? Apalagi ia jelas-jelas mempermasalahkan penampilannya. Bukan mencemooh seperti yang sering ia lakukan pada Ye Na, tetapi justru memikirkan sebaliknya. Hong Ki memang terkesan dengan keberanian gadis itu melawan Ye Na kemarin, tetapi seharusnya tidak lebih dari itu. Situasinya ternyata menjadi semakin aneh karena kaki Hong Ki bergerak mendekati tempat gadis itu berada. Tidak ada keinginan untuk berbalik, justru langkahnya bertambah cepat sewaktu si gadis beri tampak hendak beranjak. Hong Ki seolah tak ingin kehilangan momen untuk bisa menghampiri dan menyapanya. “Sendirian?” Hong Ki berbasa-basi begitu sudah berada di hadapan Sarah. Gadis itu terkejut dengan kemunculannya dan terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk mengiakan. “Boleh aku bergabung?” “Silakan, Sunbae-nim,” jawab Sarah. Jelas sekali gadis itu terlihat tidak nyaman dengan keberadaan Hong Ki di sampingnya. Dia pasti menganggap Hong Ki sama buruknya dengan Ye Na karena peristiwa gelas kopi itu. Terlebih gadis itu juga tahu jika Hong Ki adalah seniornya. "Kita belum berkenalan," Hong Ki mengulurkan tangan, mengabaikan ketidaknyamanan yang masih kentara pada diri Sarah. “Namaku Lee Hong Ki.” Ragu-ragu dan terkesan takut, Sarah menjabat tangan Hong Ki lalu menyebutkan namanya dengan suara pelan. “Hong Sa Ra. Panggil saja Sarah.” “Nama yang bagus. Semoga kamu betah di sini.” Hong Ki mencoba mencairkan suasana dengan berusaha bersikap ramah. Biasanya ia tidak peduli jika orang lain menganggapnya senior yang dingin dan tidak peduli pada sekitar. Namun, ia merasa Sarah adalah pengecualian. Dia merasa tidak nyaman dengan sikap Sarah yang takut-takut padanya. “Jangan hiraukan Ye Na jika dia menganggu. Kamu ingat padanya, kan? Si gadis hiperbola dengan gelas kopi? Dia hanya suka mencari perhatian.” Sarah tersenyum dan mengangguk. Ucapan Hong Ki tentang Ye Na ternyata berhasil meluluhkannya. Perlahan ketakutan yang tadi tampak kini memudar. Gadis itu bahkan berani menatap lawan bicaranya sembari tetap tersenyum. “Soal itu memang salahku,” ujarnya. “Tapi dia juga tidak perlu sekasar itu.” Sarah tiba-tiba menutup mulutnya dengan tangan, tampak terkejut dengan ucapannya sendiri. Melihat hal itu, mau tak mau Hong Ki jadi tersenyum. Ternyata gadis itu lucu juga. “Kenapa?” “Sunbae tidak akan mengatakan yang barusan pada Ye Na, kan?” Mendengar jawaban Sarah, Hong Ki justru tertawa. Beberapa mahasiswa yang ada di sana dan mengenalnya jadi menatap heran. Tidak biasanya si senior dingin itu melepas tawa. Namun, Hong Ki tidak menyadari hal itu karena perhatiannya lebih tertuju pada Sarah. “Tenang saja. Tidak ada gunanya buatku.” Sarah menunduk dan tersenyum malu. Namun, sebelum Hong Ki menemukan kalimat yang tepat untuk kembali melanjutkan percakapan, gadis itu berjengit, berseru karena menyadari sesuatu. “Aku ada kelas dua puluh menit lagi. Maaf, Sunbae, aku harus pergi.” Dengan bergegas Sarah bangkit lalu membungkukkan badan sebagai permintaan maaf. “Senang mengenal Sunbae.” Sarah lalu berlari tanpa menunggu jawaban Hong Ki yang masih tersenyum melihat kepergiannya. “Wah, sejak kapan kamu bisa tersenyum?” goda salah satu teman Hong Ki yang lewat. Pemuda berkacamata itu terheran-heran mendapati senyum Hong Ki. Tegurannya sekaligus menyadarkan Hong Ki jika Sarah baru saja mengubah satu hal dari dirinya. Hong Ki segera menghapus senyum di bibirnya, kemudian berlalu setelah menjawab teguran temannya itu dengan nada sinis seperti biasa. “Bukan urusanmu.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD