1. Prolog
Malam itu, Ranti masih berada di perpustakaan kampusnya. Tugas kuliah yang tiada hentinya, membuat Ranti harus belajar ekstra. Kebetulan perpustakaan di kampus Ranti buka sampai jam sembilan malam.
Ranti duduk di lantai salah satu sudut perpustakaan. Suasana hening menyelusup bersama dinginnya malam. Berdiri kokoh barisan gondola yang membentuk koridor, membuat ilusi seakan berada di ambang gerbang dunia lain yang asing bagi siapa saja yang berada di sana malam itu. Perlahan kesunyian melahap keberanian Ranti. Posisi duduknya semakin bergeser dan merapat tepat pada sudut antara tembok dengan rak buku yang menjulang.
Beberapa buku referensi yang Ranti gunakan untuk mengerjakan tugasnya, tampak berjejer di depannya. Gadis sporty yang sering mengikat rambut panjangnya itu terlihat serius mengerjakan tugasnya. Ranti sering mengunjungi perpustakaan malam hari. Walau harus melawan rasa takutnya, Ranti tetap memilih malam hari karena perpustakaan lebih sunyi ketimbang siang hari. Ranti merasa bisa lebih fokus membaca ketika malam hari. Ia bukanlah gadis yang penakut, sehingga tidak masalah untuk Ranti berada di perpustakaan malam-malam seperti ini.
Ranti masih kebingungan menjawab pertanyaan terakhir dari tugas yang sedang ia kerjakan. Sehingga Ranti memutuskan untuk mencari buku referensi lainnya yang mungkin berada pada salah satu rak yang berada di dekatnya.
Ia berjalan dengan perlahan, sembari mengamati beberapa judul buku yang berada di sana. Sesekali Ranti menoleh ke belakang, lalu melihat sekelilingnya. Ia merasa ada sepasang mata yang sedang mengamatinya. Namun tidak ada seorang pun di ujung lorong rak tempat Ranti berdiri sekarang. Ia merapatkan tubuhnya ke salah satu sisi Rak, kemudian Ranti menghela napasnya bersama perasaan takut sesaat yang sempat menggelayut dalam benaknya.
Ranti mencoba kembali berpikir positif untuk menyikapi perasaan takut yang terkadang hadir secara tiba-tiba. Ia mengatur pernapasannya sebelum kembali mencari buku referensi yang ia butuhkan.
Ranti kembali berdiri menghadap rak buku. Beberapa kali bulu kuduk Ranti merinding. Terasa sangat jelas, seperti ada yang meniup telinga dan tengkuknya beberapa kali. Ranti mengusap tengkuknya dengan telapak tangannya. Wajahnya mulai pucat karena menahan perasaan takut yang terkadang datang begitu saja secara lumrah. Namun Ranti menganggap semua hanya udara AC ruangan yang terasa semakin dingin.
Ranti menghela napas dan kembali mencari buku referensi di sana. Tak lama kemudian ia menemukan buku yang sedari tadi ia cari. Sayangnya buku itu berada di rak paling atas. Tubuhnya yang tinggi pun tidak bisa menjangkaunya. Ranti harus mengambil tangga untuk memanjatnya. Sedangkan tangga itu berada di salah satu sudut rak yang berjarak beberapa meter darinya.
Sayangnya, rasa lelah telah menguasai jiwanya. Sehingga Ia mengabaikan tangga itu dan terus berusaha menjinjit untuk menjangkau rak paling atas, tetap saja usahanya belum berhasil. Ranti mencoba sekali lagi berusaha menjinjit dengan menengadahkan kepalanya menatap buku itu. Sesuatu yang tidak terduga, seseorang membantunya mengambilkan buku referensi itu dengan mudah.
“Ini, Ran!”
Ranti menoleh ke arah sumber suara, sembari menapakkan kakinya ke lantai setelah menjinjit cukup lama. Ranti mencium aroma parfum Cytrus itu. Aroma Cytrus yang selalu menguar bersama hadirnya seseorang yang sangat ia kenal.
“Mas Wibi? Makasih, ya!” Ranti tersenyum pada pria yang kini berdiri di hadapannya. Aroma Cytrus yang selalu menjadi pertanda kehadiran Wibi, tercium hingga menenangkan sanubari Ranti. Ia selalu hadir tepat waktu untuk membantu Ranti di kala Ranti mengalami kesulitan.
“Masih ngerjain tugas?” Wibi masih menatap Ranti dengan senyuman yang membuat wajahnya semakin tampan.
“Tinggal satu nomor lagi, Mas ... kok tiba-tiba Mas Wibi ada di perpustakaan?” Ranti heran dengan kehadiran Wibi yang selalu muncul tiba-tiba. Seakan ia selalu hadir untuk membantu di setiap kesulitan Ranti.
“Kebetulan aja, saya lagi lembur ngerjain penelitian di laboratorium ... gak sengaja saya lihat kamu di sini.” Wibi masih tersenyum dengan menawan. Jaket jeans berwarna biru seakan menjadi ciri khas penampilan Wibi yang membuatnya semakin maskulin.
“Tapi ... aku merasa, Mas Wibi selalu muncul tiba-tiba, selalu ada di setiap aku menemui kesulitan ... kayaknya udah terkoneksi sama hati aku, ya? tapi heran ... Mas Wibi gak pernah mau diajak jalan bareng aku?” Ranti merasa Wibi selalu ada di kampus. Bahkan Ranti tidak pernah mengetahui di mana rumah kos kekasihnya itu. Seperti biasa Wibi hanya menjawab dengan senyuman yang membuatnya semakin misterius di balik wajah tampannya.
“Kan ... lagi-lagi jawabnya cuma senyum?” Ranti terkadang kesal jika tidak mendapat jawaban dari kekasihnya itu.
“Ran ... mau nemenin saya? Sampai jam sebelas malam saja.” Wibi berharap Ranti menemaninya di laboratorium malam ini.
“Hmmm ... boleh, Mas ... tapi nunggu aku ngerjain satu nomor lagi ya?”
“Iya, Ranti Sayang ... saya akan selalu menunggu kamu dan menemani kamu!” Wibi mengusap kepala Ranti, menatapnya dengan senyuman manis yang terlihat kosong. Lalu Wibi duduk di samping Ranti yang sedang mengerjakan tugas.
***
Terkadang pandangan kita bisa benar atau pun salah. Begitu pula dengan penglihatan kita terhadap makhluk tak kasatmata.