Pintu Hati

1308 Words
Hampir dua tahun kemudian…. Gadis berkerudung merah marun itu menghela nafas setelah menatap ponselnya. Ia berjalan sambil menenteng tasnya. Ia baru saja keluar dari flat-nya. Kemudian segera berjalan menuju kampusnya. Tidak begitu jauh, ia hanya perlu berjalan kaki selama lima belas menit. “Kenapa?” tanya Riani. Gadis dengan rambut sebahu itu menjajarkan langkahnya tepat di samping sahabatnya. Caca mengendikkan bahunya. Seakan tak perduli pada sahabatnya, ia mempercepat langkah. Meskipun jadwal bimbingan tesisnya hari ini akan dimulai satu jam lagi, ia berangkat dijam yang sama seperti biasa. Ia memang berniat makan di kampus bersama Riani pagi ini sebelum bertemu dengan dosennya. “Fadli sms lo?” Pertanyaan itu membuat gadis berkerudung tadi mendengus keras. Fadli. Yah Fadli. Lelaki mana lagi yang bisa bertahan pada gadis ini? Hanya lelaki dengan kepedean akut setingkat dewa. Selain itu, dia adalah pemegang playboy kelas kakap. Meski tampan namun dengan reputasinya yang seperti itu, perempuan mana yang bisa percaya? Apalagi jika perempuan itu adalah gadis berkerudung ini. Selain cantik, gadis ini juga sangat cerdas. Ia tak kan mudah luluh atau ikut terpesona saat melihat laki-laki seperti Fadli. Laki-laki sejenis ini banyak sekali dan termasuk dalam urutan nomor satu sebagai lelaki yang paling dihindari. Paham? “Gak usah nanya dia deh. Bikin gue unmood aja.” Riani terkekeh mendengarnya. Ia paham kok. Bukannya Fadli tidak menarik tapi hati Caca yang enggan terbuka. Bagaimana pun Riani yang tahu bagaimana kisahnya kan? “Gue tahu sih Fadli orangnya yeah bukan tipe lo banget. Tapi kalau bisa, jangan terlalu terlihat membenci dia. Nanti ujung-ujungnya cinta loh.” Caca agak merinding mendengar kalimat itu. Ia sih tak berpikir hingga ke sana. Karena jujur saja, ada banyak lelaki yang pernah mendekatinya tapi tak setolol lelaki yang satu ini. Yang Caca maksud dengan t***l adalah Fadli sudah tahu kalau Caca tak suka tapi masih saja getol mengejar. Bahkan sudah hampir dua tahun sejak pertemuan pertama mereka, lelaki itu masih terus menghubunginya. Bahkan Fadli sampai memohon pada Riani. “Segitu sibuknya sampai gue udah sebulan di sini. pun dia gak nanya sama sekali,” gerutunya. Caca mengelus punggungnya. Jika ia yang berada di posisi Riani, sudah pasti lelaki seperti itu akan ditinggalkannya. Lebih baik meninggalkan dari pada ditinggalkan. Ia sudah cukup perih merasakan hal seperti itu. Cukup sekali dan tidak untuk kedua kalinya. “Makanya gue bilang ke elo, respek dikit kek sama Fadli. Cowok baik kayak gitu masa lo bi—” “Kalo lo di posisi gue, lo yakin bisa nerima dia? Yang notabene-nya playboy ?” Riani mengatupkan mulutnya—tak tahu harus berkomentar apa. Ia sangat mengerti ke mana arah pembicaraan Caca. Gadis ini memang sangat sulit membuka hatinya pada lelaki. Apalagi jika lelaki itu seperti Fadli dengan track record minus dimata gadis itu. Gadis itu sangat sulit mempercayai orang lain. Namun jika ia sudah menaruh kepercayaannya, sampai mati pun ia pasti akan selalu percaya. “Cowok kayak dia cuma mau main-main doang. Gak punya komitmen untuk hubungan ke depannya seperti apa. Gue rasa masa lalu gue sudah cukup buat gue untuk tidak mengulangi kenyataan yang sama.” “Mau ke mana lo?!” teriak Robby. Laki-laki berkemeja hitam itu baru saja keluar dari mobilnya dan melihat langkah Fadli yang sedang terburu-buru menghampiri mobilnya. “Kantor,” jawabnya sambil membuka pintu mobil. “Masih gak dibales?” Fadli paham ke arah mana kalimat pertanyaan itu. “Gue jalan dulu!” pamit Fadli. Ia enggan menjawab. Entah kenapa, untuk perempuan satu ini memang cukup sukses mem-buat mood Fadli turun drastis hingga ke titik terbawah. Kalau saja Fadli sedang tak terburu-buru maka bisa dipastikan akan ada perdebatan kecil diantara mereka. Pada akhirnya, Robby akan berlalu dengan menepuk bahu Fadli yang merenungi ucapan Robby. Kadang ia merasa frustasi karena gadis itu tak memberinya respon sama sekali. Atau kadang ia merasa frustasi saat mendengar ucapan Robby yang selalu menohok hatinya. Namun kadang ia bisa menjadi mengerti, mengapa gadis itu selalu menghindarinya. Saat menjalankan mobilnya, Fadli menyandarkan punggungnya lalu menghela nafas. Selama hampir dua tahun ini ia benar-benar diabaikan. Bahkan saat ia sempat kembali dan mengejar Caca lagi hingga tragedi pencopetan itu, Caca masih tak perduli. Namun mungkin perjuangannya masih belum seberapa. Karena nyatanya Caca masih saja tak meresponnya selama ini. Kalau saja hatinya tak terpikat wanita itu mungkin sudah lama ia tinggalkan dan beralih pada wanita lain yang lebih bisa menghargai perasaannya. Namun sayangnya, hal itu tak bisa ia lakukan sama sekali. Ia melirik sekilas jam tangannya. Ia tak tahu Caca sedang melakukan apa di sana. Namun setahunya, hari ini adalah jadwal kuliah Caca. Jadwal kuliah di tingkat akhir. Ia tahu kalau gadis itu pasti sibuk penelitian. Sedangkan ia dalam perjalanan ke kantor dari apartemen. Iya, apartemen. Ia memang memilih tinggal di sana karena kadang sering bertengkar dengan Papinya. Padahal tak urung juga akan bertemu di kantor nanti. Caca turun dengan perasaan was-was. Hatinya mengatakan jika laki-laki itu berada di sekitarnya. Ya Tuhan... seandainya wanita ini peka akan sekitarnya mungkin sudah lama perjuangan Fadli berakhir. Karena tanpa ia sadari pun, ia bisa merasakan kehadiran laki-laki itu. “Lo gak ngasih tahu Fadli kalau kita balik kan?” tanya Caca dengan nada mengancam. Riani terkekeh mendengarnya. Ini kali pertama mereka pulang ke tanah air setelah menempuh pendidikan selama dua tahun di Singapura. Tanpa diberitahu pun, Riani yakin jika laki-laki pasti tahu kepulangan mereka. Fadli rela melakukan apa saja demi Caca—perempuan yang ia cintai. “Seharusnya lo tahu kalau pun Fadli ada di sini, gue gak ada urusannya.” Caca mendengus. Seharusnya ia tahu sejak awal jika laki-laki itu seperti detektif yang selalu tahu ke mana pergi targetnya.  “Lo langsung berangkat lagi ke terminal 1B?”                                                                                      Caca mengangguk. Kefokusannya terbagi dua karena takut akan Fadli yang muncul tiba-tiba. Ia menggeret kopernya untuk mencari taksi dan melanjutkan penerbangan ke tanah kelahirannya. Sementara Riani akan balik ke tempat asalnya, yaitu Jakarta. “Calista!” Baru saja ia akan menyetop taksi, kepalanya refleks menoleh ke arah sumber suara. Ah... seharusnya ia tidak menoleh. Seharusnya ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Sementara Riani sudah cekikikan di pinggir taksi yang baru saja berhenti di depannya. “Aku antar ya?” tawar Fadli. Raut wajah itu berubah dingin dalam waktu beberapa detik saja. Ia menggeleng sementara supir taksi bingung—antara mengambil kopernya atau membiarkan Fadli mengambilnya. “Masukin bagasi ya, Pak!” suruh Caca namun koper itu ditahan Fadli. “Biar saya saja, Pak!” ucapnya lalu mengambil koper itu dan memasukkannya ke dalam bagasi. Caca mendengus lalu masuk ke dalam taksi. Sebenarnya ia agak kesal karena jantungnya berdetak kencang saat lelaki itu muncul. Tuhaan.... namun ia masih menyangkalnya. “Lo nga—” “Jalan, Pak!” Ia terperangah saat taksi yang ia tumpangi benar-benar berjalan. Ia masih menganga melihat sosok Fadli yang duduk di sebelah sopir taksi sementara sopir itu tersenyum geli. Sopir taksi itu berpikir jika Caca sedang merajuk pada laki-laki disampingnya. Lebih parahnya lagi, sopir taksi itu mengira jika mereka berpacaran. Caca membuang wajahnya ke jendela saat Fadli menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Gadis itu heran sekali karena lelaki itu tak pernah menyerah sedikit pun. Saat taksi tiba tepat di depan pintu keberangkatan Terminal 1B, Fadli segera menuruni koper Calista sementara pemiliknya terlihat agak canggung karena perlakuan itu. Atau ... gugup? “Ini—” “Udah aku bayar kok,” celetuk Fadli. Caca menoleh ke arahnya. Kemudian ia meng-angsurkan beberapa lembar uang pada Fadli namun lelaki itu malah berlalu sambil meng-geret kopernya. Akhirnya, uang itu ia serahkan pada sopir taksi tadi. “Gak us—” “Udah Pak. Ambil aja,” ucapnya—tak mau pusing. Ia melangkah mengejar Fadli yang kini telah ikut mengantri masuk. Caca hanya bisa pasrah mengikutinya. Ia berdiri tepat di belakang Fadli dengan tangan bersidekap di depan d**a. “Sampai kapan pintu itu akan tertutup?” tanya Fadli. Caca agak gelagapan menanggapi-nya. Gadis itu menoleh ke arah pintu masuk yang jelas-jelas terbuka lebar. Karena tak mengerti ucapan Fadli, ia menoleh pada laki-laki di depannya. “Hati kamu. Kapan terbuka untuk aku?” Glek. Gadis itu terdiam. Tak tahu harus menanggapi apa. Ia menggigit bibir bawahnya sambil berjalan mengikuti Fadli yang sudah menyerahkan koper padanya sambil menatapnya. Dengan grogi ia mengeluarkan tiket pesawat untuk diperiksa petugas. “Kamu masuk dulu. Aku tunggu di luar,” pesan Fadli.  Gadis itu melangkah masuk menuju antrian untuk check in. Ia menghembuskan nafasnya. Kini kembimbangan melandanya. Apa ia harus keluar menemui Fadli atau berjalan ke ruang tunggu? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD