Cinta Aina (End)

Pajero silver itu berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis bercat putih gading yang nampak teduh dengan hiasan bunga rambat yang menjuntai di sekeliling pagarnya. "Turunlah, menginap dirumah orang tuamu dulu untuk sementara, saya pasti akan menjemputmu," ucap lelaki tampan di balik kemudi mobil itu. Wanita berparas manis yang diberi instruksi hanya terdiam pias mengelus perut buncitnya, hatinya tidak henti bergemuruh. Dering ponsel si lelaki lagi-lagi berbunyi menambah kesakitan di hatinya. "Cepat lah, Bella sedang menungguku", ucapnya lagi tak sabaran. "Jangan pergi", hanya kalimat itu yang mampu diucap wanita itu lirih. "Saya harus meluruskan sesuatu dengan Bella, Aina. Tolong mengerti", tekan si lelaki sekali lagi. Dengan berat hati wanita manis yang di sebut Aina itu melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil itu. Jangankan membuka pintu mobil seperti yang biasa dilakukan suami-suami untuk istri yang sedang mengandung anak mereka, untuk sekedar mengantar sampai depan pagar pun enggan dilakukan oleh Julian. Ya, lelaki tampan dengan postur tinggi atletis itu hanya membuka kaca mobil dan kembali berucap kepada Aina istrinya, "Saya pasti jemput kamu, sampaikan saja salam untuk Bapak dan Ibu". Aina lagi-lagi hanya bisa mengelus perut buncitnya sambil sekuat tenaga menahan butiran air yang berdesakan ingin keluar dari matanya. Dengan pelan dia pun mengangguk. Tak lupa senyum manis yang sangat terlihat dipaksakan. Julian menutup kaca mobil dan mulai melajukan mobilnya. Meninggalkan Aina yang masih mematung di depan rumahnya menatap kepergian mobil silver itu. Dari balik spion Julian menatap istri manisnya yang masih diam ditempat. Ada rasa sedikit bersalah dihatinya, meninggalkan Aina begitu saja tanpa pamitan dahulu dengan mertuanya. Namun apalah daya, dia harus segera menyelesaikan masalah Bella agar dia bisa hidup damai dengan istrinya, begitu pikirnya. Namun, Julian tidak sadar kalau itu adalah awal dia kehilangan Aina istrinya. Istri yang awalnya tidak dikehendakinya, yang tanpa dia sadari sangat dibutuhkan dalam setiap tarikan nafasnya. Gerimis yang awalnya menetes perlahan telah berubah menjadi butiran deras yang menghujani. Air yang keluar dari mata indah Aina telah menyatu dalam genangan hujan. Hati istri mana yang tidak sakit melihat suaminya berlari ke arah wanita lain. Istri mana yang sanggup menerima kalau suaminya tega meninggalkannya yang sedang mengandung anaknya untuk menenangkan wanita lain yang merupakan cinta pertama suaminya. Apa Julian tidak tahu kalau dia sudah tidak diterima dalam keluarganya karena telah mengandung anak yang hadir karena kesalahan semalam mereka. Apa yang harus dikatakan kepada orang tuanya kalau Aina datang tanpa suaminya dengan hanya membawa sedikit pakaian. Hanya karena melihat air mata Bella, Julian begitu mengkhawatirkan perasaannya, tanpa memandang sedikitpun perasaan istrinya. Hidup serumah dengan suami yang cintanya untuk wanita lain adalah siksaan untuk Aina. Meski dengan sepenuh hati Aina mengabdi, cinta itu tak akan pernah kembali. Aina sudah kalah. Sekarang, dia tidak akan memaksa lagi. Tidak ingin merasakan kesakitan ini. Cukup sudah, kesabaran Aina telah sampai pada ambangnya. Kini saatnya dia pergi, meninggalkan segala deritanya di kota ini. Dibawah rinai hujan ini Aina sudah berjanji tidak akan pernah kembali.