Bintang

2160 Words
Kenapa namamu harus Bintang? Karena kau hadir bagaikan setitik cahaya di tengah malam yang gulita. Di saat aku mengajarimu tentang kehidupan, kau telah lebih dulu mengajariku tentang makna hidup. Kau adalah sosok berjiwa besar, tumbuh di dalam tubuh yang kecil. - - - SMP Nusantara tampak sepi, halaman depannya yang luas dan asri terlihat lengang. Hanya ada beberapa motor dan dua mobil terparkir manis, serta penjaga sekolah yang asik menonton TV di pos satpam. Setelah mendapat izin untuk masuk, Vidya berjalan melintasi lobby sekolah menuju halaman tempat anak-anak berolah raga. Di kejauhan ia memperhatikan Bintang sedang asyik berebut bola dan melemparkannya pada ring setinggi 3,05 meter. Tubuh remaja itu tampak mengkilap akibat pantulan cahaya matahari. Vidya memilih duduk pada sebuah bangku panjang yang tersedia sepanjang koridor sekolah, menunggu sang buah hati menyelesaikan permainan basket bersama teman-temannya. Mata indahnya tak lepas mengawasi Bintang dari balik kaca mata hitam yang ia gunakan. Bintang berlari kecil ke arah Vidya, menerima minuman ion yang diberikan oleh sang Ibu dan menenggaknya hingga habis. “Bu, baju seragam Bintang robek di bagian ketek. Gede banget robeknya,” adunya sambil tersenyum lebar, menampilkan barisan gigi yang putih terawat. “Kok, bisa robek?” Vidya menatap heran pada putranya. Selama ini ia membelikan baju seragam sekolah Bintang selalu dilebihkan satu nomor dari ukuran tubuhnya, bagaimana pakaian yang longgar bisa robek. “Ceritanya, tadi Bintang bercandaan sama teman, trus tarik-tarikan baju. Jadinya robek, deh,” jawabnya tanpa beban. Bintang sangat tahu, Vidya tidak akan pernah memarahi dirinya kalau untuk urusan kecil seperti itu. “Lain kali kalau bercanda yang benar, untung bajunya yang robek kalau tangan Bintang yang patah gimana? Tangan nggak ada yang jual di pasar.” Vidya mengomeli putranya yang hanya bisa tersenyum kecut. Tangannya menyodorkan sebuah bungkusan pada Bintang. Bintang membuka bungkusan yang diberikan oleh vidya. Bibirnya tersenyum lebar melihat begitu banyak minuman dan cake dengan berbagai rasa serta ukuran yang dibawakan oleh ibunya. satu persatu ia keluarkan cake dari kantong, mencari brownies coklat kesukaannya tapi hingga kemasan cake terakhir dibuka, anak itu tidak juga menemukan kue yang ia suka. Wajahnya cemberut sempurna menampakkan rasa kesal dan kecewa yang tak dapat ditahan. “Nggak ada Brownies coklat, Bu?” tanya Bintang, masih berusaha untuk meyakinkan diri bahwa tidak ada kue kesukaannya di sana. Vidya tersenyum melihat wajah Bintang yang memelas sedih. “Ada, sengaja Ibu tinggal di mobil, sebab ukurannya segini.” Tangan Vidya membentuk lingkaran berukuran besar. Tawa renyah keluar dari mulutnya saat melihat wajah bintang berubah cerah ketika mendengar jawabannya. “Makasih, Bu! kuenya Bintang bawa ke sana, ya? Makan bareng teman-teman!” serunya. “Brownies punya bintang biarin aja di mobil, jangan dikeluarin.” Remaja bertubuh jangkung itu membawa beberapa cake dan minuman ke arah pinggir lapangan yang berdekatan dengan tangga lobby. Duduk bersama teman-temannya sambil menikmati kue yang dibawakan oleh Vidya. Senyum yang tak pernah lepas dari anak remaja itu sesekali berubah menjadi sebuah tawa yang tertahan. Vidya memperhatikan anaknya tanpa berkedip. Dirinya merasa ingat akan sesuatu saat melihat Bintang, sesuatu yang terasa sangat familiar, tetapi tanpa sengaja dilupakan olehnya, dan sayangnya ingatan yang terlupakan itu sangat mengganjal di hati. Berulang kali ia mencoba menarik ingatan agar ganjalan yang ada di hatinya menghilang, tetapi masih saja belum menemukan jawabannya. Notif pesan chat dari nomor tidak dikenal yang masuk berulang kali mengusik gendang telinga Vidya, memaksanya untuk segera membaca isi pesan tersebut. @081132331234 [Vid, kamu di mana?] @081132331234 [Pegawaimu bilang, kamu sudah pulang dari tadi, kenapa belum sampai di rumah?] @081132331234 [Vidya, jam berapa kamu sampai di rumah?] @Vidya [Siapa?] Vidya membalas singkat pesan tersebut sebelum menyimpan kembali gawainya. Namun, belum berapa lama kembali pesan chat balasan masuk dari nomor tidak di kenal. @081132331234 [Davin. Kamu di mana?] Vidya gamam, apakah harus membalas atau mengabaikan pesan chat tersebut. Butuh waktu beberapa detik untuknya mengambil keputusan menyimpan nomor Davin ke dalam daftar kontak dan mematikan gawainya. Sesaat kemudian ia membuka sebotol air mineral, mereguk habis isinya hingga tak bersisa dan berusaha menata kembali detak jantung yang sempat jungkir balik saat membaca nama Davin, sebagai si pengirim pesan. “Bu, kenapa manyun?” tegur Bintang. Anak laki-laki itu berdiri di hadapan Vidya, lengkap dengan ransel yang tersampir di punggung dan bola basket yang berputar di ujung jari. “Sudah selesai?” tanya Vidya. Dirinya terlalu asyik melamun hingga tidak menyadari kehadiran Bintang di sampingnya. Bintang mengangguk, ia memasukkan beberapa potong cake yang tersisa ke dalam kotak bekal makan siang yang sudah kosong. Membuang plastik mika dan botol bekas air mineral ke tempat sampah, kemudian berjalan cepat menjajar langkah ibunya sambil memainkan tehnik spinning. “Bu, Lihat!” Ujar Bintang. “keren nggak?” “Waaah ... hebat! Belajar dari siapa!” Vidya tampak kagum melihat bola basket yang berputar di ujung jari telunjuk Bintang. “Belajar dari Youtube,” jawabnya, sambil tertawa bangga. Vidya juga turut tertawa mendengar jawaban jujur dari Bintang. Anaknya memang cukup pintar dan berkemauan keras. Jika ingin mempelajari sesuatu maka akan dilakukan dengan sungguh-sungguh. “Taruh bolanya di belakang, jangan diputar-putar lagi kaya gitu. Duduk manis di seat depan!” Perintah Vidya. Dirinya memang tidak mau membiasakan Bintang duduk di kursi belakang, pasti akan sibuk bermain hingga lupa berbagi cerita tentang semua kegiatannya di sekolah. Menurut Vidya, komunikasi adalah hal yang paling penting untuk membangun kedekatan dengan anaknya. Apalagi kesibukan Vidya yang sering memaksanya berada di luar rumah. sebisa mungkin menyediakan waktu untuk mendengarkan semua keluhan Bintang, mengajak anaknya bicara dan bercanda seputar apa saja saat mereka sedang bersama. Sepanjang perjalanan Bintang menyanyikan lagu on my way milik Alan Walker. Suara falsnya membuat Vidya memberikan senyum miring, walau terdengar sumbang anaknya tetap pede bersenandung. Sesekali juga terdengar lirik yang salah arti karena pelafalan yang keliru. *** Seorang wanita tua duduk di hadapan Vidya. Sikap yang penuh wibawa dan nada bicara yang tegas, membuat wanita tersebut terlihat sangat berkharisma. Tangannya menggenggam lembut jemari Vidya, menunjukkan sikap hangat dan keramahan walaupun kesedihan terpancar di wajahnya. “maafkan Mama, Vidya. Sedikit pun Mama tidak menyangka jika Davin berani menemui dirimu,” ucapnya penuh sesal. Mata teduhnya memancarkan kekecewaan yang tak dapat disembunyikan. “Mama tau, kamu pasti sangat terluka dan kecewa dengan kedatangan Davin. Dia sudah Mama peringatkan tetapi sifat keras kepalanya tidak pernah berubah,” lanjutnya lagi. Erna sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Vidya saat bertemu dengan anaknya, Davin. Empat belas tahun yang lalu saat Erna mengetahui Putranya telah memperkosa seorang gadis remaja yang tinggal di rumah mereka, hatinya merasa sangat hancur. Davin adalah anak satu-satunya, sementara Vidya seorang remaja yang ia ambil dari panti asuhan untuk dijadikan anak adopsi. Sejak pertama melihat Vidya, dirinya sudah jatuh hati dengan kelembutan dan keramahan gadis itu, di tambah dengan kekhawatiran akan rasa sepi ditinggal oleh Davin setelah menikah, membuat Erna dengan mantap memutuskan untuk mengadopsi Vidya sebagai anak gadisnya yang sah di mata Negara. Namun, siapa sangka ternyata itu semua adalah awal petaka untuk keluarga mereka. Davin memperkosa calon adik angkatnya, mengurungnya hingga berhari-hari menyebabkan gadis itu depresi bahkan nyaris gila. “Vidya, kamu mendengarkan Mama, Nak?” Erna bertanya penuh rasa khawatir, melihat Vidya hanya diam tanpa ada respon sedikit pun. Vidya memberikan seulas senyum tipis, ia tidak mengerti harus bersikap seperti apa di hadapan wanita yang sangat ia hormati. Dirinya membenci Davin tetapi Erna adalah ibu Davin. Apa yang harus ia katakan? Mencaci maki laki-laki b******k itu di hadapan ibunya atau bersikap biasa saja? Padahal dirinya sangat tersiksa. “Vidya nggak tau harus gimana, Mah.” Suaranya terdengar lirih dan begitu menyedihkan. “Empat belas tahun Vidya berusaha hidup normal, menghapus semua mimpi buruk yang selalu hadir setiap malam, berusaha mengubur semua rasa sakit sekuat yang Vidya bisa, tetapi di saat hampir berhasil kenapa dia pulang, Mah? Kenapa ....” Tangis Vidya tumpah di sela-sela usahanya menahan semua kesedihan. Ia menjatuhkan diri di pelukan Erna, mencari sedikit kekuatan dalam dekapan wanita tua itu. “Maafkan Mama, Sayang ....” Hanya kata maaf yang dapat keluar dari mulut Erna. Dadanya sesak menyaksikan perempuan yang sangat ia sayang bagai anak kandung sendiri, menangis di pelukannya. Ini semua adalah salahnya, andai saat itu ia dapat melihat ada bibit cinta di hati Davin yang ditujukan untuk Vidya, ia pasti akan membatalkan pernikahan anaknya. Seandainya dia mau mengerti tatapan memuja Davin saat melihat Vidya, seandainya dia bisa merasakan bahwa dalam tiap hembusan napas Davin hanya ada Vidya, semua pasti tidak akan terjadi. Erna sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Vidya, setelah pemerkosaan itu, dialah yang mengurus dan mengobati perempuan malang tersebut. Berulang kali Vidya nyaris mati karena percobaan bunuh diri yang ia lakukan, membuat Erna harus mengawasinya sepanjang hari. Trauma berpanjangan yang dialami oleh Vidya membuatnya harus memilih antara Davin atau gadis malang itu. Erna sangat bingung memutuskan langkah apa yang harus dilakukan demi menyelamatkan kedua anak yang sangat ia sayangi. Menikahkan Davin dengan Vidya hanya akan menambah bencana, walaupun berulang kali Davin menegaskan dirinya akan menerima dan merawat Vidya, tetapi itu hanya akan semakin memperburuk kejiwaannya. Demi menyelamatkan Vidya dan janin yang dikandungnya, Erna terpaksa mengusir Davin, anak kandungnya sendiri. memintanya tinggal di Surabaya mengikuti calon mertuanya, dan selama itu pula Erna harus menyembunyikan kehamilan Vidya. Membawanya tinggal di desa, menyembuhkan kejiwaannya yang lambat laun mulai stabil. Tangisan Vidya terdengar sangat menyayat hati, membuat siapa pun yang mendengar akan ikut larut dalam kesedihan. *** Di seberang jalan rumah Vidya, sebuah mobil Pajero hitam terparkir sejak sore, dengan seorang pria yang masih duduk di belakang kemudi. Wajah tampannya terlihat serius memperhatikan siapa saja orang yang keluar masuk di rumah Vidya. Sesekali ia membetulkan letak kaca mata putih yang bertengger manis di hidungnya yang mancung. Ketika melihat sebuah Agya berwarna putih yang dikendarai Vidya masuk, ia hendak turun menyapa wanita tersebut, tetapi urung, saat dirinya melihat seorang anak laki-laki menyertai Vidya. Anak remaja berpostur tinggi dengan kulit putih sempurna. Davin merasa sangat familiar dengan wajah remaja laki-laki yang bersama Vidya, ia memperhatikan pantulan wajahnya pada kaca spion dalam mobil, sepuluh detik kemudian kedua bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman yang menawan. Wajah anak laki-laki itu terlihat bagai cerminan dirinya saat masih remaja. Davin terpegun, bertanya-tanya siapakah anak laki-laki yang bersama Vidya? Apakah wanita itu sudah menikah? Namun, kenapa wajah polos itu sangat mirip dengan dirinya? Hidung, mata, bentuk bibir, dan gaya berjalannya seperti duplikat dirinya dalam versi remaja. Ketika ia melihat Erna mendatangi kediaman Vidya, hatinya semakin curiga dengan panggilan manja yang ditujukan anak itu saat menyapa Erna. Apakah dia anakku ... tapi bagaimana mungkin? Mama tidak pernah bercerita jika Vidya hamil. Hatinya mengajukan banyak pertanyaan yang tak terjawab. Erna, keluar dari rumah Vidya dengan Bintang yang menggelayut manja memeluk wanita tua itu. sebuah taksi online berhenti, tepat ketika mereka membuka pintu pagar. Tidak lama, taksi berlalu pergi dengan membawa Erna di dalamnya. Bintang mengunci pintu pagar masuk ke rumah dan mematikan beberapa lampu yang menyala. Beberapa saat rumah itu sudah tampak gelap seperti mengisyaratkan semua penghuninya sedang terlelap. Davin merasa tidak perlu lagi untuk mengintai kediaman Vidya, ia nyalakan mobil dan membawanya dengan kecepatan tinggi mengejar taksi online yang mengantarkan ibunya pulang. *** “Bu, di depan ada mobil item dari sore nggak gerak-gerak, kayanya lagi ngintipin rumah kita.” Bintang mengintai dari balik gorden. Matanya tak lepas memperhatikan mobil hitam yang terparkir di depan rumah. “Jangan terlalu sering baca buku detektif, bawaanmu jadi curiga terus, Nak,” tukas vidya. Merasa pikiran anaknya sudah terkontaminasi oleh cerita detektif yang sering dia baca. Bintang berdecak kesal, ibunya terlalu menyepelekan insting istimewa miliknya hasil olahan membaca ratusan seri komik Detektif Conan. “Ibu, nggak percaya? Kita matiin semua lampu seperti mau tidur, pasti mobilnya pergi!" Tantang Bintang. Dirinya merasa sangat yakin kalau di dalam mobil itu ada orang yang sedang memperhatikan mereka. “Coba matikan, tapi kalau mobilnya nggak pergi gimana?” Vidya berbalik mengajukan tantangan pada anaknya. “Kalau mobilnya nggak pergi, artinya Abin salah, Bu.” Anak itu merengut kesal. Di dalam hati, dia merutuk habis-habisan, kenapa ibunya malah berbalik menantang. Wibawanya sebagai laki-laki pasti jatuh di hadapan sang ibu kalau ternyata mobil itu tidak pergi. “Ya sudah, matikan!” Kembali Vidya memberikan perintah bernada tantangan, membuat anak itu semakin jengkel. Dengan gerakan setengah malas Bintang mematikan seluruh lampu, kemudian berjalan merunduk ke arah jendela, kembali mengintip mobil hitam yang menjadi bahan tantangan mereka berdua. Bintang melonjak kegirangan, mulutnya tak henti berucap “Yes! Yes! Yes! Yes!” Vidya yang melihat tingkah anaknya hanya tertawa renyah, menyadari jika insting Bintang tentang mobil itu benar. Mobil yang menjadi bahan perdebatan kecil mereka beranjak pergi, menyisakan tanya siapa yang iseng mengintip kehidupan mereka? “Udah di bilangin, jangan sepelekan deduksi Abin, Ibu masih nggak percaya!” ujar remaja tanggung itu penuh rasa bangga. “Ehm ... anak Ibu emang the best.” Vidya memberikan pujian yang semakin membuat hidung Bintang kembang kempis. Bintang kembali mengintip dari balik gorden, memastikan mobil hitam tadi sudah benar-benar pergi. Di balik rasa bangga yang terselip karena pujian yang diberikan oleh sang Ibu, tebersit kekhawatiran yang keluar dari celah-celah hatinya. Siapa orang yang mengintai rumah mereka dan apa tujuannya? Selama ini ibunya terlalu banyak menyimpan rahasia, kehidupan seperti apa yang pernah dialami sang ibu, hingga membuatnya selalu dikejar-kejar ketakutan, dan kini bayang-bayang orang asing juga mengintai kehidupan ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD