bc

The Truth About Justice

book_age16+
5
FOLLOW
1K
READ
spy/agent
revenge
dark
second chance
arrogant
mafia
tragedy
straight
witty
realistic earth
like
intro-logo
Blurb

Keluarga yang terpecah, sahabat-sahabat yang terpisah. Athena memisahkan diri dari semua kehidupan yang ia kenal sebelumnya.

Tidak ada lagi kakak lelakinya yang protektif.

Tidak ada lagi kedua sahabat yang terlalu suka ikut campur.

Tidak ada lagi kekasih yang menenangkan batin yang gelisah.

Athena Bhakara telah memutuskan jalan hidupnya untuk membalaskan dendam kematian ibunya yang sangat tragis. Sendiri, ia menempuh jalan yang berbahaya, menerobos di tengah-tengah keji kriminalitas ibukota, yang terorganisir dan dinaungi oleh kegelapan yang memberikan kemanan bagi mereka.

Kelompok RAVEN, organisasi kejahatan terorganisir yang bergerak secara rahasia, dilindungi oleh instansi-instansi yang bersih. Ambar telah tewas, dikhianati oleh kelompoknya sendiri, dan Athena siap untuk menghadapi kekuatan dan kekuasaan tak terbatas mereka, meminta pembayaran terakhir atas kematian ibunya.

Namun, di tengah usahanya untuk mendekati kelompok ini, Athena harus berhadapan dengan kenyataan yang lain. Kebenaran yang selama ini dilakukan atas nama keadilan dan kestabilan negara. Kebenaran yang membuka mata Athena bahwa keadilan adalah pedang bermata dua, keadilan adalah dua wadah yang saling berseberangan dan bergerak dalam keseimbangan.

chap-preview
Free preview
Chapter 1. Kembali Beraksi
Gelas itu berkilau. Memantulkan sinar lampu gantung yang berada di tengah restoran. Senan menyusuri bibir gelas itu perlahan. Dengung lembut yang merdu terdengar darinya. Maka, benar. Benar adanya gelas kristal bisa menciptakan musik hanya dengan sentuhan jari. Tanpa membutuhkan maestro yang mengarahkannya. Begitulah alam memberikan keyakinan kepada manusia, bahwa keindahan akan tetap berlangsung selama manusia berusaha. Sekalipun di sekitar, hanya ada tragedi dan kesakitan yang tak berkesudahan. Bahwa harapan akan terus memberi penghidupan dan napas untuk terus melangkah. Biar masa depan begitu kelam dalam ketidakpastian. “Aneh, ya, aku milih tempat kayak ‘gini? Apalagi biasanya kita hanya ketemu di tempat kerja.” Sekilas bayang kelam mengoyak sinar di sana. Senan menghentikan gerak jarinya, lalu menggulirkan matanya kepada penyebab sinar di gelasnya terpecah. Ia tertawa sekilas. Menggeleng, ia lalu mengangkat gelas kristal dan menyentuhkannya ke bibirnya. Dingin. Manis. “Nggak. Nggak masalah.” Pria itu lalu memandang ke sekelilingnya. Kristal tidak hanya berdiri dalam bentuk gelas-gelas. Chandelier yang sederhana, namun berkedip-kedip genit, menguarkan pesona glamoritasnya. Langit-langit yang begitu tinggi, hampir-hampir menyerupai langit yang tak terbatas. Pembatas-pembatas yang terbuat dari kaca, saling memantulkan manusia-manusia yang terperangkap di dalamnya. Dalam keindahan yang mengukung, dalam kecantikan artifisial yang semu. Wanita di depannya menyelipkan rambutnya ke balik telinganya. Rambut itu bahkan tidak bergerak dari tempatnya. Kulit wajahnya yang sawo matanya tampak memerah, bahkan jelas dari balik rias wajah yang telah memberikan semburat kemerahan pada pipinya. Ia tersenyum kepada gelas kristalnya sendiri. “Aku,” sahutnya, perlahan, tapi terdengar begitu jelas. Entah karena sepinya tempat itu, menggaungkan setiap suara yang terbit dari sekitarnya. “Karena aku pikir,” wanita itu menghentikan kalimatnya, ia menarik napas dalam-dalam. “Mungkin ini waktunya kita bicara serius.” Senan mengangkat alisnya. Di hadapannya, wanita yang selama ini dikenalnya sebagai teman, koleganya, Sarah, menunduk dengan wajah memerah. Ia sendiri terpana, tidak menduga kata-kata itu keluar darinya. Berdehem, ia mengangkat kembali gelas kristal itu. Menenggak habis air di dalamnya. “Sar ….” Seperti halnya wanita itu, ia juga berkata ragu-ragu, perlahan. Senyum yang terkembang di wajah Sarah perlahan memudar. Tersenyum gugup, Senan memajukan tubuhnya. Kedua alisnya bertaut selagi ia memikirkan kata-kata yang sebaiknya diucapkan. Sebaliknya, Sarah memundurkan diri, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya terpaku pada cutlery yang berbaris di atas serbet putih mutiara. Namun, kata-kata dari Senan tidak berlanjut. Sebaliknya, pria itu memandang lurus dari balik bahu Sarah. Matanya terbelalak. “Senan?” Pria itu melompat berdiri. Sampai-sampai meja mereka tersentak, terdorong sedikit. Membuat Sarah terhenyak, mengangkat kedua tangannya melihat meja itu bergerak ke arahnya. Sementara itu, Senan telah melewatinya, berlari ke arah di balik punggungnya. Sarah menoleh cepat. Senan telah berlari menuju pintu masuk restoran mewah itu. Begitu ia keluar, ia mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia tersentak ketika melihat pada satu titik, lalu berlari ke arahnya. Ia harus memutar, mendorong beberapa orang yang dilewatinya. Ia sampai pada titik itu, gang yang mengarah pada pusat perbelanjaan fashion. Ia berhenti. Menengok ke kanan, ke kiri, lalu memanjangkan lehernya ke lorong di antara counter-counter parfum yang berbaris. Menarik napas dalam, ia lantas berlari lagi. Beberapa orang berteriak kepadanya, ketika ia menabrak beberapa di antaranya. Mengerang, Senan lantas mengeluarkan lencananya. “Polisi!” serunya, mengacungkan tangan yang menggenggam lencananya itu tinggi. Spontan, orang-orang terdiam, dan terburu memberikan jalan. Memanfaatkan kesempatan itu, ia lalu berlari lagi di lorong itu, tanpa hambatan sekarang. Dia benci mal seperti ini. Terlalu luas, terlalu banyak distraksi. Kepalanya menoleh ke segala arah selagi ia berlari cepat. “Kemana?” geramnya pelan. Ia berlari cepat, dan tiba di bagian mal yang lain. Melihat pembatas kaca yang melintang di ujung mal itu, Senan berlari kepadanya. Menghempaskan diri begitu saja pada pembatas kaca itu, ia segera menyusuri bagian bawah mal. Penuh dengan orang yang berlalu-lalang. Lantas, matanya terpaku pada escalator yang mengarah ke lantai di bawahnya. Dan ia berlari lagi Tanpa berbasa-basi, Senan dengan ringan melompati escalator, dan menuruninya dengan cepat. Ia begitu dekat sekarang. Tangannya terulur kepada wanita berambut lurus hingga ke punggungnya itu. Hampir-hampir ia kehilangannya ketika wanita itu sampai di penghujung tangga berjalan dan melangkah menjauhinya. Namun, Senan sempat meraih pundaknya. Wanita itu berteriak ketika pundaknya tertarik. Memaksa tubuhnya untuk berbalik ke arah Senan. Pria itu melebarkan matanya. “Oh, maaf, Mbak!” “Apa-apaan, sih?!” tukas wanita itu, menepiskan tangannya keras. Matanya yang sipit melotot, sementara wajahnya yang berkulit kuning langsat berkerut-kerut marah. Senan menghela napas, lalu menunjukkan lencananya. “Maaf, soalnya saya lagi cari orang.” Wanita itu mengangkat alis kepada lencana yang ditunjukkan pria di hadapannya. “Ya, tapi tetep, dong, Pak, nggak bisa begitu caranya.” “Ya, saya minta maaf.” Wanita itu mengedikkan bahu, lalu berbalik, meninggalkan Senan sendirian. Senan membiarkannya, dan menyadari bahwa sedikit insiden itu telah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Pria itu balas menatap orang-orang yang memandanginya dengan penasaran. Senan mengangkat kedua tangannya, seakan ia yang menyerahkan diri. “Sudah, tidak ada apa-apa!” tukasnya, dengan nada sedikit meninggi. Beberapa orang mengangkat alis ke arahnya, lantas melengos. Beberapa mengambil foto, lalu terkikik, berlari pergi darinya. “Sial!” umpat Senan, meninju udara kosong di depannya. Dia menghela napas. Tidak ada yang mudah dan sederhana kalau sedang berhadapan dengan gadis itu. Ia paham itu. Pria itu lantas mengangkat kepalanya. Dari sana, ia bisa melihat restoran tempatnya duduk beberapa saat lalu. Mengerang dalam hati, pria itu menunduk dalam. Mendecakkan lidah. Harus dihadapi, bagaimanapun. Lagipula, sebagian dari masalah ini dia sendiri yang menyebabkan. Melangkah sedikit gontai, Senan kembali berjalan ke arah escalator yang mengajaknya naik, kembali menghadapi masalahnya. Secara jantan, selayaknya laki-laki. Lelaki yang memberikan harapan kepada wanitanya. Senan menatap punggung Sarah, yang masih saja duduk di tempat itu. Wanita itu yang mereservasi tempat duduk itu, sehingga mereka bisa duduk di dekat jendela, sedikit jauh dari keramaian yang mengganggu. Wanita itu yang mengatur semua, agar hari itu benar-benar menjadi spesial. Ia menghampiri Sarah. Mengecup pucuk kepala wanita itu. Keberaniannya menguap seketika. “Maaf, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, Sar. Kamu tahu masalahnya apa.” “Oh.” “Aku ….” “Ya!” tukas Sarah, lebih keras daripada nada suara biasanya. “Aku paham. Kamu boleh pergi, aku nggak mau kamu lihat wajahku.” Dia terkekeh sekilas. Menunduk, ia lalu berkata lagi, “Pergilah.” Senan menghela napas. Ia membisikkan kata “maaf” sekali lagi sebelum ia kembali mengecup pucuk kepala wanita itu. Aroma harum yang lembut menguar darinya, seperti biasa. Menenangkan, menjadi sanctuary yang aman bagi jiwanya. Seharusnya, dia bisa mempersembahkan kehidupan yang nyaman untuknya. Namun, apa benar, dia mencari kenyamanan itu? Pria itu mengulurkan kunci mobilnya, mendorongnya di atas meja. Lalu, ia berbalik, dan mulai melangkah. Senan bisa mendengar samar isak pelan. Pria itu menggertakkan rahang. Ia tidak boleh lagi menengok. Kalau tidak, hanya dosa-dosa yang akan membayang di antara mereka berdua. Maka, Senan justru mempercepat langkahnya. Ia keluar dari restoran itu, keluar dari gelimang kilau-kilau serupa permata di sana. Melewati satpam mal, ia menghentikan langkahnya. Dengan cepat, ia membuka jasnya. “Buat Bapak, nih.” “Hah? Yang bener, Pak?” “Iya, saya benci pake jas,” gelak Senan. Dia lalu meninggalkan satpam yang masih terpana, sambil mengucapkan terima kasih dengan antusias. Senan mempercepat langkahnya, kembali ia menghadapi asap dan debu Jakarta, yang segera ia hirup dengan penuh rasa syukur.                                                                                     ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Devil Billionaire

read
94.9K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.6K
bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
861.1K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.4K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.6K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook