Dia Ingin Pamit

859 Words
“Yang sabar, ya, Mas.” Suara lembut seorang wanita terdengar. Namun, aku tak menoleh sekali pun. Dan tak ingin menoleh. Setidaknya aku harus memperlihatkan ke pada Sarah bahwa selama ini memang tak ada apa –apa di antara kami. Dari bayangan di ekor mata saja, aku sudah tahu siapa wanita itu. Indah. Seorang janda muda yang menjadi tetangga kami selama ini. Wanita yang sering kali, membuat Sarah marah di masa hidupnya tanpa alasan yang jelas karena cemburu. Ah, kalau ingat itu, aku jadi membenci janda kembang yang juga ditinggal mati suaminya dua tahun lalu dan tak salah apa –apa. Dia diam saja tapi sudah menyakiti hati ibu dari anakku. Kini, perhatianku hanya ke pada Sarah. Wanita yang terbujur kaku di hadapan. “Sarah?” Mata ini mengembun hingga pemandangan kabur. Karenanya kuusap kasar bulir bening itu agar bisa melihat dengan jelas dan memberinya salam terakhir. Tangan bergetera saat memberanikan diri menyentuhnya. Perih, Tuhan! Bukan hanya mata yang perih, hatiku berkali lipat lebih perih. Tubuh Sarah telah dingin. Luka –luka di tubuhnya, membuat tak bisa beredip bahkan jika itu hanya sesaat. Darahnya juga belum sepenuhnya kering. Hatiku benar –benar sakit. Pemandangan yang kemudian menyadarkan betapa bodohnya Affan sebagai seorang suami. “Sarah, maafkan aku. Mas menyesal Sarah. Tolong bangun! Aku janji menuruti semua kemauan kamu!” Kupegangi tubuh itu, dan memeluknya berkali –kali. Berharap ada keajaiban yang membuatnya kembali. Aku pasti akan gila jika dia benar –benar pergi. Kami menunggu kehadiran anak kami sudah lebih dari lima tahun. Banyak sekali kesulitan yang Sarah alami karenanya. Bagaimana ia harus menutup telingat setiap kali sindiran –sindiran tak enak dialamatkan ke padanya sebagai istri mandul. “Sarah. Bangun ... kamu bilang akan bertahan untuk anak kita apa pun yang terjadi. Sarah!” Aku berteriak karena muak tak juga ada jawaban. Namun, pada akhirnya aku harus benar –benar menyerah. Dia sudah pergi. Dan tak akan pernah kembali. Kini, aku hanya bisa tergugu di samping mayat Sarah. “Ampuni aku Sarah. Harusnya aku yang mati, bukan kamu, bukan anak kita,” tangisku pecah. Belum pernah aku menangis begini, apa lagi di depan Sarah. Dan sekarang, ia bisa melihat tangis suaminya saat kami sudah berbeda duni. Tuhan, andai waktu bisa diputar. Aku akan memperbaiki segalanya. Tak berapa lama, Ibu mertua muncul dari arah belakang menyingkap gorden yang dipasang di setiap pintu di rumah ini. Wanita itu mengejutkanku dengan teriakan histeris. “Kenapa kamu membiarkan dia pergi sendiri Affan! Kenapa kamu biarkan? Harusnya kamu mencegah!” Ibu Sarah mencengkram kerah seragam kurir yang masih kukenakan. Aku salah. Aku pikir, Sarah ini sudah hamil tujuh bulan. Dan ngidamnya hanya dibuat –buat saja, makanya kucoba bernegosiasi dengan menunda hingga lelahku hilang. Tapi siapa sangka, wanita yang kucintai segenap hati itu sangat keras kepala dan bahkan nekad pergi sendiri. “Bu, sudah, Bu. Malu.” Tomy mendekati ibunya dan berusaha menenangkan wanita tua itu. “Kakakmu pergi, Tom. Dengan cucu ibu. Ini pasti cuma mimpi kan, Tom!” Ibu mertua masih juga meratap sambil berteriak dan menangis. Aku tahu rasa sakit yang dirasakan wanita itu. “Mas, tolong ke luar sebentar. Ada pengurus alkah yang ingin bicara.” Seseorang sudah duduk di belakang, dan membisikiku. Kulepas tangan Sarah yang sikunya hancur dan jari –jarinya telah dingin dengan terpaksa. Meninggalkan segala kegaduhan dalam ruangan utama rumah duka itu dan mengikuti Pak Malih ke luar menemui pengurus alkah. Setiap kali ada yang meninggal, mereka yang paling banyak mengurus jenazahnya di kampung kami. Sarah sudah pergi. Dan aku harus rasional agar bisa mengurus jenazahnya dan dia pun pergi dengan tenang. Sepahit dan seberat apa pun keluarga mayit harus ikhlas jika tak ingin menjadi beban bagi si mayit. “Assalamu alaikum Mas Affan.” Ustaz Alif menyalamiku dengan raut tegang saat aku datang. “Waalaikum salam.” Suaraku parau dan nyaris tak terdengar. Pria yang bertanggung jawab sebagai penasihat dalam kepengurusan jenazah itu kemudian menyalamiku dan menguatkan. “Yang sabar ya, Mas. Insya Allah Mbak Sarah sudah syahid.” Aku memang pernah mendengar, bahwa meninggalnya wanita hamil adalah syahid di jalan Allah. Itu artinya, dia akan bahagia di sisi Tuhan sekarang. Lalu, jika itu benar kenapa aku akan menangis? “O ya, meninggalnya jam berapa ini? Dan kalau boleh tahu seperti apa kronologinya.” tanya Ustaz Alif lagi. Kini tatapannya beralih ke Pak Joko. Mungkinkah dia yang membawa Sarah ke mari? “Ehm, tadi pas saya akan ke luar dari ruko, Mbak Sarah bilang mau nitip motor. Tapi, saya bilang akan pulang dan menutup toko, saya pikir karena hujannya makin deras gak ada yang beli lagi dan minta beliau ke toko Mbak Indah. Tapi nggak tahu kenapa, malah langsung nyeberang. Saya juga lihat waktu Mbak Sarah balik nyebrang Ustaz, karena saya baru selesai merapikan dagangan dan mengunci toko. Dan tiba-tiba ada truk besar dari arah utara. Itu sekitar jam enam.” Pak Joko bercerita. Dan aku harus mendengarnya dengan mata terpejam serta hati yang hancur. Jam enam? Bukankah Sarah pulang sudah lewat dari jam itu? Aku ingat begitu bangun, langsung melihat ke luar jendela dan jam dinding yang menunjukkan angka 18.10. Lalu siapa yang datang ke rumah membangunkanku? Apa dia ingin berpamitan? Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD