Menunggu (Bukan) untuk Menyerah

1641 Words
“Ki, mana calon suami kamu itu? Kenapa belum nemuin Ayah sama Bunda juga? Bukannya pernikahan kalian sebentar lagi?” Azkia yang sedang menyuapi ibunya tersenyum tipis. “Masih sibuk Bun.” “Masa kerjaan terus yang dipikirin? Dia beneran niat nikah sama kamu apa enggak? Kok kayak cuek begitu?” “Nikahannya kan mendadak ya Bun, kebetulan dia sedang ada project juga di luar kota jadi bukan cuek, selama dia ada dinas emang biasanya kayak gitu kok. Biasanya fokus kerja dulu, setelah itu dia janji kok mau urus nikahan kita. Jadi Bunda jangan khawatir ya?” “Gimana kalau dia kabur Ki?” Azkia terkekeh kecil. “Gak akan Bun. Kita pacaran udah lama, udah kenal satu sama lain juga. Bunda tenang ya? Dia biasanya kayak gitu apalagi kalau udah fokus kerja. Kadang makan aja gak inget.” “Bagus ya… tekun.” Azkia mengangguk cepat. “Kamu udah kenal keluarganya? Udah dikenalin sama keluarganya?” Seketika Azkia terdiam. Selama 10 tahun berpacaran ia tidak pernah sekalipun berkenalan dengan keluarganya, ia hanya tahu Ferdi memiliki adik tapi telah meninggal. Keluarga Ferdi berada di luar pulau, semuanya tinggal di Samarinda. Jadi ia memang belum sempat berkebalan sama sekali. “Oh ya namanya siapa Ki? Kayaknya kamu belum pernah cerita sama Bunda nama pacar kamu itu. Selama Bunda di Jakarta juga kamu kayaknya belum pernah ngobrolin tentang ini.” Entah mengapa Azkia ragu. Tidak, ia bukan meragukan kekasihnya. Ia yanya ragu mengatakannya saja. Ia ingin Ferdi sendiri yang berkenalan dengan orangtuanya, bukan ia yang menceritakan itu. “Terus lo sebutin nama Ferdi?” Azkia menggeleng kecil. “Enggak. Bryan keburu dateng buat pemeriksaan pagi.” Ajeng yang sore itu datang ke galery-nya menghela napas panjang, lalu duduk meringkuk di atas sofa, menghadap ke arahnya. “Tapi Ferdi masih bisa lo hubungi kan Ki?” Itu dia masalahnya. Azkia menggeleng. “Udah tiga hari dia ngilang. Terakhir kali dia pamit mau ke Samarinda jemput keluarganya. Sampe sekarang gak ada hubungin gue lagi.” “Astaga. Terus sekarang mau gimana Ki? Sisa dua minggu lagi tapi Ferdi bahkan belum keliatan batang idungnya. Undangan juga tinggal di sebar.” “Gak tau Jeng. Otak gue kosong.“ Azkia meremat rambutnya sesaat. “Kalau sampai dia gak dateng, atau… terjadi sesuatu. Gue gak bisa bayangin perasaan Bunda Jeng. Gimana kalau Bunda serangan jantung lagi? Bryan bilang kalau sampai Bunda serangan jantung yang kedua kali, kemungkinannya sangat membahayakan.” “Gue cuma bisa berharap dia segera dateng, Jeng. Balik ke sini dan nikah sesuai rencana awal. Gak ada lagi harapan selain itu. Gue berharap semoga sekarang dia cuma lagi sibuk aja persiapan pernikahan juga. Lagi fokus persiapan semuanya.” “Cuma itu harapan gue Jeng.” Azkia menarik napas panjang. “Kayaknya gue cuma terlalu sensitif deh, katanya orang yang mau nikah emang sering kayak gini. Jadi gue anggap wajar.” “Ki.” Ajeng bangkit, tak bisa mengatakan apapun lagi selain menggenggam tangannya dengan erat. “Semoga berjalan lancar ya?” Azkia mengangguk. “Semoga. Sekarang gue mau fokus sama perilisan produk baru gue aja. Sisanya gue serahkan sama takdir.” Entah kenapa Azkia merasa seperti tidak ada harapan, semuanya terasa kosong. *** [Aderfia Penguasa Bumi] Kevin: Azkia ambil cuti buat dua minggu kedepan, dia bilang mau nikah. Bara: Serius lo Bang? Kevin: Gue orang pertama yang dapet undangannya. Mark: Bang @Bryan lo gapapakan? William: @Bryan terus gimana? Dunia yang selama ini ia pijaki serasa runtuh. Pikiran Bryan mendadak kosong, tangannya kini bahkan bergetar hebat. Azkia… perempuan yang ia cintai lebih dari 10 tahun akan menikah dengan pria lain? Me: Sama siapa Bang? Ferdi? Kevin: Ya iya? Dia kan pacarnya cuma Ferdi. Me: Oh. Kevin: Padahal gue mau ngabarin kalo Kia mau rilis produk baru lusa. Acaranya terbuka, gue niat undang kalian semua. Kalo mau kalian bisa dateng. William: Mendingan jangan. Mark: Bener kata Bang William, mendingan lo jangan pergi Bang. Jangan nyakitin diri lo sendiri. Bryan: Gue dateng. Mark: Bang. Bryan: For the last time I guess? Kevin: Ok. Entar gue siapin tempat buat kalian. Mencintai dalam diam, mengamati, memberi perhatian dalam kegelapan. Bryan bahkan memberikan dunianya hanya untuk Azkia tanpa perempuan itu ketahui. Sampai bayangannya pun tak tahu berapa pedulinya ia pada Azkia, seberapa besar cintanya pada perempuan itu. Mama: Bryan, malam ini kita makan malam bareng ya? Di Gold Restaurant. Me: Kali ini kenalan sama anak siapa Ma? Mama: Bry, kamu marah? Me: To the point aja Ma. Mama: Evelyn, anaknya Pak Gandi. Yang punya rumah sakit di Surabaya. Mama: Mau ya Bry? Bryan menghela napas panjang, menyandarkan punggung pada sandaran sofa, menatap kosong ponselnya. Ini sudah tawaran kesembilan? Atau sepuluh? Bryan tak ingat. Sebab hampir berselang satu bulan sejak ia menginjak usia 28 tahun, ibunya akan mengirim pesan bernada sama. Beberapa saat Bryan hanya terdiam, sebelum membalas pesan itu. Me: Apa aku gak bisa menentukan pilihan aku sendiri Ma? Mama: Kapan Mama melarang? Come, bawa dia. Siapapun yang kamu mau bawa Mama akan setuju. Mama: Tapi Mama mohon secepatnya Bryan. Kamu sudah 29. Sebentar lagi 30 tahun. Mama: Bawa perempuan itu sekarang juga kehadapan Mama. Me: Belum ada Ma. Mama: Jangan bohong. Mama tau kamu pasti lagi suka sama seseorangkan? Bilang sama Mama. Siapa? Perempuan mana yang kamu suka sampe kamu gak mau Mama kenalin ke perempuan lain? Me: Bukan gitu Ma. Mama: Terus? Me: Belum kepikiran aja. Mama: Kalau gak kepikiran aja yaudah ayo ketemu Evelyn. Mama gak akan paksa kamu langsung nikah kok. Kenalan aja. Mau ya? Bry? Kamu anak Mama satu-satunya sayang. Cuma kamu harapan Mama. Me: Beri aku waktu Ma. Kalau sampai di ulang tahun ke tiga puluh aku belum punya pasangan aku janji aku akan ikutin kemauan Mama. Mama: Ok. Noted. Itu artinya jika dalam waktu 5 bulan kamu belum menikah, kamu harus ikutin kemauan Mama. Sebuah rangkulan menyadarkan Bryan, setelah itu ia simpan ponselnya terbalik di atas meja. “Kenapa?” Kevin bertanya. Saat ini ia sedang berada di tengah acara perilisan produk baru yang Azkia miliki. Tentu saja Kevin ada, dia sekarang bos Azkia. “Nyokap lo?” “Hm. Dia chat lo juga?” Kevin mengangguk kecil. “Tante Larissa tanya lo lagi sama gue apa enggak, sama nanya tentang perempuan yang bikin lo gak mau nikah.” “Lo jawab?” “Gue bilang iya dan gak tau.” “Mama percaya?” “Enggak lah. Lo sama gue udah kayak anak kembar sejak bayi, mana mungkin nyokap lo percaya.” “Terus?” “Gue bilang lo mungkin lagi cari yang tepat.” “Tante Larissa takut lo gak suka cewek Bry.” Bryan terkekeh kecil. “Yang bener aja?” Kevin mengeluarkan ponsel, memperlihatkan isi chat-nya bersama Bu Larissa—ibu kandung Bryan. “Yaudahlah biarin.” “Terus rencana lo sekarang gimana? Mau gini-gini aja? Azkia mau nikah Bryan. Dua minggu lagi. Lo gak bisa nunggu lebih lama lagi, 12 tahun udah cukup buat lo nyari kesempatan sama dia. Lo mau nunggu apa lagi? Cinta mereka udah terbukti, mereka udah mau nikah.” “Gue masih gak percaya Ferdi beneran suka sama Azkia, dia dingin, dia gak keliatan suka sama Azkia.” “Lo cuma denial. Kalau gak serius kenapa mereka mau nikah?” Benar juga. Tapi tetap saja, Bryan ragu pada lelaki itu. “Lo mungkin cemburu, gak bisa ada di posisi dia Bryan. Makanya lo curiga sama dia.” Bryan menghembuskan napas, “Mungkin.” Tapi, entahlah. Sejak awal ia mendengar Azkia dan Ferdi berkencan, ia tidak percaya sama sekali. Ferdi tidak seperti mencintai Azkia, dari bahasa tubuh, dari tatapan, semuanya terlihat kosong dan mencurigakan. Apakah benar ia merasakannya karena terlalu cemburu? Karena rasa tidak relanya melihat Azkia dengan pria lain? “Loh. Loh. Ada apa?” Kevin bangkit. Bryan segera mengangkat kepalanya. “Ada apa?” “Azkia. Dia lari keluar hall Bry. Biar gue susul dulu.” Bryan menahan kengan Kevin. “Kenapa?” “Gue aja.” *** Unknown Number: Tinggalin Ferdi. Ferdi gak pernah cinta sama lo, jadi lo jangan terlalu berharap sama dia. Apalagi sampe nikah. Ini buktinya. Unknown Number: (send a pictures) Unknown Number: (send a video) Sesak. Langkah Azkia terhenti, perlahan kakinya meluruh—jatuh terduduk diatas lantai kotor tepat di belakang hall. Air mata mulai membanjiri wajahnya, menangis tersedu dengan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Azkia merasa jantungnya jatuh hingga ke dasar perut. Sekali lagi, netranya berulang kali membaca pesan di layar ponselnya, menggulir ponselnya lagi semakin jauh, melihat potret tak senonoh yang dilakukan kekasihnya. Bahkan sebuah vidio pendek muncul dilayar yang menunjukkan dengan jelas wajah kekasihnya sedang bersetubuh, melakukan adegan dewasa—yang bahkan tidak pernah mereka lakukan. Berulang kali Azkia berusaha menyangkal foto dan vidio itu, berulang kali pula ia melihat, bahkan memperbesar gambar. Nyatanya… tidak ada yang berubah, itu Ferdi! Itu benar-benar kekasihnya. Sakit. Sakit sekali. Dadanya sesak, semua beban bertumpuk di dalam dadanya. Kenapa? Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Kenapa? Sepuluh tahun… sepuluh tahun mereka bersama. Kenapa mereka harus berpisah dengan cara menyedihkan seperti ini? Rasanya tidak pernah ada yang salah dengan hubungan mereka. Ferdi memperlakukannya dengan baik, ia pun begitu. Setiap saat ia merasa dicintai lelaki itu, ia pun berusaha mencintainya setulus hati. Tapi apa?! Apa yang sekarang ia dapatkan?! Dengan tangan yang semakin bergetar hebat Azkia mendial nomor ponsel kekasihnya. Masih berharap Ferdi akan menyangkal pernyataan itu. Masih berharap kalau ini mungkin hanya jebakan saja. “Fer… tolong. Please… kita akan menikah.” Tak dijawab. Bahkan beberapa detik berikutnya tidak ada foto di foto profilnya. Ferdi memblokir kontaknya. “Fer….” Tangisan itu semakin terdengar kencang, begitu menyesakkan d**a. Beberapa menit Azkia bertahan di tempatnya. Melampiaskan rasa sakit yang menghancurkan hatinya. Melepaskan semua emosi hingga puas. Setelah di rasa cukup, Azkia bangkit. Ia atur napasnya beberapa saat, lalu ia seka air matanya dengan kasar kemudian berbalik. Langkahnya terhenti, tubuhnya mematung saat mendapati sesosok pria yang berada di ambang pintu, menatapnya dengan dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD