JANJI

1695 Words
Menjelang pukul sebelas siang acara sosialisasi selesai, tapi sebelum pembawa acara menutup seluruh kegiatan ada pembagian souvenir dan beberapa reward untuk peserta yang aktif bertanya selama sesi acara belangsung. Adit yang memang hanya diam mendengarkan tak terlalu menaruh perhatian saat nama-nama peserta yang aktif diumumkan untuk naik ke atas panggung untuk menerima reward. "Bapak ibu sekalian, kami sangat menghargai kehadiran bapak ibu semua di acara sosialisasi ini," ujar pembawa acara, "Dan selanjutkan kami akan memberikan reward kepada peserta yang hadir paling awal di acara ini. Jadi kami akan melihat pada daftar absensi untuk mengetahui siapa peserta yang paling awal datang ke acara ini." Deg Adit langsung resah mendengar pengumuman dari pembawa acara. Kalau benar seperti itu, maka namanyalah yang akan dipanggil maju ke atas panggung, karena dialah yang mengisi absen nomor satu. Padahal Adit sangat menghindari hal itu. Ia tak ingin Erika tahu kehadirannya di sini. Sebenarnya Adit ingin langsung keluar saja supaya tidak perlu naik ke atas panggung jika namanya benar-benar dipanggil nanti, tapi posisi duduknya ada di deretan belakang dan kalau ia mau keluar ia harus melewati panggung di mana Erika tengah duduk bersama para pembicara yang lain. Jadi posisinya sekarang benar-benar tidak bisa kemana-mana. Adit hanya bisa pasrah. "Aditya Nugraha," suara pembawa acara membaca nama dari deretan teratas daftar abensi, "Kepada bapak Aditya Nugraha kami persilahkan naik ke atas panggung." Adit tak langsung berdiri dari kursinya. Ia memperhatikan Erika yang nampak kaget mendengar nama yang disebutkan oleh pembawa acara. Gadis itu melihat ke sekeliling, seperti mencari keberadaannya. Boleh kan Adit sedikit ge-er? "Bapak Aditya Nugraha?" sekali lagi pembawa acara memanggil nama Adit, "Adakah bapak Aditya Nugraha?" Akhirnya Adit bangkit dan berdiri. Netranya langsung bertemu dengan manik Erika. Raut terkejut tak bisa disembunyikan oleh gadis itu. Tapi Erika langsung mengalihkan pandangannya. Adit pun melangkah ke arah panggung. "Kami minta kesediaan ibu Erika Oktaviani untuk memberikan souvenir kepada bapak Aditya Nugraha," kembali terdengar suara pembawa acara yang bisa didengar oleh Adit dalam perjalanannya melangkah menuju ke atas panggung. Sontak kalimat itu membuat jantungnya berdebar. Jadi Erika yang akan memberikan souvenir kepadanya? Kalau begitu, Adit tentu tak keberatan. Memang tadi pembicara lain sudah mendapat giliran memberikan souvenir untuk peserta yang aktif bertanya dan peserta yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar, jadi mungkin sekarang giliran Erika yang akan memberikan souvenir kepada peserta yang datang paling awal di acara itu. Ketika Adit sudah berada di atas panggung, Erika terlihat melangkah mendekatinya sambil membawa paper bag berisi souvenir. Walau Erika mencoba terlihat biasa saja tapi Adit bisa melihat kegugupan pada diri gadis itu. Adit bersyukur karena ia masih mengenakan maskernya jadi Erika tidak bisa melihat seluruh ekspresi wajahnya. Hal-hal standar yang ada di acara-acara seperti ini adalah pasti akan ada acara sesi photo dengan para peserta yang menerima berbagai reward atau souvenir. Jadi Adit sudah tidak kaget lagi ketika pembawa acara memintanya berpose saat sedang bersalaman menerima souvenir dari Erika. Erika tidak mengatakan apa-apa saat mereka bersalaman dan hanya menarik sedikit sudut bibirnya ke atas dengan mata menatap ke arah kamera, sama sekali tidak menatap Adit yang ada di hadapannya. Dan setelah sesi photo selesai gadis itu langsung kembali ke tempat duduknya tanpa berbasa basi. Saat acara selesai Adit buru-buru keluar dari ruangan dan mencoba mencari sosok Erika tapi ia terpaksa menelan kekecewaan karena gadis itu sudah tak terlihat lagi. Dengan langkah gontai Adit melangkah ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Tiba-tiba ekor martanya menangkap pergerakan seseorang, Adit segera menoleh dan melihat gadis yang dikejarnya tadi sedang melangkah terburu-buru kea rah lift. "Erika, tunggu," seru Adit, tak ingin lagi kehilangan jejak. Karena kaki Adit lebih panjang, tentu saja dalam sekejap ia bisa menyusul Erika. Laki-laki itu menghentikan langkahnya di depan Erika sehingga gadis itu tak bisa bergerak maju lagi. Erika mendengus kesal. "Tolong jangan halangi jalan saya," ujar Erika ketus. "Rik, sorry... bisa kita bicara?" tanya Adit cepat-cepat, ia melirik arloji di pergelangan tangannya, "Sambil makan siang?" "Saya sibuk," sahut Erika singkat. Adit menghela kasar. "Kalau begitu, boleh aku minta waktu barang sepuluh menit?" Adit terus mencoba walaupun ia tahu kecil kemungkinan gadis di hadapannya ini akan mengabulkan permintaannya. "Gak bisa, saya sibuk, permisi," sahut Erika lalu berlalu ke arah lift dan langsung menekan tombol untuk memanggil lift meninggalkan Adit yang termangu sambil menatapnya nanar. Erika memasuki lift dengan d**a berdebar tak karuan. Pertemuannya kembali dengan Adit setelah sekian tahun benar-benar membuat huru hara di dadanya. Tadi ia sampai takut kalau detak jantungnya bisa kedengaran oleh orang yang berada di dekatnya karena ia seolah merasakannya jantungnya bertalu begitu keras. Sampai tiba saatnya makan siang Erika masih tidak beranjak dari kursi kerjanya, ia berpura-pura sibuk mengerjakan sesuatu padahal saat ini sudah jam istirahat. "Rika, makan dulu yuk," ajak Aulia, "Ema tadi ngajak makan gado-gado di warung mpok Siti." "Aku titip aja deh, masih ada kerjaan yang belum selesai nih," sahut Erika beralasan. Untunglah kedua rekannya itu tidak banyak bertanya lagi dan langsung meninggalkan Erika sendiri. Dalam hati Erika mendesah lega. Kenapa juga ia harus berjumpa lagi dengan laki-laki itu padahal susah payah ia berusaha mengumpulkan lagi kepingan-kepingan hatinya yang berserakan akibat perbuatan laki-laki itu dulu, dan sekarang hatinya kembali porak poranda hanya dengan sekali bertatapan mata. Ah, ia memang selalu lemah kalo dihadapkan dengan Adit, laki-laki yang menjadi cinta pertamanya sejak ia masih duduk di bangku SMP. Sebenarnya dari kecil ia sudah tahu kalau Bimo memiliki sepupu yang merupakan anak dari adik papanya yang tinggal di Medan, sedangkan Erika sendiri adalah anak dari adik mama Bimo. Dan pada saat Adit datang ke Jakarta bersama orang tuanya dan menginap di rumah Bimo baru kali itulah Erika melihat wujud asli Adit yang saat itu baru saja lulus SMA. Dengan kulit sawo matang, wajah tampan dan tubuh tinggi atletis tentu saja Erika yang sedang dalam masa puber langsung tertarik pada Adit. Hanya saja karena status mereka adalah sepupu jadi Erika bersikap biasa saja dan mengganggap Adit seperti Bimo yang sudah dianggapnya seperti abang sendiri. Sekian tahun memendam rasa, Erika baru tahu kalau Adit malah tertarik pada Dara yang sama-sama berasal dari Medan bahkan mereka bertetangga. Walaupun sempat merasa kecewa tapi Erika beruntung karena Dara hanya menganggap Adit seperti abang sendiri dan gadis itu malah berjodoh dengan Bimo, sepupu Erika bahkan Dara berinisiatif menjodohkan Erika dengan Adit. Di awal hubungan mereka semua terasa indah dan manis. Walaupun tadinya Adit hanya menerima Erika sebagai pengalih rasa kecewanya karena Dara menikah dengan sepupunya sendiri, tapi lama kelamaan timbul rasa sayang di hati laki-laki itu. Apalagi Erika tak pernah menuntut macam-macam dan sangat mengerti kesibukan Adit yang baru memulai karir. Erika tak pernah menuntut Adit harus datang ke rumahnya setiap malam minggu dan gadis itu juga tak pernah membatasi pergaulan Adit dengan teman-temannya. Mungkin inilah yang menjadi awal masuknya orang ketiga dalam hubungan mereka. Kesibukan keduanya yang memang sama-sama menyita waktu membuat intensitas pertemuan mereka semakin berkurang. Adit semakin jarang menemui Erika tapi ia malah semakin sering pergi bersama Almira hingga akhirnya hubungan keduanya semakin akrab dan Almira mengutarakan rasa cintanya pada Adit. "Aku suka sama bang Adit," ujar Amira di suatu siang saat keduanya sedang makan siang bersama di kantin dekat kantor mereka. "Aku udah punya tunangan, Mir," sahut Adit yang tidak kaget saat Amira mengatakan isi hatinya. Ia sudah bisa merasakan kalau gadis itu memang menaruh rasa padanya. "Gak papa bang, aku gak masalah koq jadi yang kedua," sahut Amira lugas. Walaupun pada awalnya Adit menolak uluran cinta teman sekantornya itu tapi Almira tetap memberikan perhatiannya tanpa peduli walau Adit mengatakan kalau ia telah bertunangan. Gadis itu sama sekali tidak mengurangi perhatiannya pada Adit sehingga lama-lama timbullah rasa ketergantungan Adit pada gadis itu. Tapi sepandai-pandai menyimpan bangkai, bau busuknya akan tercium juga. Dan nasib sial mulai menghampiri Adit. Erika memergokinya sedang menggandeng Almira di mall di hari yang sama saat gadis itu di wisuda. Bahkan Bimo pun sempat memergokinya juga saat itu. Keputusan Erika yang memutuskan hubungan pertunangan mereka membuat seluruh keluarganya murka dan menyalahkan Adit. Mamanya bahkan sempat satu tahun tak mengacuhkannya, Wisnu tak lagi mau bicara dengannya. Walaupun akhirnya hubungannya dengan keluarganya kembali membaik tapi mamanya tetap tidak mau menerima Almira dalam keluarga mereka. Itulah yang membuat Almira akhirnya memutuskan hubungan karena tak kunjung mendapat kepastian dari Adit mengenai kelanjutan hubungan mereka. "Ma, Adit dan Erika udah gak ada hubungan lagi, kenapa mama masih belum bisa terima Almira juga?" Adit pernah menanyakan perihal penolakan Rina terhadap kekasihnya itu. "Dari awal dia sudah tau kan kalau kamu itu punya tunangan, tapi tetap memaksa menjalin berhubungan juga. Intinya bibit-bibit pelakor sudah ada dalam diri gadis itu. Dia tega merebut yang bukan miliknya. Dari situ mama bisa mengambil kesimpulan kalau dia bukan gadis yang baik," ujar Rina kala itu membuat Adit tak bisa berkata apa-apa untuk melakukan pembelaan atas Almira karena apa yang dikatakan mamanya adalah kenyataan, "Tapi kalau kamu masih tetap ingin menikahinya, mama tidak melarang, hanya saja kamu jangan berharap kalau mama akan merestui kalian dan jangan coba-coba membawanya ke hadapan mama." Kini telah satu setengah tahun berlalu dari saat Adit putus dengan Almira tapi laki-laki itu masih betah sendiri. Ia makin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Apalagi setelah Wisnu menikah, adiknya itu pindah dari apartemen dan menempati rumah mertuanya yang memang kosong karena mertuanya saat ini masih masih bertugas di Semarang. Adit hampir tak pernah lagi berkumpul untuk sekedar nongkrong dengan teman-temannya. Jika sedang libur ia lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen untuk beristirahat. Sangat berbeda dengan saat masih berpacaran dengan Almira, tiap sabtu dan minggu pasti ia akan datang ke rumah gadis itu entah sekedar berbincang di rumah atau ke mall untuk makan atau nonton. Tak hanya jarang berkumpul dengan teman-temannya, Adit bahkan hampir tak pernah lagi menghadiri acara keluarga, baik sekedar makan siang bersama di rumah budenya yang kadang kebagian tempat untuk mengadakan arisan keluarga atau undangan ulang tahun Naya, keponakannya. Saat Naya berulang tahun biasanya Adit hanya mengirimkan kado melalui kurir. Adit berusaha memegang janjinya pada mamanya untuk menghindari pertemuan dengan Erika agar tidak mengungkit kenangan menyakitkan di antara mereka. Kalau pertemuan di kantor Erika memang tak bisa dihindarkan karena saat itu Adit tak menyangka kalau namanya akan dipanggil untuk naik ke atas panggung. Tapi setelah itu Adit berjanji, akan berusaha menjauh selamanya dari Erika, tak peduli walau hatinya begitu merana karena perasaan bersalah dan rindu yang tak pernah sirna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD