Perasaan Itu Kembali Muncul

1040 Words
Shaka menarik napas panjang, dia kembali fokus pada para mahasiswi yang masih mengelilinginya untuk meminta kepastian dari harapan mereka. "Kalian chat saya aja ya, nanti saya atur jadwal kalian satu persatu," ucap Shaka sembari merapihkan mejanya. Sesekali dia melirik ke arah Zivaa yang masih asik ngobrol dengan seorang mahasiswa. Bukan hanya ngobrol biasa, wanita itu bahkan sempat tertawa di lihat Shaka. Segera Shaka pergi dari sana meninggalkan para mahasiswinya yang masih mencoba mencegahnya untuk pergi dengan berbagai alasan. Kembali ke ruang kerjanya, Shaka menjatuhkan bokongnya di kursi kerjanya. Memijat pangkal hidungnya dengan gemas. Dari pada terus memikirkan mahasiswi barunya itu Shaka mengalihkannya pada pekerjaan. Dibukanya laptopnya, memeriksa email masuk dari para mahasiswanya yang mengirim tugas yang dia berikan. Mencoba pikirannya terpusat pada pekerjaan tapi tidak bisa. Shaka geram sendiri. Mengapa dia tidak bisa konsentrasi memeriksa tugas para mahasiswanya? Ada apa dengan dirinya saat ini? Baru pertama bertemu Zivaa tapi gadis itu berhasil memenuhi benak Shaka saat ini. Dia terus memikirkan mahasiswinya itu. 'Saya pindah ke sini karena suatu hal yang tidak bisa saya beberkan di sini.' Penggalan kalimat yang Zivaa lontarkan saat di kelas terus terngiang di telinga Shaka. "Oh, Zivaa Brianna kamu membuat aku penasaran," gumam Shaka. Shaka beranjak, dari pada terus memikirkan mahasiswinya itu lebih baik dia keluar mencari secangkir kopi di sebuah cafe. *** Ketika di parkiran, Shaka tidak sengaja melihat Zivaa sedang kebingungan. "Kenapa ban mobil kamu?" Suara bariton yang dalam itu membuat Zivaa terperanjat, dia terkejut. "Bapak! Ngagetin aja!" gerutu Zivaa sambil mengusap dadanya. "Jangan panggil 'Bapak' saya bukan bapak kamu," gurau Shaka meski terdengar garing tapi berhasil membuat Zivaa tersenyum tipis. Shaka jongkok di depan ban mobil Zivaa. "Heum, Ban kamu bocor, bawa ban cadangan?" tanyanya kemudian. Zivaa mengangguk, "Ada, Pak. Tapi alatnya yang gak ada," sesal Zivaa yang tidak pernah mengerti soal perkakas. "Ya sudah, nanti saya bantu kamu ganti ban. Tapi sekarang kamu ikut saya dulu," ajak sang dosen. Shaka langsung menarik tangan Zivaa. "Eh, Pak! Tunggu dulu," mohon Zivaa. Shaka berhenti dengan kening menyernyit. Tit! Zivaa nyengir setelah dia menekan remot kunci mobilnya. "Mobilnya belum saya kunci tadi." Shaka mendengus kecil sambil melanjutkan jalannya kembali menarik tangan Zivaa. Membawanya masuk ke dalam mobil. Hening menyelimuti mobil Shaka saat ini, keduanya sama-sama membisu. Zivaa berharap Shaka tidak mendengar detak jantungnya yang berdegub kencang dan tidak beraturan. Untuk mengurangi kecangungan di antara mereka, Shaka menyalakan musik dengan volume pelan. Zivaa tersenyum melihat apa yang sang dosen lakukan. "Kamu tahu lagu ini?" tanya Shaka karena dia mendengar Zivaa bergumam melantunkan lagu itu. "Heum, lagu lawas," jawab Zivaa singkat. "Suka?" "Suka, malah saya lebih suka lagu lawas dari pada lagu sekarang. Lagu jaman dulu tuh lebih abadi dari pada lagu sekarang yang viral tapi tiba-tiba hilang," ungkap Zivaa. Sepanjang Zivaa bercerita tentang lagu, Shaka memperhatikan gerak bibir mungil berwarna merah muda alami milik sang mahasiswi, dagu lancip, hidung mancung, bulu mata lentik, alis bak semut beriring, susunan wajah yang sangat pas. Shaka mengagumi ciptaan Tuhan yang paling sempurna di hadapannya itu. Bukan hanya jantung Zivaa yang berdegub kencang. Shaka pun sama. Dari sekian mahasiswi yang bersamanya mengapa didekat Zivaa rasanya berbeda, Shaka merasa sesuatu yang hilang kini kembali. Cinta. Sejak hampir sepuluh tahun ini Shaka kehilangan rasa yang namanya cinta. Sejak memergoki istrinya selingkuh dan berakhir perceraian membuat duda dua anak ini trauma dengan yang namanya cinta. Dia tidak percaya lagi adanya cinta bahkan menguburnya dalam-dalam. Selama ini Shaka menyalurkan hasratnya bersama mahasiswi yang merayunya agar melancarkan skripsinya atau agar ujian mereka nilainya bagus. Simbiosis mutualisme, mahasiswi itu butuh nilai tinggi, Shaka butuh pelepasan saat hasratnya tinggi. Dua putranya sudah gemas dengan ayah kandungnya yang masih belum mau menikah juga, padahal ibu mereka sudah menikah dengan pria selingkuhannya dan memiliki keluarga kecil. "Iya saya setuju sama kamu, lagu sekarang tidak seperti lagu jaman dulu," timpal Shaka. Sesekali duda dua anak itu melirik Zivaa yang terlihat lebih banyak diam dari pada membuka percakapan. Padahal dia kuliah di Fakultas Public Relation, seharusnya lebih easy going karena banyak menghadapi orang di lapangan. Mahasiswinya satu ini memang berbeda. Dari mulai wajahnya, tidak cantik yang berlebihan tapi enak di lihat dan tidak ngebosenin, manis. Kulitnya putih tidak pucat itu berarti dia memang putih dari lahir atau keturunan orangtuanya berkulit putih bukan karena suntikan yang sedang trend suntik vitamin c. Ketika mobil sang dosen memasuki area parkir sebuah restaurant baru Zivaa tahu kemana tujuan pria itu. "Kamu belum makan 'kan?" tebak Shaka. Zivaa mengangguk. Niatnya memang setelah jam kuliah usai dia mau makan malam tapi tidak sejauh ini juga karena waktunya hanya 30 menit sebelum jam makan kuliah kedua di mulai. "Gak usah khawatir, mata kuliah ibu Widia di ganti. Hari ini dia ijin mendadak karena anaknya masuk rumah sakit. Kamu pasti belum lihat chat group fakultas." Seperti tahu isi pikiran Zivaa, Shaka membeberkan semuannya. Zivaa mengeluarkan ponselnya dari tas dan memeriksa group chat khusus fakultasnya, benar saja. Ada informasi untuk mata kuliah marketing yang dibatalkan dan ganti hari. Zivaa berdecak kesal karena kalau di ganti hari biasanya random harinya sedangkan dia sudah mengatur jadwal kuliahnya yang hanya dua hari dalam seminggu sisanya dia pakai untuk mengejar dosen skripsi. "Yuk," ajak Shaka yang tiba-tiba sudah ada di samping Zivaa membukakan pintu mobil untuknya. "O-oh, iya, sebentar." Via memasukan ponselnya ke dalam tas lalu membuka sabuk pengamannya kemudian dia keluar. Zivaa menatap restaurant itu, tempat makan elit itu terkenal mahal. Karena dia biasa membawa klien baru untuk melobby mereka agar perusahaan memenangkan tender di sana. Seorang pelayan menghampiri Shaka, bertanya pada pelanggannya. "Selamat malam, Pak, untuk berapa orang?" tanyanya. "Selamat malam, untuk dua orang," jawab Shaka. "Smooking room atau tidak?" "Tidak." Pelayan itu dengann cepat mendapat tempat yang tepat untuk Shaka dan Zivaa. "Terima kasih," ucap Shaka dan Zivaa bersamaan saat pelayan itu mempersilahkan mereka duduk. Dua buah buku menu langsung diberikan pada mereka masing-masing. "Kamu pesan apa?" tanya Shaka. Tidak ingin membebani kantong dosennya, Zivaa memilih menu makanan yang harganya murah dan tidak banyak dia pilih. Satu makanan dan satu minuman. "Apa kamu diet?" selidik Shaka karena mahasiswinya itu hanya memesan makanan sedikit. "Heum, tidak, Pak. Saya memang kalau makan tidak banyak," jawab Zivaa. "Saya kira kamu diet tidak makan malam agar timbangan tidak nganan," goda Shaka. Zivaa mendengus tawa. "Saya bukan tipe wanita seperti itu." "Jadi kamu wanita seperti apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD