Safina Afriza Hanifa

543 Words
•||• Aku mengoleskan selai coklat di atas roti tawar milik Erlangga secara rata. Hari ini adalah hari senin. Semua anggota keluarga--Revan, Erlangga, Sabima, mbak Hasna dan aku kembali pada kegiatan kami masing-masing. Mas Revan dan Mbak Hasna meeting bersama dengan kolega-koleganya, Erlangga dan sabima bersama dengan buku-buku pelajarannya dan aku, aku sibuk mengurusi toko kue yang didirikan oleh Revan untukku sebagai hadiah atas aku yang mengizinkannya untuk menikahi mbak Hasna. Terkesan bodoh memang saat aku hanya mengangguk-angguk saja ketika mas Revan meminta mbak Hasna menjadi istrinya. Tapi waktu itu aku tidak bisa apa-apa. Aku tidak punya apapun untuk membela diriku sendiri. Karena memang ya, aku menikah dengan mas Revan hanya karena ayahnya. Ayahnya mas Revan terlalu menyayangi aku. Sampai-sampai ia menyuruh mas Revan untuk menikahi aku juga. "Ibu?"  Aku menoleh menatap Erlangga yang sudah rapih mengenakan seragam sekolahnya. Erlangga begitu tampan. Wajahnya menurun langsung dari mas Revan. Hidungnya, matanya, pipinya, keningnya, bahkan jambang rambutnya pun sama. Aku terkekeh ketika melihat dasi kupu-kupu yang di pakai Erlangga miring. "Ini miring, sayang. Sini ibu benarkan dulu." Kataku. Erlangga hanya memberiku cengiran kuda. Setelah aku membenarkan dasinya, ia mengecup pipiku dengan penuh kasih sayang. "Makasih, Bu!" "Sama-sama sayang! Papa sama Mama Hasna kemana?" Tanyaku. Erlangga terlihat duduk di atas kursi makan, lalu menggoyang-goyangkan kakinya. Ritual pagi yang harus dan wajib di lakukan Erlangga ketika akan sarapan. Entah untuk apa ia melakukan itu, tapi aku sudah berulang kali mengingatkannya untuk tidak seperti itu. Karena tidak sopan. "El kakinya, nak." Tegurku. Erlangga menutup bibirnya, dan menghentikan gerakan kakinya. "Kayanya Mama sama Papa masih di kamar deh Bu. Soalnya sabima juga belum keluar tadi. Kemarin malam Sabima minta ajarin pr seni budaya sama el." "Oh ya?" "Iya Bu!" Aku dan Erlangga terlibat beberapa percakapan sebelum akhirnya suara langkah kaki beberapa orang terdengar turun dari tangga. Aku menoleh, dan memberi mereka bertiga senyum tulus. "Sarapannya roti dulu ya mas, mbak. Aku lupa beli bahan makanan kemarin." Kataku. Kulihat mas Revan tertawa, lalu mencium keningku dan duduk di kursi makan. "Nggak papa, dek. Mas nggak keberatan kok. Mbak Hasna juga. Yakan sayang?" Mbak Hasna tersenyum, "Iya dong." Aku tertegun sejenak. Melihat garis merah keunguan di leher dan tulang selangkanya. Aku jelas tahu itu apa. Ah Rasa-rasanya tidak akan pernah ada yang siap untuk di duakan. Percayalah, ini sakit sekali. Memang selama ini mas Revan tidak pernah kasar ataupun tidak adil pada kami, tapi rasanya--- ah, beda. Beda sekali. Mas Revan dengan mbak Hasna karena mereka saling mencintai. Tapi aku dan mas Revan? Hanya aku yang mencintainya, tapi dia tidak. Meskipun setiap malam ia sering mengucapkan I love you padaku, tapi tetap saja aku tidak percaya. Karena bagiku, kata I love you bukanlah tanda-tanda orang mencintai kita. "Hari ini aku jemput mbak Hasna ya dek. Kamu nanti naik ojol aja, nanti pakai dompet onlinenya mas aja." Kata Revan. Aku mengangguk. Tidak bisa membantah. Seingatku, mas Revan sudah menjemput mbak Hasna, tapi.. Ah, sudahlah. Mengalah lebih baik, Fina. "Iya mas, nanti aku naik ojol aja. Sekalian jemput Erlangga dan mampir ke supermarket dulu," jawabku. Mas Revan tersenyum menatapku. Lalu matanya menatap mbak Hasna dan menggenggam tangannya. Kulihat mas Revan mulai menggoda mbak Hasna, dan mbak Hasna mulai merasa malu. Aku menarik napas, dan berbalik menuju dapur. Berusaha abai atas rasa sakit di hatiku. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD