Bab 1

1531 Words
Bab 1 "Adelia, kamu harus menikah dengan saya." Billy yang notabene-nya dosen Adelia, langsung berbicara to the point. Suasana hening kantin kampus membuat suara Billy terdengar menggema di kepala Adelia. "Apa?" Adelia yang baru mencerna kata-kata Billy pun, tampak tidak percaya dengan apa yang diucapkan dosennya itu. "Apa masih kurang jelas, apa yang saya ucapin? Saya ingin kita me.ni.kah," ucap Billy dengan menekankan kata menikah. "Saya tidak salah dengar? Bapak jangan mengada-ada deh! Saya tahu bapak ganteng, perut bapak udah kayak roti sobek, hidung bapak mancung, wajah bapak udah kayak artis-artis Korea. Kalau bapak lagi mimpi, bapak cepet nyebur ke kolam gih, biar otak bapak seger lagi," ucap Adelia dengan asalnya, seolah tahu bahwa perut Billy benar-benar six pack. Billy terkekeh, dan hal itu membuat jantung Adelia berdetak dua kali lebih cepat dibanding biasanya. Ya, karena senyuman Billy itu terlihat sangat manis. "Saya tidak sedang bercanda, saya menikahi kamu karena kamu sedang mengandung anak saya," ucap Billy berbisik. Adelia terkejut, mulutnya tampak terbuka, membentuk huruf 'o'. "Lebih baik bapak bangun deh dari mimpi bapak, jangan ngelantur kalo bicara, takut ada yang dengar dan nantinya malah jadi gosip." Adelia mengikuti nada bicara Billy yang berbisik. "Saya serius Adel, kamu memang sedang mengandung anak saya. Kalau kamu masih tidak percaya, kamu bisa mengeceknya langsung." "Tapi, bagaimana saya bisa hamil kalau saya saja belum pernah berhubungan badan, bahkan saya sangat jarang berkontak langsung dengan cowok, masa saya bisa hamil gitu aja. Bapak ini dosen loh, kalo bicara jangan aneh-aneh." Adelia tetap tidak percaya. Matanya menatap sang dosen dengan kesal. "Kita memang tidak melakukan hal b***t itu, tapi percayalah kalau kamu memang sedang mengandung. Saya berani bersumpah, apa perlu saya bawa kamu ke dokter kandungan sekarang juga?" Adelia tertawa mendengar ucapan Billy, namun semakin lama tawa itu berubah menjadi tawa hambar. "Lalu, kenapa bisa seperti ini? Saya tidak mengerti dengan perkataan bapak saat ini." Raut wajah Adelia berubah serius. Ada rasa takut di hatinya, Adelia sebenarnya merasa takut dengan ucapan Billy. "Karena kamu masih tidak percaya, sekarang kamu bisa mengetesnya. Ini test pack kamu bisa menggunakannya untuk mengecek kehamilan kamu." Billy menyodorkan sebuah benda pipih kecil yang masih terbungkus plastik ke hadapan Adelia. Dengan ragu Adelia mengambil benda itu. "Kamu sudah tahu bukan, bagaimana cara menggunakannya?" Adelia mengangguk mendengar pertanyaan Billy. "Baguslah kalau begitu. Karena kampus sudah sepi, saya antar kamu ke toilet. Oh ya, ini gelas kecil untuk menampung air seni kamu nantinya." Billy kembali menyodorkan sesuatu ke hadapan Adelia, Adelia kembali mengambil benda yang Billy sodorkan padanya. Billy dan Adelia berjalan menuju toilet kampus. Suasana kampus benar-benar sepi sekarang, itu karena karena jam kampus sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Adelia belum pulang dari kampusnya, karena tadi perempuan itu sempat tertidur di poliklinik. Belakangan ini tubuhnya memang tidak terlalu fit. Stamina tubuhnya benar-benar menurun. Tadi malam saja, Adelia masuk angin dan mengakibatkan tubuhnya benar-benar lemas di pagi harinya. Jika tidak ada kuis hari ini, Adelia tidak akan masuk kuliah. Saat ini Billy dan Adelia sudah sampai di bagian toilet kampus. "Bapak tunggu di sini saja, saja bisa melakukannya sendiri," ucap Adelia yang diangguki oleh Billy. Adelia pun memasuki toilet itu. Adelia menampung air seninya dengan gelas kecil yang tadi Billy berikan untuknya. Adelia melakukan prosedur-prosedur penggunaan alat tes kehamilan yang diketahuinya. Hal terakhir yang Adelia lakukan adalah mencelupkan ujung test pack itu ke air seninya dan Adelia hanya perlu menunggunya sebentar. Adelia mengambil alat tes kehamilan itu, ia tidak berani melihatnya. Adelia langsung membungkus test pack itu dengan tisu yang ada di tasnya, setelah ia mencuci alat itu. Karena merasa takut untuk melihat hasilnya, Adelia lebih memilih menunjukkan pada Billy terlebih dahulu sebelum melihatnya sendiri. Adelia keluar dari toilet itu, saat pintu toilet terbuka, Adelia menemukan Billy yang tengah memandangnya dengan seulas senyum. "Bagaimana?" Tanya Billy kemudian. "Saya tidak bohong, kan?" Tanya Billy lagi. "Saya belum berani melihatnya, lebih baik bapak dulu yang melihatnya." Adelia menyodorkan alat itu ke Billy, dengan senang hati Billy meraihnya. Hal pertama yang Billy lihat setelah menerima testpack itu, ialah dua garis merah yang melingkari alat itu. Kembali Billy menyunggingkan seulas senyumnya. "Benarkan? Saya tidak bohong, lihat ini hasilnya menunjukkan dua garis, itu berarti kamu memang sedang hamil," ucap Billy santai, raut wajah Billy terlihat lega. Sedangkan Adelia? Berbeda dengan Billy, sekarang raut wajah Adelia terlihat pucat. Perasaan khawatir mulai menghantui Adelia. "Aku semakin tidak mengerti. Ya Tuhan, semoga ini tidak benar," gumam Adelia dengan suara lirihnya, tanpa bisa Billy dengar. "Karena sudah terbukti kalau kamu hamil, maka saya akan mendatangi rumah kamu, untuk menemui orang tuamu, dan melamar kamu sekarang juga. Dan tidak ada bantahan lagi." Billy menarik tangan Adelia membawa Adelia menuju parkiran di mana mobilnya berada. "Ayo masuk!" Billy mempersilahkan Adelia untuk masuk ke dalam mobilnya. Adelia hanya menurut, ia memasuki mobil Billy. Tidak lama Billy juga memasuki mobilnya. "Tolong nanti kamu tunjukan di mana alamat rumah kammu, saya nggak tahu soalny," pinta Billy, Adelia hanya mengangguk sebagai pertanda 'iya'. Rasa shock masih menguasai seluruh perhatian Adelia. Billy melajukan mobilnya, suasana mobil tampak hening. Tidak ada di antara mereka yang berniat membuka suara. *** Sepasang suami istri setengah baya, tampak menatap bingung dua pasang muda-mudi yang saat ini duduk di hadapan mereka. "Apa maksud Anda pak dosen?" Tanya wanita setengah baya itu, yang memang sudah mengenal Billy. "Maksud kedatangan saya kemari, saya ingin melamar putri ibu dan bapak," jelas Billy disertai senyum manisnya, yang pasti membuat siapapun akan terpesona akan ketampanannya. "Tapi kenapa Anda ingin menikahi putri saya, bukankah bapak ini dosen putri saya?" Tanya pria setengah baya, yang merupakan ayah Adelia itu. "Kami saling mencintai," sahut Adelia yang sedari tadi diam. Adelia memang tidak mau mengatakan alasan yang sebenarnya, ia tidak mau membuat kedua orang tuanya kecewa karena ia telah hamil di luar nikah. Ya, meskipun Adelia memang merasa tidak pernah melakukan hubungan yang dilarang agama itu. "Sejak kapan kalian menjalin hubungan?" tanya ibu Adelia. Billy hanya diam, ia membiarkan Adelia yang menjawabnya. Adelia bingung, ia pun menatap Billy. Billy mengangguk kecil mengiyakan apa pertanyaan yang ada di otak Adelia. Untung saja sewaktu kuliah dulu, dosennya memberi pelajaran mikroekspresi pada Billy, sehingga hal itu memudahkan Billy membaca gerak-gerik seseorang. "Kami menjalin hubungan sejak tujuh bulan yang lalu, dan kami benar-benar saling mencintai. Kami merasa saling cocok, dan akhirnya memutuskan untuk menikah," jawab Adelia akhirnya. Adelia berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya. Tangannya sedikit bergetar ketika kalimat itu terlontar dari mulutnya. Kedua orang tua Adelia tersenyum. "Kenapa kalian tidak bertunangan terlebih dalu? Adel, bukannya kamu masih dua tahun lagi untuk diwisuda, kenapa kalian terburu-buru sekali?" Ibu Adelia kembali bertanya. "Supaya tidak menimbulkan fitnah, jika saya dan Adel selalu bersama dan tanpa ikatan jelas, maka itu akan menimbulkan fitnah." kali ini Billy yang angkat bicara. "Tapi, apa tidak kecepetan? Maksud Mama, kan kalian masih tujuh bulan menjalin hubungan." "Kan kami udah ngerasa cocok Ma, jadi kami memutuskan untuk menikah saja. Daripada kita berbuat sesuatu hal yang dilarang? Hayo, gimana? Pak Billy itu laki-laki normal loh," ucap Adelia yang disambut kekehan kedua orang tuanya, serta Billy. Biarlah, Adelia tidak peduli. Yang terpenting, rahasianya tidak terbongkar. "Iya, iya. Ternyata yang kebelet kawin itu kamu Del. Ehmm, Nak Billy, kapan sekiranya Nak Billy membawa orang tuanya ke sini?" tanya ibu Adelia yang masih dengan sisa-sisa tawanya, lagi-lagi Billy tersenyum. "Saya akan mengajak orang tua saya ke sini, mungkin nanti malam. Dan saya akan melamar Adelia secara resmi," jawab Billy kemudian. "Apa tidak terlalu cepat? Kami belum melakukan persiapan." kali ini ayah Adelia yang bertanya. "Bukankah lebih cepat, itu lebih baik?" jawab Billy dengan bertanya balik. Kedua orang tua Adelia sontak terkekeh mendengar penuturan Billy itu. Sedangkan Adelia, ia tetap diam di posisinya dan berusaha menyunggingkan seulas senyum. Namun bukan senyum manis yang tercipta, melainkan senyum hambar. "Baiklah kami mengerti, kami akan segera mempersiapkan acara lamaran kalian, nanti malam," ucap ibu Adelia diiringi kekehan. "Kalau begitu saya pamit dahulu, terima kasih Pak Broto, Bu Broto karena telah menerima saya dengan baik. Saya permisi," pamit Billy yang berjalan menuju pintu keluar, diikuti oleh kedua orang tua Adelia. Sedangkan Adelia masih terduduk di tempat yang sama. Di sofa ruang tamu. Adelia menatap langit-langit atap rumahnya. Tiba-tiba Adelia merasakan perutnya bergejolak, ada sesuatu yang berdesakan ingin keluar dari perutnya. Dengan cepat Adelia berlari menuju kamar mandi, yang berada di kamarnya. Adelia menapaki setiap anakan tangga untuk sampai di kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya. Adelia memuntahkan seluruh isi perutnya, membuat tubuhnya lemas seketika. "Jadi begini rasanya menjadi wanita hamil," gumamnya lirih. Adelia berusaha berdiri dari duduknya, dan berjalan keluar dari kamar mandi. Namun saat sudah sampai di ambang pintu, perutnya kembali bergejolak dan dengan langkah cepat Adelia berjalan menuju wastafel. Adelia kembali memuntahkan isi perutnya yang sebenarnya sudah tidak berisi lagi. Setelah selesai, Adelia kembali berjalan keluar. Setelah sampai di tepi ranjangnya, Adelia langsung membaringkan tubuhnya. "Tubuhku rasanya lemas sekali, aku harus mencari cara untuk meredakan rasa mual ini," gumam Adelia sambil mengelus-elus perutnya yang masih datar. "Apa kamu benar sudah tumbuh di dalam, nak?" gumamnya lagi, tangannya kembali mengelus-elus perutnya. Rasa lemas yang terlalu besar membuat kantuk tiba-tiba mendatanginya. Tidak lama mata Adelia terpejam, Adelia mulai memasuki alam mimpinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD