Janda 4

1951 Words
Senja itu langit hitam kelam. Langit Bogor sepertinya akan segera menangis. Di sebuah kamar  rumah sederhana, tampak dua orang remaja bersaudara sedang asik berbincang-bincang sambil menikmati kopi dan gorengan. Puluhan puntung rokok pun tampak memenuhi asbak kaca yang terlihat masih baru. Sepertinya sudah cukup lama mereka berdiskusi. Yoga sangat antusias bercerita tentang betapa baiknya seorang Noviar. Sementara pikiran Rizal masih terombang-ambing pemikiran yang membuatnya sangat bimbang dalam keraguan. "Nah, lihat nih apa yang dikirim Tante Novi!" tiba-tiba Yoga berseru sambil menunjukan hapenya pada Rizal. Beberapa saat Rizal dan Yoga terdiam dan termangu menatap beberapa foto yang baru saja dikirim Noviar. "Seenaknya aja kan Cikgu ganti sopir? Gua sih yakin, bukan semata-mata butuh sopir, tapi butuh yang lainnya. Masa sopir dan majikan terligat mesra saling pegangan tangan, mana g lagi sopirnya." "Ya, sudah kalau itu memang maunya dia. Berarti sudah pupus harapan gua. Bodo amatlah udah pernah ngerasain ini, hehehe," timpal Rizal. "Tapi, gua blom, Bro," sergah Yoga. "Sebenarnya gua juga sudah capek ngurus-ngurus yang gak jelas gitu," ucap Rizal tak b*******h. Sesaat kemudian dia menyandarkan punggungnya seraya menatap langit-langit kamar Yoga. "Lu percayakan sekarang, kalau Tante Noviar lebih menjanjikan. Gimana lu terima tawaran dia?" "Lu atur aja, Sob. Asal dia bener aja mau biayai kita untuk buka bengkel. Gua sih gak masalah kalau harus selingkuh sama dia. Udah biasa selingkuh sama bini orang, hahaha." "Nah, ini yang mesti lu tahu. Ternyata Tante Noviar sudah hampir dua tahun pisah ranjang dengan suaminya." "Maksudnya?" Rizal memiringkan wajah, menatap Yoga yang tersenyum penuh misteri. "Tante Noviar dan Mas Bayu ternyata diam-diam sedang mengajukan gugatan cerai." "Serius lu?" Rizal tersentak, spontan menarik punggungnya, duduk lurus seperti semula. "Gua aja kaget! Tapi Tante Noviar memperlihatkan copyan surat pengajuannya. Mas Bayu sih yang mengajukannya." "Oh gitu." "Yes, makanya gua pikir, ini kesempatan emas dan lu bakal bebas berhubungan dengan dia." "Wah kalau bener begitu sih, makin semangat nih!" "Gimana, jadikan malam ini  ketemuan dengan si Tante?" "Jadi dong, hehehe." "Janjian dimana?" "Cafe Daun yang dekat Taman Kenari." "Ya udah, entar lu terus terang aja tentang rencana buka bengkel, juga rencana bokap lu yang pengen buka warung. Gua yakin Tante Noviar bakal kasih segalanya buat lu. Dia bener-bener ngebet sama lu, Zal." "Hahaha, kalau udah dikasih sempak gua, pasti lebih tergila-gila lagi, huhuhu." "Yes, hahaha. Gua juga mau dong punya ilmu pelet gitu, Sob." "Ntar kapan-kapan gua anter lu ke tempat guru gua." "Ahsyiaaap, tapi kalau bisa sih, jangan terlalu lama." "Ya, malam ini gue temui Noviar dulu, kalau ada waktu besok atau lusa kita langsung berangkat ke daerah Banten, naik motor aja, biar cepet." "Oke Sip!" "Gua pulang dulu, mau mandi, Noviar janjiannya setengah tujuh, Sob. oke gua cabut dulu." "Yoi, sukses, Sob!" Hampir bertepatan dengan Rizal yang sedang mandi, Dhena yang sedang ditemani Wildan melintasi jalan raya menuju Kota Bandung, di tempat yang berbeda Rayan Justino sedang duduk terpekur di depan seorang lelaki tua yang berpakaian serba hitam. Lelaki dengan jubah hitam yang terkesan kebesaran itu, wajahnya tampak kusam dan menyeramkan dihiasi rambut gondrong, kumis dan jenggot panjang tak terawat. Namun demikian belum ada satu pun dari rambutnya yang beruban. Lelaki yang berpenampilan tua itu sepertinya masih belum terlalu tua usianya. Rayan dan Mbah Samiran sedang duduk berdua di sebuah kamar yang terasa pengap dan sumpek dengan asap dan aroma kemenyan. Mbah Samiran tampak khusyuk membaca mantra-mantra depan dupa yang mengepul dengan asap kemenyan. Di antara Rayan dan Mbah Samiran, terdapat sebuah meja pendek dan kecil yang dipenuhi aneka bunga dan sesajen. "Gimana sudah mulai terasa hasilnya?" Mbah Samiran bertanya dengan suara berat, parau penuh wibawa. "Sejujurnya, sampai hari ini saya masih belum merasakan perubahan apa-apa Mbah," jawab Rayan mantap. "Kenapa bisa begitu? Apakah jimat yang dari Mbah sudah ditanam?" Mbah Samiran menatap Rayan yang menunduk. Rayan lalu mengangkat kepalanya pelan-pelan. "Semua sudah saya tanam di halaman depan rumahnya, malahan tadi subuh. Sengaja saya datang sebelum penghuninya bangun Mbah." "Terus gimana reaksi mantan istrimu, saat bertemu?" "Jangankan memberi pinjaman uang Mbah, malah hampir berujung keributan dengan salah seorang anak yatim peliharaannya," jawab Rayan tak bersemangat. "Anak yatim peliharaan? Kamu pikir apa pake dipelihara segala? Memangnya mantan istrimu merawat anak yatim?" Mbah Samiran mengernyitkan dahi. "Iya Mbah. Dia merawat dan memelihara tiga orang anak yatim. Malah ibunya juga ikut," jawab Rayan seraya menatap wajah Mbah Samiran yang tiba-tiba berubah tegang. "Sudah berapa lama anak-anak yatim itu tinggal di rumah mantan istrimu?" "Gini Mbah, sebenarnya dia anak pembantunya. Tapi sejak suami pembantunya itu meninggal dunia, mantan istri saya langsung mengangkat semua anaknya jadi anak asuh. Bahkan seperti anaknya sendiri." "Ooooh gitu," Mbah Samiran menggut-manggut seraya mengelus-elus jenggot dan kumisnya yang pajang. "Sebenarnya dari dulu, saya tidak suka pada tiga anak itu. Sudah beberapa kali saya usir, karena anak-anak itu sudah kurang ajar, bahkan sepertinya mereka keluarga dajjal yang mau merebut kekayaan mantan istri saya itu, Mbah." "Terus?" "Ya begitulah. Mantan istri saya, bukannya mengusir, malah sekarang mereka tinggal bareng di rumahnya. Justru rumah Bi Arnah yang disewakan pada orang lain." "Sudah cukup lama ya?" "Kalau dihitung-hitung dari sejak Bi Arnah jadi pembantu sih, sudah lebih dari sepuluh tahun Mbah." Rayan menjawab dengan suara yang sedikit gemetar. Dia mulai sedikit diselimuti perasaan was-was terkena marah, karena pada pertemuan pertama dan kedua tidak bicara jujur tentang keadaan Dhena yang sebanarnya. "Ternyata kamu pembohong ya, katanya istrimu tukang selingkuh dan suka tidur bareng dengan lelaki lain di rumahnya. Kalau begitu Mbah menyerah!" tegas Mbah Samiran seraya bersidekap. "Kenapa begitu, Mbah? Dia memang suka ngajak lelaki lain ke rumahnya. Tapi juga dia memelihara anak yatim." "Mbah gak percaya kalau istrimu suka selingkuh. Tapi kalau dia memelihara, merawat dan menyantuni fakir miskin dan anak yatim, Mbah percaya. Jangan-jangan bukan hanya tiga yang dia santuni?" "Kok Mbah tahu?" "Mas Rayan, asal kamu tahu. Iblis dan setan dari tujuh lautan dan delapan samudera disatukan untuk mengirim santet, pelet, guna-guna, ilmu sihir dan ilmu hitam lainnya, tidak akan sanggup. Karena rumah itu dijaga oleh ribuan Malaikat. Tak akan ada yang sanggup menyusupkan sihir pada manusia yang diliputi karomah  kasih sayang pada fakir miskin dan anak yatim piatu." "Jadi gimana Mbah, masa tidak ada cara lain?" Rayan masih penasaran dan sudah kepalang tanggung melangkah. "Mbah tidak sanggup dan menyerah. Pantas saja sudah tujuh kali melakukan tirakat dan ritual selalu gagal, bahkan tubuhku dua kali terpental dan hampir saja nyawaku melayang." "Masa sih Mbah? Nyawa hampir melayang gimana?" Rayan bertanya dengan wajah melongo. "Kamu tak perlu tahu. Ternyata mantan istrimu bukan manusia sembarangan. Mulai saat ini silakan kamu cari dukun yang lain yang lebih sakti. Mbah gak mungkin sanggup bertarung melawan Malaikat!" tutup Mbah Samiran sambil membenahi alat-alat prakteknya dengan tergesa-gesa. Rayan hanya melongo tak mengerti, tapi dia pun tak mau bertanya mengapa sikap Mbah Samiran sepertinya orang yang sedang ketakutan. Sejatinya Rayan bukan termasuk orang yang percaya pada dunia perdukunan. Namun karena sedang mati langkah, mati gaya dan akal sehatnya sedang terdorong oleh obsesi untuk bisa kembali menaklukan dan menguasai Dhena, maka dengan senang hati dia menerima tawaran seorang untuk menggunakan cara-cara mistis. Berawal dari rasa frustasi dan kesal terhadap perubahan sikap Dhena yang menjadi seekor singa betina yang lapar, Rayan secara diam-diam mencari info tentang seseorang yang dia pikir telah merusak dan mencuci otak Dhena. Rayan yakin, jika sampai saat ini Dhena tidak akan berubah jika tidak ada dalam pengaruh seseorang. Rizal adalah yang pertama dicurigai Rayan. Dia bahkan sampai dua kali bertemu dan ngobrol antar sesama lelaki dari hati ke hati dengan Rizal. Namun ternyata Rayan sama sekali tidak menemukan kecurigaan jika Rizal yang telah mencuci otak Dhena. Rayan tidak juga mencurigai Noviar, karena sejak dulu mereka memang tidak pernah akur. Rayan terus melakukan pencarian. Termasuk mendatangi beberapa guru STM BM dan SMKN 89 yang dia perkirakan sangat dekat dengan Dhena. Namun semua nihil, rekan sejawat Dhena tak ada yang peduli dan tak ada yang berminat mencampuri urusan rumah tangganya. Hingga akhirnya Rayan bertemu dan berdiskusi dengan Bu Rustini. Rayan sudah lama mengenal Bu Rustini, selain sebagai mitra kerja Dhena, dia juga termasuk pelanggan setia di tokonya. Secara pribadi, Rayan tidak menyukai wanita berusia di atas 50 tahun itu. Dia wanita genit, bawel namun dengan kwalitas penampilan dan wajah sangat-sangat di bawah seleranya. Rayan bukan tak tahu kalau Bu Rustini sejak lama naksir dirinya. Ketika keadaan Rayan sudah berbalik dan kepepet, tak ada lagi alasan menolak tawaran Bu Rustini untuk menemui dukun sakti demi mendapatkan kembali kejayaan menguasai Dhena. Apalagi dukun yang ditawarkan Bu Rustini, tidak sulit ditemui. Dia bisa dipanggil ke rumah Bu Rustini dan tidak mematok bayaran alias gratis karena sudah jadi langganan Bu Rustini. Kini sebanarnya Rayan kecewa karena sang dukun ternyata tak bisa diandalkan. Namun dia tidak benar-benar kecewa karena mendapat keuntungan yang lain. Dengan kemapuan berdiplomasinya, Rayan sudah empat kali berhasil menyedot uang dan lendir tubuh Bu Rustini. "Gimana Sayang, masih penasaran, gak?" tanya Bu Rustini pada Rayan ketika Mbah Samiran sudah pulang dari rumahnya. "Hehehe, sama sekali sudah tidak penasaran. Untuk apa mengejar si Dhena, bukankah sekarang sudah punya kamu yang lebih baik dan lebih penyayang?" balas Rayan sambil memeluk pinggang Bu Rustini yang duduk manja dalam pangkuannya. "Hmmm terima kasih ya, Sayang. Kamu memang luar biasa. Lelaki cerdas yang bisa berpikir rasional dan mampu membedakan mana wanita baik-baik dan mana wanita yang hanya memanfaatkan kegantenganmu aja," ucap Bu Rustini sambil mengalungkan kedua tangannya di leher Rayan. "Aku sudah tak sabar untuk menjadi suamimu, Sayang." Rayan mencium lembut wajah Bu Rustini yang sudah mulai sedikit keriput. "Sabar doang, Sayang. Beberapa hari lagi, suamiku akan dibawa anaknya ke Tegal. Akan dirawat di sana. Setelah itu kamu kan bebas untuk tinggal di rumah ini, hehehehe." "Muuuach!' Rayan mencium bibir Bu Rustini yang berguincu merah menyala, "aku tak menyesal kehilangan si Dhena, karena kini telah mendapatkan dirimu, sama-sama guru.SMK, I love Mam." Rayan meremeas b*******a Bu Rustini yang sudah sedikit kendor. "I love you To," balas Bu Rustini seraya melumat mukut Rayan yang sintal dan mendebarkan. Bu Rustini benar-benar seperti sedang hidup di alam mimpi. Sudah sejak lama dia mengagumi dan menyukai Rayan dalam angannya. Sama sekali dia tak pernah menduga jika kini, sudah lebih dari empat kali Bu Rustini merasakan keperkasaan dan kejantanan Rayan di atas ranjang. "Oh iya sayang, aku tadi datang loh ngeliat pernikahannya si Ghina. Ya cuma pengen liat suaminya itu kaya gimana sih orangnya, hehehehe. Ternyata oh ternyata, sudah tua, dan kaya melambai gitu ya. Emang siapa sih lelaki itu?" tanya Bu Rustini setelah puas melumat mulut dan bibir Rayan. "Aku juga tidak terlalu kenal, hanya dapat info dari Ghina aja. Katanya sih OB di kantornya Ghina. Usianya sudah 47 tahun, duda anak tiga, sudah lima tahun ditinggal oleh istrinya." "Tapi kok melambai gitu ya, kaya bencong." "Hehehe, gak usah dibahas. Gak baik ngomongin orang. Masih untung ada yang mau nikahin dia. Yang pentingkan anaknya Ghina jelas statusnya. Tadinya keluarga dia meminta aku untuk menikahinya, malah akan ngasih uang 10 juta. Tapi aku menolaknya karena sudah terlanjur jatuh cinta sama kamu, muuucah." "Oh terima kasih ya, Sayaaaaangku. Aku makin cinta padamu. Oh iya kalau Bu Dhena tahu si Ghina nikah sama orang itu?" "Yang Dhena tahu, Ghina itu menikah denganku, hehehehe." "Kamu memang cerdas sayang. Itu lebih baik biar Bu Dhena tidak curiga dengan hubungan kita, iya kan?" "Iyes, terus rencana kita kapan nih mau buka toko lagi?" "Sabar dong Cinta. Kan aku udah aku bilang, kalau kita sudah resmi menikah, aku akan keluarkan semua tabunganku untuk modal usaha kita. Tunggu suamiku menceraikan aku dulu, oke." "Iya Sayang, aku selalu sabar kok." "Lagian, walau sekarang kamu nganggur, aku masih sanggup kok untuk biaya hidup kita berdua. Aku gak butuh uangmu, tapi aku butuh dirimu dan keperkasaannya." "Sayang, suamimu sudah tidur, belum?" "Sudah dari tadi aku kasih obat tidur, hehehehe. Kenapa?" "Aku pengen kamu sore ini?" "Oooh, gendooong ke kamar kita, aaaah, Udaaaaa I love you..."     ^^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD