Blurb.
Dara terpaksa menikah dengan sepupunya sendiri saat dia tengah mengandung anak dari kekasihnya- Dean. Pernikahan itu sengaja dilakukan demi menyelamatkan harta keluarga. Dara yang saat itu tidak punya pilihan terpaksa menyetujui perjanjian pernikahan yang dibuat oleh ayah kandungnya. Jika Dara menolak maka ayahnya tidak akan segan-segan melenyapkan nyawa Dean. Karena cintanya pada Dean, Dara akhirnya menyetujui permintaan Sang Ayah.
Satu bulan usai pernikahan, Dara menemukan suaminya membawa wanita lain ke rumah mereka. Kehidupan rumah tangga Dara pun berantakan sejak saat itu tetapi dia tidak bisa berbuat banyak. Dara hanya bisa menyaksikan pengkhianatan suaminya dan menerima apa pun yang dilakukan pria itu padanya.
Hingga suatu hari, Dara kembali dipertemukan dengan Dean setelah terpisah lebih dari satu tahun lamanya.
Akankah Dara bertahan dengan suaminya atau kembali ke pelukan Dean?
BAB-1. ABORSI.
SAMBIL menghela napas panjang, Dara mengamati testpack yang kini ia letakkan di atas westafel. Rupanya apa yang ia pikirkan selama ini benar adanya. Lebih dari dua minggu dia tidak mendapatkan tamu bulanan. Awalnya Dara menebak kalau dia terkena stress berat akibat pekerjaan, hubungan asmara, dan juga kehidupan keluarganya. Namun semakin ke sini Dara semakin yakin kalau ketiga faktor tersebut bukanlah alasan dia tidak mendapatkan tamu bulanan. Melainkan ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak mungkin dia lenyapkan hanya dalam hitungan jam.
“Dara…” terdengar suara Dean dari balik daun pintu. “Apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu lama sekali di dalam?”
Dara mengamati wajahnya di depan cermin. Dean. Pria itu telah menjalin hubungan dengannya selama bertahun-tahun. Pria itu juga yang sudah membuatnya seperti ini. Dengan tenang Dara mengambil testpack lalu membawa langkah kakinya keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah cemas Dean. Pria itu menatap matanya lekat-lekat, seolah takut jika berkedip sekali saja maka Dara akan lenyap dari muka bumi.
“Ada apa?”
Tanpa menjawab pertanyaan kekasihnya, Dara mengulurkan tangan. Memberikan testpack pada Dean.
Kening Dean mengerut dalam. Ia menerima bendu dari tangan Dara kemudian mengamatinya dengan seksama. “Apa ini?”
“Alat tes kehamilan. Perlu kujelaskan juga bagaimana membacanya?”
Dean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Kenapa melakukan test kehamilan?”
“Karena terlambat datang bulan sekitar dua minggu lamanya. Hasilnya positif. Satu-satunya yang bertanggung jawab atas semua ini adalah kamu.” Jelas Dara singkat. Ia berjalan melewati kekasihnya lalu mengambil duduk di sofa ruang tamu. Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, ia pulang ke rumah Dean setelah seharian bekerja.
Tak berapa lama kemudian Dean menyusul. Pria itu tampak biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. “Jadi?”
“Jadi?” ulang Dara sembari mengerutkan kening dalam. “Itukah yang bisa kamu katakan? Hanya itu?”
“Jika aku boleh jujur,” Dean mengamati Dara dengan seksama. “aku senang dengan kehamilanmu, Sayang. Kamu tahu bagaimana perasaanku padamu. Kecuali kamu berniat membuang anak kita.”
Aborsi. Dara memejamkan mata rapat-rapat. Kembali teringat dengan beberapa kasus yang dialami rekan-rekannya. Karena tinggal di kota besar, Dara terbiasa melihat secara langsung atau hanya sekedar mendengar orang-orang di sekitarnya melakukan aborsi. Awalnya mungkin hal itu cukup mengganggunya tetapi lama kelamaan dia cukup bisa menerima apa yang mereka sebut aborsi. Dara seringkali bertanya-tanya bagaimana perasaan para wanita itu setelah tindakan yang secara tidak langsung bisa disebut sebagai pembunuhan?
“Aku tidak mau kamu melakukan hal keji itu. Aku tidak mungkin tega membuang anak yang tidak berdosa ini. Lagipula aku siap bertanggung jawab atas anak itu. Dan kamu tentu saja. Selama ini aku sudah berjuang cukup keras untuk hubungan kita.”
“Tunggu,” Dara menatap curiga pada kekasihnya. “Kamu sengaja melakukannya?” pandangannya tidak beralih sedetik pun dari pria yang selama ini dia percaya. “Menghamiliku?”
Dean memutar bola matanya. “Tidak. Aku tidak pernah sengaja melakukannya. Kita sudah dewasa, Dara. Aku tahu apa yang aku lakukan. Selalu ada persiapan setiap kali kita berhubungan. Kecuali saat-saat tertentu saat kita sama-sama berada di bawah alam sadar. Lagipula, seharusnya kamu tidak terlalu khawatir dengan kehamilanmu. Aku akan bertanggung jawab atas anak kita.”
Dara menghela napas sekali. “Aku tahu. Aku tahu kamu tidak akan lari dari tanggung jawab. Hanya saja hubungan kita tidak semudah itu. Kamu tahu ada batasan yang tidak bisa kita tembus hanya karena aku sedang mengandung anakmu. Jika ayahku mengetahui tentang kehamilanku, dia akan tetap pada pendiriannya. Dia mungkin akan menyuruhku melakukan aborsi.”
Cih!
Dean memalingkan wajahnya. Pria itu terlihat muak saat Dara menyebutkan laki-laki yang sudah menjadi ayah biologisnya selama ini. Dara tahu bagaimana perasaan Dean. Dia sudah melakukan banyak hal untuk hubungan mereka tetapi keluarganya tak pernah sekalipun mau memberi Dean kesempatan hanya karena mereka berada di kasta yang berbeda. Dean langkah gontai, Dara menghampiri Dean. Ia berhenti tepat di depan pria itu lalu memeluk kekasihnya. “Maafkan aku.”
Awalnya Dean sama sekali tidak bereaksi. Pria itu hanya terdiam kaku di tempatnya. Namun saat Dara mengeratkan pelukan mereka, Dean membalas pelukan kekasihnya. “Aku juga minta maaf. Seharusnya aku bekerja lebih keras untuk menggapai bintang sepertimu. Jarak bumi dan bintang masih terlalu jauh, bukan?”
Senyum Dara merekah indah. Ia mendongak agar bisa melihat wajah Dean. “Tidak ada bintang di sini. Yang ada hanya aku dan kamu. Kita berdua.”
“Bertiga.” Dean mencium kening Dara lembut. “Aku, kamu, dan anak kita.”
Meski berat, Dara merasa dia bahagia dengan kehamilannya. Di titik ini Dara seolah tidak membutuhkan siapa-siapa lagi selain Dean dan anak mereka. Dia sama sekali tidak peduli dengan ayahnya atau bahkan keluarganya yang lain. Sudah saatnya Dara hidup dengan jalannya sendiri. Sudah saatnya dia berjalan dengan takdirnya sendiri. Dan sudah saatnya pula Dara menentukan apa yang dia inginkan dan apa yang tidak dia inginkan.
“Kita harus pergi ke dokter untuk memeriksa kandungamu.” Dean mengurai pelukan mereka. Ia memegang tangan Dara erat-erat, menuntut gadis itu untuk duduk di sofa. “Aku ingin tahu perkembangan anak kita.”
Wajah Dara merona karena malu. Kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata mendadak memenuhi dadanya. “Ngomong-ngomong, apa kamu sudah siap menjadi seorang ayah?”
Dean mengangguk mantap. “Lebih dari siap! Jangan khawatir, Sayang. Aku akan menjadi sosok ayah yang baik untuk anak ini.”
“Kalau begitu, aku juga harus menjadi sosok ibu yang baik. Apa aku bisa melakukanny?”
“Aku yakin kamu pasti bisa!”
“Uh-oh, manis sekali!” Dara menyandarkan kepalanya di bahu Dean. “Aku sudah memutuskan.”
Kening Dean mengerut dalam saat mendengar ucapan Dara. “Memutuskan? Memutuskan apa? Apakah itu menyangkut hubungan kita? Apa kamu berniat meninggalkanku? Atau melakukan aborsi?”
Dara menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak. Sama sekali tidak.” Bibirnya terangkat hingga membentuk sebuah senyum simpul. “Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi mengikuti kata-kata ayahku. Mulai sekarang, aku akan memilih jalanku sendiri. Selama ini, kamu sudah cukup banyak terluka karena ayahku. Sekarang lah saatnya aku berkorban untuk kita. Jika aku dicoret dari kartu keluargaku, maukah kamu menampungku? Atau kamu akan membiarkanku menjadi gelandangan?”
Saat menilik wajah Dean, Dara tidak menemukan ekspresi apa pun di sana. Tiba-tiba rasa sakit menyeruak di dalam dadanya. Mungkinkah yang selama ini ayahnya katakan benar? Bahwa Dean hanya memanfaatkan dirinya serta harta keluarganya? Atau-
“Aku tidak akan membiarkanmu menjadi gelandangan, Sayang. Dan tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”
Dara menghela napas lega. Saat ia hendak membuka mulut, tiba-tiba ponselnya berdering nyaring. Ia melihat identitas si pemanggil. Yang tak lain ayahnya sendiri.
Akahkah kali ini Sang ayah mengacaukan rencananya lagi?