bc

The Black Pearl

book_age16+
655
FOLLOW
2.2K
READ
spy/agent
possessive
goodgirl
drama
comedy
sweet
bxg
realistic earth
coming of age
first love
like
intro-logo
Blurb

Dia lebih banyak diam dari pada bersuara, dan aku suka itu karena aku setuju dengan pribahasa 'tong kosong nyaring bunyinya'.

Dia selalu cekatan, tahu apa yang harus dilakukan, aku suka itu.

Dia, si pria yang selalu memakai baju hitam kapan pun dan di manapun.

Dia, yang membuat aku harus menyelam ke dasar laut hanya untuk mendapatkannya.

Dia, mutiara hitamku.

Cover made in Canva:

Picture: keyword SEA and PEARL

Font: Big Shoulders Display, Nickainley, dan Ananias

chap-preview
Free preview
Satu
Jantungku berhenti sejenak ketika mendengar ketukan palu sebanyak tiga kali dari hakim ketua. Hasil sidang diputuskan, Bang Satrio... orang yang sudah kukenal dari umurku 18 tahun, kini harus mendekam di penjara seumur hidup. Harusnya ia tidak mendapat hukuman seperti itu. Ia membunuh untuk menyelamatkan banyak jiwa. Tapi... sialnya orang-orang tak memahaminya. Bang Satrio langsung dibawa oleh petugas, meninggalkan ruang sidang dan kami semua yang ada di dalamnya. Aku pun beranjak dari dudukku, keluar dari ruangan ini dan pergi menjauh. "Ke mana Mas Bran?" Tanya pak Giyanto, supir yang biasa mengantarku ke sana-sini. "Ke Bang Satrio deh, Pak." "Tadi saya nanya mas, katanya kalo hari pertama belum bisa dijenguk." "Hemm yaudah kalo gitu, pulang aja." "Ke rumah item apa putih, Mas?" "Item aja, Pak. Putih kan rumah pribadinya Bang Satrio, gak enak pulang ke sana kalo yang punya rumah gak ada." Kataku, dan mobil pun perlahan bergerak meninggalkan parkiran. Membelah jalanan kota, mobil ini melaju dengan kecepatan standar, aku sendiri duduk memandangi deretan tanaman hijau yang menyejukan jalanan. Dalam hati, aku tak menyangka Bang Satrio harus dipenjara. Padahal aku sudah menyiapkan pengacara kelas atas untuk membelanya, eh tapi ia malah menolak pengacara pribadi. Bosku itu memang selalu aneh. Mobil berhenti, kami sampai di rumah yang dijadikan markas oleh Bang Satrio. Turun dari mobil, aku langsung mengarah ke kamar yang kumiliki di rumah ini. "Mas Bran?" Aku menoleh ketika Bu Idah, salah satu asisten di rumah ini menyerukan namaku. "Iya, Bu?" "Bang Satrio gak pulang ya?" Tanyanya penuh harap. Aku menggeleng sedih. Aku tahu betul, bukan cuma aku yang kecewa dengan hasil putusan sidang. Orang-orang yang dekat dengan Bang Satrio pasti merasakan kehilangan juga. "Engga Bu, tapi nanti saya usahakan biar Bang Satrio bisa keluar ya?" "Makasi mas Bran." ucap bu Idah sambil memegang tanganku sebentar lalu pamit ke belakang. Aku lanjut ke lantai dua, tempat di mana kamarku berada. Begitu masuk, aku langsung menguncinya dan menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Mengambil ponsel dari saku celana, kulihat banyak sekali notifikasi ucapan berduka dari beberapa orang yang kukenal, juga dari beberapa orang kenalannya Bang Satrio. Enggan membalas itu semua, aku mematikan ponsel dan memejamkan mata. Masih sedikit berharap kalau ini semua khayalan dan pagi esok aku terbangun lalu keadaan kembali normal. Yeah, I wish! **** Pagi ini, ketika aku turun hendak sarapan, mataku tersita oleh tv yang menyala menampilkan berita soal pembunuhan yang dilakukan Bang Satrio. Aku marah melihat bagaimana media membuat bosku itu seolah-olah menjadi seorang psikopat yang dengan senang hati mengambil nyawa orang. Padahal kejadian aslinya tidak seperti itu. Aku tahu semuanya! Damn! Harusnya aku menjadi saksi di pengadilan tapi sayangnya Bang Satrio melarangku, ia tidak ingin aku terlibat apapun kali ini. Mengambil remote, ku matikan siaran TV tersebut lalu beranjak ke ruang makan. Ada Bu Idah di sana. "Sepi Bu tumben? Yang lain mana?" Tanyaku, yeah biasanya rumah ini ramai oleh beberapa orang sepertiku, orang yang bekerja dengan Bang Satrio. "Pada pulang, Mas. Dapet izin kok dari Bang Satrio." Aku mengangguk. Yeah, beberapa dari mereka ada yang sudah berkeluarga dan masih memiliki keluarga, tidak sepertiku, jadi wajar saja kalau mereka semua pulang. Menghabiskan sarapanku sendiri, aku menyalakan kembali ponselku, kali ini membalas pesan dan email penting yang menyangkut pekerjaaan. Dengan perginya Bang Satrio ke penjara, ada posisi kosong yang sangat rawan untuk semua bisnis bosku ini. Tuhan. Aku harus bertindak. Selesai sarapan, aku kembali ke kamar untuk mandi dan mempersiapkan diri. Tak butuh waktu lama aku langsung menyetir sendiri ke lapas tempat Bang Satrio di tahan. Yeah, aku harus nyetir sendiri, Pak Giyanto masuk ke barisan yang libur ternyata. "Izin menjenguk Satrio Pamungkas." kataku kepada petugas yang sedang berjaga. Setelah mengisi data diri dan lain sebagainya, aku dipersilahkan masuk. Baru sehari tak bertemu, Bang Satrio terlihat berantakan, entah apa yang dilakukan napi lain sampai wajahnya terlihat memar seperti itu. "Bang?" "Diem, kita perlu bahas yang lebih penting dari muka ancur gue." Ucapnya santai. "Bahas apa?" "Minta pengacara gue bikin surat kuasa, pelimpahan semua tanggung jawab perusahaan jadi atas nama lo, oke? Mulai sekarang lo yang handle semua, semua tanpa terkecuali. Gue percaya sama lo." "Ah gila, Bang. Kenapa gue? Kenapa gak bapaknya Abang aja?" "Eh monyong, gak ada hubungannya bisnis gue sama dia, lo tau gue bangun semuanya sendiri, dan lo ada di sana ketika gue merintis. Siapa lagi yang gue bisa percaya kalo gak lo, Bran?" "Bang?" "Jangan cengeng apalagi sampe merajuk lo, udah panggil pengacara gue, biar bisa cepet bikin dan tanda tangan. Sekalian bawa kamera, gue mau bikin video pernyataan kalo lo yang gantiin gue, biar kalo ada yang gak percaya bisa lo tunjukin, atau suruh mereka ke sini." "Bang? Kenapa gak mau bebas sih? Atau hukumannya diringankan gitu?" Tanyaku. "Gue harus tanggung jawab sama perbuatan gue. Bunuh 5 nyawa itu gak main-main, Bran. Gue mau orang-orang yang kerja sama gue liat setanggungjawab apa gue sama tindakan yang gue ambil." Pasrah, aku hanya mengangguk. "Dah sana, kalo bisa hari ini kelar, artinya hari ini lo harus bolak-balik." "Iya bang, siap." Kataku. Meninggalkan penjara, aku langsung mengunjungi gedung sebuah Law Firm terkenal di negara ini, mendatangi seorang pengacara yang sudah ditunjuk sebagai pengacara pribadi Bang Satrio. Kuutarakan semua yang Bang Satrio minta. Pak Andreas mengerti yang kumaksud dan tanpa berlama-lama ia membuatkan dokumen sesuai dengan yang diminta Bang Satrio. Kami kembali ke penjara secara terpisah, aku menyetir sendiri, Pak Andreas dengan supir pribadinya. "Bang, seriusan ini?" Tanyaku saat Bang Satrio dengan enteng menandatangani surat kuasa tersebut. "Yeah, gimana lagi? Gue di sini, lo bebas di luar sana, jadi ya harus lo, Bran." Aku mengangguk. Pak Andreas mengurus segala sisanya, sedangkan aku masih tak percaya diberi tanggung jawab sebesar ini. "Semua gue serahin ke lo, semua. Dan lo gak perlu konsultasi sama gue, gue percaya sama semua keputusan lo, dan lo gak boleh membatalkan apa saja yang sudah gue putuskan dan itu ada di kontrak." "Yaudah iya Bang." Kataku pasrah. "Throw a party, get laid, seneng-seneng gih lo hari ini sebelum besok klenger ngerjain semuanya." "Oke makasi, gue mau tidur seharian aja Bang." Kataku sambil nyengir. "You'll always be my little bro, Bran. You knew it, we can rely on each other, right?" "Always." Sahutku. "Yaudah sana, lo gak usah jenguk gue tiap hari ya? Jijik! Dan.. Gue juga gak mau lo ikut-ikutan busuk di penjara bareng gue." "Gue janji, lo gak bakal lama di dalem sini." Kataku. "Kan lo tau kalau lo gak bisa ngubah keputusan gue!" "Yaudah liat aja nanti! Bye!" Aku bangkit, meninggalkan Bang Satrio, menuju ruangan orang yang berwenang di tempat ini. "Pak Bran! Ada yang bisa saya bantu Pak?" Tanya Pak Yoga. Ia mempersilahkan aku duduk dengan tangannya. "Di sini Pak Yoga punya sel khusus? Mungkin terpisah dari yang lain, saya gak mau bos saya tiap malam menghabiskan waktu dengan dihajar oleh napi lain." "Emmm, kalau itu ada, tapi--" "Berapa?" Tanyaku tanpa basa-basi, dan Pak Yoga langsung tersenyum. Ia mengambil kertas, lalu menuliskan sejumlah nominal. "Okee, saya harus transfer ke mana?" Lagi-lagi pak Yoga tidak berbicara, ia menuliskan kumpulan angka yang lalu diserahkan padaku. "Malam ini juga saya bayar, dan saya mau Bang Satrio lukanya diobati. Kalau saya ke sini dan melihat luka baru, saya akan bikin perhitungan sama Pak Yoga!" "Baik Pak Bran, saya mengerti." Aku mengangguk, meremas kertas ditanganku lalu keluar. Good, kalau aku gak bisa bikin Bang Satrio bebas, setidaknya aku bisa bikin dia nyaman di dalam penjara. Satu kerjaan selesai, a billion to go! ***** TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Crazy Maid ( INDONESIA )

read
206.7K
bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
454.3K
bc

MY ASSISTANT, MY ENEMY (INDONESIA)

read
2.5M
bc

Om Tampan Mencari Cinta

read
397.4K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.2K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook