BAB 1

1992 Words
"God sent someone in your life for a reason . To learn from him or to live with him." ***** Edel POV Aroma hujan yang menenangkan memasuki rongga hidungku. Meresap ke dalam pikiranku. Menghilangkan semua penat yang aku rasakan.  Rasanya seperti baru terbebas dari kegelapan dan bisa berkeliling dunia sesukaku. Aku telah jatuh cinta pada hujan. Temanku disaat aku membutuhkan tempat bicara. Dengannya aku bisa menumpahkan seluruh isi hatiku. Tentu saja tidak bisa aku berbicara dengan hujan, yang aku lakukan hanyalah menengadahkan tangan membiarkan aliran hujan yang dingin merasuk ke tulangku. Rileks dan fresh setiap hal itu aku lakukan. Kalau saja aku tidak mendapat giliran piket untuk membersihkan kelas drama, pasti aku tidak akan terjebak di sekolah dalam kondisi hujan begini. Lagipula kalau bukan aku yang merapikan, besok bisa-bisa kelas drama akan ditutup. Sebuah payung berwarna biru, warna kesukaanku selama beberapa tahun ini mendadak menghalangi tanganku dari percikan hujan. Tanpa melihat siapa pelakunya, aku hanya menyingkirkan payung itu agar air hujan bisa menyentuh kulitku lagi. Banyak orang berlalu lalang melewatiku, tapi tak menghentikan kegiatanku saat ini. Rutinitas yang selalu kulakukan saat hujan turun. Ku mohon hujan, teruslah begini karena aku masih membutuhkanmu. Lagi-lagi payung biru itu menghalangiku untuk terus berinteraksi dengan hujan. Kegiatanku harus terhenti karena sebuah suara yang tiba-tiba muncul di sampingku. "Nunggu jemputan?" Seorang kakak kelas tiba-tiba berbicara dari arah samping kiri tubuhku. Aku simpulkan dia kakak kelas karena badge kelas yang terpasang di lengan kanannya. "Iya," jawabku sekenanya. Lagipula dia sok arab untuk seorang yang tak dikenalnya. Suasana kembali seperti sebelumnya. Hanya gemercik air hujan yang saling berbicara mengusir sunyi yang mendominasi di sini. Kini semua siswa sudah pulang, menyisakanku dengan kakak kelas yang tidak ku tahu namanya. "Pulang bareng yuk, gue bawa mobil. Tapi buat keparkiran kita harus jalan," Benar dia memang sok kenal dan sok dekat. "Dengan satu payung?" "Iya, gue pastiin nggak akan basah kok." Edel POV End Dengan perasaan ragu dan curiga, Edel tidak beranjak dari tempatnya. Nama gadis itu Edelwiss, gadis yang sangat menekankan kedisiplinan dalam hidupnya. Kini tengah diserang rasa bimbang, ia sudah terlanjur minta dijemput dan sekarang ada seorang kakak kelas yang tiba-tiba datang dan mengajaknya pulang bersama. Lidahnya ingin menolak, tetapi kata itu tidak bisa terluncur dari mulutnya. Sebenarnya mudah, namun kali ini terasa sulit menolak ajakan kakak kelas yang baru dikenalnya itu. "Sebentar kak, gue telepon orang rumah biar nggak jadi jemput ke sini. Kasihan hujan." Edel merutuki dirinya, mengapa bisa dia menyetujui permintaan itu? "Oke. Tapi mau kan pulang bareng gue? Gue nggak apa-apain lo kok, santai aja wajah lo, nggak usah tegang gitu." Edel hanya mengangguk sebagai jawaban bahwa dia setuju pulang dengan kakak kelas itu. Tangannya sibuk mengetikkan nomor di ponsel bercasing biru itu. "Bentar ya." Kakak kelas itu sibuk mengambil sesuatu di tasnya, "gue nggak yakin kalau kita hanya pakai payung ini lo nggak basah." "Jadi?" Edel memandang dengan alis berkerut. "Pake jaket gue aja ya. Nggak bau kok tenang aja." Edel masih memandangnya tanpa minat untuk mengambil yang membuat kakak kelas itu memakaikan jaket miliknya untuk Edel. Tanpa aba-aba ia langsung saja menarik Edel keluar dari koridor untuk mengambil mobilnya. Hawa dingin langsung menyeruak ke seluruh tubuh Edel. Ia saja yang memakai jaket kedinginan apa lagi orang disampingnya ini. Sambil terus berjalan, Edel melihat wajah kakak kelas yang baru saja menolongnya. Wajahnya pucat tanda kedinginan. "Kak jaketnya buat lo aja." Tatapan Edel was-was. "Eh kenapa? Pakai lo aja, gue tahan kok," jawabnya meyakinkan. "Muka lo nggak bisa bohong." Edel berhenti dan melepaskan jaket itu. Baru saja ingin mengembalikan jaket itu kepada empunya, kakak kelas itu tiba-tiba melepaskan payung yang melindungi mereka dari hujan dan langsung saja mereka berdua basah kuyup. "Kalau tau gini gue nggak mau pulang bareng lo!" ketus Edel. Gadis itu menahan kesal setengah mati.  Rasanya darahnya sudah mendidih sekarang. Edel terus berjalan dan tidak mendengarkan permintaan maaf dari kakak kelas yang membuat mood  nya buruk itu. Biarkan saja, lagipula memang salah dia membuat Edel basah. Nanti kalau sakit atau dimarahi mamanya, Edel harus bagaimana? Mana mungkin dia menyalahkan orang yang baru saja dikenalnya. Yang ada bukan percaya, mamanya malah menyalahkan Edel atas kebodohannya. Memangnya anak mereka siapa? Kadang memikirkan itu membuat Edel ingin mengasingkan diri jauh ke tengah salju seperti Elsa saja. Karena terlalu lama ber-ekspetasi, Edel sampai tidak tahu kemana perginya hujan yang membuatnya basah tadi. Tepat saat Edel mendongak sebuah payung biru yang tadi dibuang kakak kelas itu kembali menaunginya dari air hujan. Apa itu berguna? Lebih baik tidak usah memakai payung dan terus bermain hujan seperti ini bukan? "Eh kak lo itu labil banget sih, tadi lo buang payungnya, sekarang lo ambil lagi. Dasar kakak kelas labil!" "Hehe iya juga sih," katanya sambil menggaruk belakang kepalanya. Ditengah perjalanan pulang ke rumah, terjadi keheningan yang membuat suasana menjadi kaku. Udara di luar yang baru saja diguyur hujan menambah nuansa canggung diantara Edel dan Elang, kakak kelas itu. Hanya suara musik yang mengalun sangat pas dengan situasi ini. Tanpa mereka sadari, masing-masing telah terhanyut dalam musik itu. Menyanyikan lagu itu di dalam diri mereka tanpa ada satupun yang berani bersuara. Begitupun Elang, cowok yang biasanya petakilan, urakan, sekarang hanya bisa diam dan bingung mau berkata apa. Elang tipe orang yang tidak bisa diam walau hanya sedetik dan selalu saja punya alasan untuk tangan dan mulutnya terus bergerak, tetapi kali ini di depan seorang cewek yang notabenya adik kelasnya sendiri mendadak bungkam. Lama-kelamaan hawa di dalam mobil semakin dingin karena baju mereka masih dalam keadaan basah sehabis mandi hujan tadi.  Benar saja, baru beberapa menit di mobil diam tidak melakukan apa-apa mulut Elang sudah gatal ingin bicara. "Gue Elang Zeay. Biasanya gue dipanggil Elang." Tangan kanan Elang terulur ke arah Edel dengan susah payah karena dalam kondisi menyetir mobil. Paras tampannya terpapar lampu jalan. Hidung mancung dan mata cokelat itu mampu menghipnotis siapa saja. "Edelwiss." "Delia, gue panggil Delia aja." "Nama gue Edel, bukan Delia, nggak nyambung." "Ya gue sambungin lah, terserah gue kan manggilnya, yang penting gue suka," keukeuh Elang. Sekarang tangan Elang sudah menyentuh sempurna tangan Edel yang terasa sangat dingin sedingin es.Tubuh Edel mematung seketika merasakan tangan Elang yang begitu hangat meyalurkan energi ke tangan dinginnya. Mata Elang yang refleks melihat ke arah jalanan tiba-tiba tertuju pada seseorang yang menyebrang dengan sembarangan dan hampir saja mobil yang mereka kendarai menabraknya. Badan Edel terhuyung dengan keras ke depan dan hampir saja kepalanya menyentuh dashboard mobil. Untung saja dia tadi sempat memasang sealt belt sehingga kepalanya terselamatkan. "Tadi itu apa?" Edel panik karena Elang yang tanpa disangka mengerem mendadak. "Nggak tau tuh, pejalan kaki kali," jawab Elang dengan enteng tanpa melihat ekspresi terkejutnya Edel saat ini. "Hati-hati dong! Gue takut," Edel berucap dengan nada lirih. "Maaf, tadi gue nggak fokus. Soalnya fokus gue ke lo," kata Elang sambil mengedipkan sebelah matanya. "Dasar lo! Jangan liat gue! Gue bukan jalan! Jalannya di depan!" Lagi-lagi Elang mengedipkan mata. Tatapan matanya yang tajam seperti Elang semakin membuat dia pantas menyandang gelar 'Casanova' SMA MERAH PUTIH. "Lama-lama gue pites satu-satu mata lo!" Edel mempraktikan betapa sadisnya dia ingin mencongkel mata Elang. "Gue jadi takut sama lo," kekehnya. "Gak peduli!" Edel mengalihkan perhatiannya keluar jendela. Mengamati tetesan air hujan yang masih tersisa di kaca jendela mobil Elang. Satu persatu tetesan itu turun tanpa mendapat perintah. Menempatkan dirinya seakan setiap bulir bisa bicara sehingga tidak ada yang saling menjatuhkan. "Gue turun di depan perumahan PURI INDAH aja." "Di depan rumah lo aja ya?" tawar Elang yang sukses membuat mata Edel membulat. "Nggak ... nggak perlu!" Elang mengangkat bahu. "Terserah lo sih." Tidak sampai 10 menit mereka sampai di tempat yang Edel bicarakan tadi. Tiba-tiba Elang berubah pikiran dan khawatir melihat betapa sepinya kawasan itu. "Apa lo yakin jalan kaki sendiri sampai ke rumah? Sepi banget di sini, Ntar kalau ada yang culik lo gimana? Terus kalau ada ..." Elang memandang sekitar dengan wajah takut yang dibuat-buat, "kalau ada setan dan kawan-kawannya gimana?" lanjutnya setengah berbisik. Baru kali ini seumur hidupnya, selama Edel bertemu dengan seorang cowok ,belum ada yang se-cerewet, se-rempong dan se-lebay Elang. "Yang harus lewat sini siapa?" tanya Edel seperti sedang membantu anak TK memecahkan teka-teki silang dari gurunya. "Delia," jawab Elang dengan muka polos. "Jadi kenapa harus lo sih yang rempong! Gue aja santai gini." "Ya ... kan gue nggak mau apa-apa terjadi sama lo," kata Elang dengan serius. "Terus lo mau ngikut gue sampai rumah? Sembunyi di belakang gue gitu? Ga usah, makasih!" "Gue sebagai seorang cowok sejati harus bisa melindungi cewek yang sedang butuh bantuan." "Udah cukup bantuannya, makasih banyak. Lagian kita juga baru kenal, BARU AJA. Jadi bisa kan kita stop semuanya sampai di sini aja?" Edel sudah pergi meninggalkan Elang yang sudah seperti ibu-ibu kompleks yang rempong. "Hati-hati! Kalau ada apa-apa panggil gue. Pasti gue langsung dateng!" Teriak Elang yang masih bisa didengar jelas Edel. 'Tapi sayangnya gue nggak percaya,' kata Edel dalam hati. ***** Seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Setiap hari selalu seperti sekarang ini, saat mereka sedang makan malam bersama. Hanya keheningan yang terasa. Edel hidup di tengah keluarga yang disiplin dan sibuk. Mungkin karena kesibukan itulah Edel jarang bertemu orang tuanya. Tanpa ada sepatah katap un sebelum mereka selesai makan, peraturan itu wajib untuk orang yang makan dan tinggal di sini. Papa Edel adalah seorang yang mempunyai bintang tiga di pundaknya, sangat menjunjung tinggi peraturan, masih setia menemani mereka diusianya yang tidak terbilang muda lagi. Kakaknya Revan telah berhasil menjalankan perusahaannya sendiri dan sebentar lagi akan menikah dengan wanita pilihannya. Bibit, bebet, bobot menjadi pandangan pertama keluarga mereka. Walau sebenarnya kedua anak itu tidak mempermasalahkannya, asalkan mereka suka orang itu pun sudah cukup. Suara dari dentingan sendok dan garpu yang saling beradu untuk membelah makanan yang akan dimakan, sedikit memberikan hiburan sampai acara makan ini selesai. "Papa mau bicara sama kalian berdua." Arya menyudahi makannya. Kedua anak laki-laki dan perempuan itu hanya mengangguk. Mempersilahkan sang ayah untuk melanjutkan bicaranya. "Revan, Papa mau menanyakan bagaimana hubungan kamu dengan Yuna?" "Baik Pa. Kita sudah mempersiapkan acara pernikahan." "Jaga baik-baik nama keluarga kita kalau kamu sudah menjadi menantu mereka. Apa yang selama ini Papa dan Mama ajarkan harus kamu ingat!" "Revan ingat Pa." Edel mendengarkan perbincangan dengan topik yang sama itu, apa mungkin nanti jika dia menikah papanya akan begitu juga? Edel tidak tahu. Arya, papa mereka beralih menatap anak bungsunya. "Bagaimana dengan sekolah kamu Del?" Glek. Edel segera mengambil gelas dan segera menuangkan air untuk dia minum. "Lancar kok Pa." "Apa tidak ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" tanya Arya menyelidik. Air yang Edel minum tadi terasa ingin keluar lagi, ada sesuatu yang rasanya ingin membuat Edel terbatuk saat ini. "Nggak ada yang Edel sembunyikan," jawab Edel hati-hati. "Tapi kenapa muka kamu seperti itu? Merah." Benarkah? Edel sendiri tidak tahu itu. "Mungkin gara-gara tadi hampir tersedak makanan Pa." "Sudahlah Pa, kau tidak perlu mengintogerasi anak-anakmu seperti para tersangka, mereka sekarang sudah besar dan bisa mengatur diri mereka sendiri. Biarkan mereka mandiri." "Kamu Ma, selalu saja membiarkan mereka seperti ini." Makan malam kali ini membuat Edel meringis mendengar kalimat paling akhir yang ducapkan papa untuk dirinya 'kenapa muka kamu seperti itu? Merah'. Hal apa yang membuat muka putih bersihnya menjadi bersemu merah? ***** Kembali ke rutinitas setiap hari, belajar. Salah satu hal yang wajib ada dalam read listnya dan tidak boleh satu hari pun terlewatkan. Tak heran kemampuan berpikir Edel di atas rata-rata. Edel harus menyelesaikan beberapa laporan hasil observasinya kemarin bersama OSIS. Sebenarnya Edel tidak berniat untuk menjadi MPK, tetapi semua teman kelasnya terlebih dahulu mengajukan namanya. Membolak-balikkan buku tanpa membacanya, cuma sekadar melihat halaman dari awal ampai akhir dan selesai. Moodnya untuk belajar menguap begitu saja dibawa angin malam. Edel berjalan menuju balkon kamarnya yang langsung menghadap ke arah taman kompleks. Tepat di depan rumahnya ada sebuah taman kecil kompleks, fungsinya hanya digunakan sebagai tempat bermain anak kecil dan remaja seusianya. Ayunan yang berada di pinggir taman dan kolam ikan kecil di tengah taman itu semakin membuat kesan sederhana tapi mewah terpapar setiap kali Edel memandangnya. Garis melengkung tercetak jelas di bibirya, Edel mengingat masa dimana ia masih kecil dan bermain bersama teman-temannya. Lari sana sini, terjatuh lalu menangis dan tertawa kembali membuat Edel ingin menjadi kecil lagi tanpa kerumitan hidup yang harus ia temui. Bayangan dirinya dan keluarganya tiba-tiba muncul di sana. Raut kegembiraan terlihat jelas dari setiap anggota keluarga itu. Kakaknya yang suka jahil terhadap Edel membuat mamanya harus mencubit lembut Revan. Tapi itu semua hanya dulu, kini semua orang berubah menjadi dingin dan tidak peduli. "Aku kangen Mama, Papa, dan Kak Revan yang dulu." Karena udara yang terasa semakin dingin dan matanya yang hanya tinggal 5 watt mau tidak mau Edel harus mengakhiri penjelajahan ke masa kecilnya. Pintu balkonnya ia tutup dan korden ia tarik untuk menutupi pintu kaca di kamar. Tidak menunggu lama Edel sudah tertidur pulas terbawa alam mimpi dengan memeluk boneka doraemon kesayangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD