bc

Husband's Secret

book_age18+
288
FOLLOW
1.1K
READ
sex
playboy
brave
police
single mother
mystery
city
cheating
first love
crime
like
intro-logo
Blurb

SEXY ROMANCE 21+++

Tessa Wagner yang merencanakan liburan bersama sang suami Darek Wagner harus berakhir dengan sebuah kecelakaan saat keduanya melakukan paralayang di udara pegunungan Alpen. Menyisakan paradut yang sobek tanpa jasad. Darek menghilang tanpa jejak meski pencarian telah diperluas dan waktu diperpanjang.

Tessa yang tenggelam dalam rasa bersalah akan keputusannya, serta terjangan keluarga Wagner yang menyalahkan Tessa akan tragedi yang menimpa Darek. Sang kakak ipar yang terus menyerang Tessa dengan tuduhan yang ingin mengusai harta Darek. Polis asuransi atas kematian Darek yang berjumlah jutaan Dollar yang tiba-tiba menghilang dari rekening Tessa kian membuat tuduhan menjurus pada Tessa.

Benarkah Darek tewas dalam kecelakaan paralayang? Siapa dalang di balik leyapnya uang jutaan Dollar dari polis kematian Darek Wagner?

chap-preview
Free preview
Chapter : 1
  Tessa, wanita muda yang dibesarkan di sebuah panti asuhan di pinggiran Roma, Italia. Wanita muda, cerdas, dan cantik serta bertubuh mungil. Ia telah mengenakan payama dan bersiap untuk merebahkan tubuh lelahnya usai semua pekerjaan selesai dirinya kerjakan. Tessa membaringkan tubuh lelahnya dan bersiap untuk menarik selimut hingga ke batas pinggang. Menatap langit-langit kamar sambil menghitung jumlah bintang yang ada di dalam kepalanya.   Malam yang telah bergerak menuju ke pergantian hari. Bunyi suara hewan pengerat berdut dengan bunyi jangkrik memecah keheningan. Malam yang menghentak bagi Tessa dan juga penghuni panti lainnya. Terdengar keributan yang tiba-tiba memecah kedamaian dan Tessa mengurungkan niat untuk segera tidur. Tessa terhenyak dari tempat tidur dan langsung bergegas menuju pintu, menarik kenop dan menarik pintu hingga terbuka lebar. “Ada apa, Tess?” tanya Lordes yang ikut beranjak dari tempat tidur dengan sempoyongan. Tampilan Lordes yang acak-acakan menandakan jika gadis belia yang usianya satu tahun di atas usia Tessa telah sempat memejamkan matanya. Tak hanya Tessa dan Lordes, ada beberapa penghuni panti lainnya yang juga telah terjaga. “Aku tidak tahu apa yang terjadi. Sebaiknya kita turun sekarang.” Tessa mengajak Lordes dan beberapa penghuni panti yang masih terjaga untuk keluar dari kamar dan mencari tahu apa yang terjadi. Menghidupkan beberapa lampu yang terpasang di dinding. Lima penghuni panti ikut bersama Tessa menuruni anak tangga dan suara keributan yang terdengar kian kencang. “Kalian harus mengosongkan tempat ini segera.” “Lantas kami akan tinggal di mana?” tanya Maria Marine. Akhir-akhir ini rumah mereka sering didatangi oleh pria-pria berbadan besar atau pria dengan memakai jas seperti tamu Marine sekarang. Dan mereka juga tidak mengenal waktu untuk bertamu dengan sikap yang sopan. Mereka cenderung bersikap arogan dan juga tidak memliki sopan santun. “Apa yang sesungguhnya terjadi?” tanya Tessa yang tiba-tiba muncul dari balik dinding hingga membuat Marine terkejut sementara pria-pria bertubuh tegap itu menoleh hanya untuk menyeringai. Menatap kemunculan Tessa dan teman-temannya.   “Bukan apa-apa, Nak. Sebaiknya kau dan yang lainnya tidur sekarang,” pinta Marine dengan suara serak di bawah tatapan pria-pria itu yang membuat Tessa bergidik. Tessa melangkahkan kaki untu mendekat pada Marine. Mereka berjumlah empat orang dan kesemuanya pria. Berubuh tegap, berotot dengan tatto yang menghiasi permukaan kulit. Mereka juga berwajah garang, potongan rambut pendek untuk dua pria dan satu pria yang berdiri di belakang memiliki rambut yang gondrong. “Marine,” desah Lordes sambil merangkul bahu Marine dan mengusap-usapkan telapak tangannya di sepanjang punggung Marine. “Lordes.” Suara Marine yang berubah serak.   “Jika nenek tua ini tidak bisa mengatakannya padamu, aku yang akan mengatakannya.” Kalimat yang meluncur dari mulut salah satu pria dari empat pria itu. “Tidak!” Suara Marine nyaris memekik. Tatapan Tessa langsung tertuju ke mereka. Pada pria yang berdiri paling depan dan Marine secara bergantian. “Nenek tua ini harus mengosongkan bangunan dan kami akan mengganti rugi semuanya,” tandas pria lainnya yang membuat Terssa terperangah dengan mata membulat sebelum ia menatap ke arah Marine kembali yang tampak cemas. Ada ketakutan yang memancar dari sorot mata Marine.   “Tidak semudah itu,” elak Tessa dengan segenap keberaniannya. Pria itu terkekeh sebentar. “Kau mencoba untuk melawan anak ingusan?” maki pria pertama yang disertai seringai licik, sementara pria lainnya saling menatap satu sama lain di antara mereka sebelum menatap Tessa. Tessa bertatapan langsung dengan pria itu tanpa rasa gentar. Tessa masu satu langkah. “Aku atau lebih tepatnya kami akan melawan. Kami tidak akan---” “Artinya kau akan membayar semua utang panti asuhan ini pada kami, Cantik,” seloroh pria yang ada di belakang, membuat Tessa dan yang lainnya terkejut. “Apa?!” tanya Tessa dengan terkejut dan membuat suaranya nyaris memekik. “Itu lah kenyataannya, Sayang,” timpal yang lainnya dengan suara yang terdengar mengejek. “Kau tak akan sanggup membayarnya.” “Itu mustahil,” sanggah Tessa yang disusul dengan kekehan dari keempat pria di hadapannya. Sedangkan untuk penghuni panti lainnya tersentak dan saling berbisik satu sama lain. “Kami tidak mungkin memiliki utang pada kalian,” elak Tessa yang mencoba untuk memebala diri. “Tess,” panggil Marine dengan susah payah dan suaranya berubah parau, terdengar sesak. “Tess.” Tessa mengabaikannya. “Kami peringatkan kembali pada kalian. Waktu kalian hanya 2 x 24 jam dari sekaran untuk segera mengosongkan bagunan ini. Kalian mengerti!” “Tidak akan pernah terjadi!” balas Tessa spontan dengan suara yang tak kalah lantang. “Jadi kau ingin melawan kami, anak ingusan?!” ancam pria itu sambil menarik lengan atas Tessa dengan begitu kuat dan kasar sampai membuat Tessa merasakan sengatan pada permukaan kulitnya. Pria itu juga menarik tubuh mungil Tessa dengan mudah hingga mendekat pada pria itu. “Aww,” pekik Tessa spontan dilanjutkan dengan teriakan kesakitan dari penghuni panti lainnya yang menyaksikan itu. “Aku tidak takut,” ungkap Tessa lagi sambil menatap dengan tajam meski jantung Tessa berubah menjadi berdetak tak karuan. Pria itu menarik lengan Tessa hingga membuat tubuh keduanya menempel. Pria itu mendekatkan kepalanya ke kepala Tessa. Mulutnya berada di depan telinga Tessa hingga membuat Tessa dapat merasakan panasnya napas pria itu. “Kau tak akan sanggup melakukan apa pun. Kami akan meratakan bangunan ini secepatnya. Kau hanya perlu membuat pilihan antara pergi atau ikut tenggelam bersama dengan bangunan tua ini.” Pria itu mendorong tubuh Tessa hingga terhuyung bersamaan dengan pekikan terkejut dari anak lain sedangkan Tessa tidak terjatuh karena tangan Marine yang menjangkau Tessa dengan cekatan meski Marine merasa kehabisan napas setelahnya. “Kami peringatkan sekali lagi jika kalian tidak memiliki pilihan lain selain pergi.” Peringatan terakhir yang terlontar dari pria itu sebelum beranjak pergi yang diikuti ketiga pria lainnya yang mengekor di belakangnya.   Dua minggu kemudian. Sosok Marine membujur kaku usai serangan jantung dan telah terjadi penyempitan pada saluran napas wanita berusia lima puluh tahun itu. Tubuh Maria Marine ditemukan di pagi hari saat salah seorang anak panti mendatangi kamar Marine untuk mengajaknya sarapan pagi. Marine tidak tertolong. Marine harus mengembuskan napas terakhirnya tanpa ada yang menemaninya. Marine sendirian dalam kamar yang terasa lembab dan gelap. “Marine telah tiada. Apa yang akan kita lakukan Tess?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Lordes usai pemakaman Marine. “Kita tidak bisa melakukan apa-apa kecuali---”   “Tidak!!” pekik Tessa bangun dari tidur dan lepas dari semua mimpi masa lalunya. Napas Tessa terengah-engah, peluh membahasi kening Tessa.   Tessa Wagner terbangun sebelum alarm yang ia pasang berbunyi keesokan paginya. Berbaring di ranjang untuk beberapa menit dengan napas yang terengah-engah dan kacau. Tessa berharap jika ia bisa bangun sendiri. Membiarkan otaknya bangun dengan sendirinya tanpa bantuan kopi di pagi hari seperti yang selalu dilakukan Tessa pada dirinya dengan kesibukan yang terasa tak kunjung selesai. Tapi pagi ini rasanya berbeda. Tessa terbangun dari tidur usai mimpi buruk. Potongan kisah yang Tessa tak bisa ingat seutuhnya. Ingatan Tessa sedikit hilang usai kecelakaan yang menimpanya beberapa tahun silam bersamaan dengan kematian ayah angkatnya. Tessa memaksa diri untuk memusatkan pikirannya pada kenyataan jika ia masih berada di awal Minggu yang sangat padat dengan berbagai jadwal pekerjaan yang telah menantinya. Mengenyahkan semua mimpi buruk di dalam kepala untuk tetap bisa berpikir dengan waras. Tessa juga mengatur kembali napasnya yang kacau agar dapat mengembalikan kendali dirinya.   Tessa menoleh ke samping dan sosok Darek Wagner yang tampak terlelap tidur di sampingnya. Tessa tak ingat jam berapa suaminya pulang ke rumah, dan berbaring di tempat tidur tepat di samping dirinya. Tessa mengubah posisi tidur dengan berbaring miring menghadap ke arah Darek. Pria tampan yang telah menikahi Tessa dua tahun silam. Pria yang kini masih memejamkan mata, mendengkur dan Tessa telah terbiasa dengan semua itu.   Kehidupan yang dijalani Tessa layaknya rumah tangga lainnya. Perjalanan rumah tangga berlandaskan perjodohan bukan lah hal yang mudah bagi Tessa meski pada awalnya ia merasa yakin akan bisa menjalaninya. Namun nyatanya tidak. Prosesnya berliku dan semua masih segar dalam ingatan Tessa hingga kini. Tessa meraih kalendar yang berdiri di nakas pada sisi kanan tempat tidurnya. Ada tanggal yang Tessa lingkari yang tak lain tanggal pernikahan dirinya dengan Darek Wegner. “Apa yang akan aku berikan untuk suamiku,” batin Tessa seorang diri dengan pikiran yang berputar-putar untuk menebak sesuatu yang sedang dibutuhkan oleh suaminya. Tessa ingin memberikan hadiah terbaik. Itu lah yang dilakukan Tessa Madison selama ini.    Tessa menoleh kembali ke samping dan Darek telah mengubah posisi tidurnya dengan membelakangi Tessa. Hanya menatap punggung Darek saja telah membuat Tessa tenang karena suaminya masih pulang ke rumah dan tidur di atas tempat tidur mereka. Bayangan dalam kepala Tessa menariknya dalam masa beberapa tahun silam.   Hingga dua tahun berjalan Tessa belum juga hamil. Ia telah memeriksakan keadaannya ke dokter dan hasilnya ia normal, rahimnya sehat dan tidak ditemukan masalah apa pun. Tessa layak untuk menjadi seorang ibu. Tessa telah meminta Darek untuk menjalani pemeriksaan yang sama dengan dirinya, meski pria itu selalu menolak dengan alasan kesibukan hingga ia tak sempat untuk memenuhi jadwal pemeriksaan yang di tawarkan oleh Dr. Muller. Siang itu Tessa seorang diri datang ke sebuah rumah sakit yang telah menjadi rujukan dari beberapa orang teman baiknya. Tessa ingin menjadi seorang ibu seutuhnya. Tessa ingin mengandung, melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang yang selama ini tak pernah Tessa dapatkan. “Kapan terakhir kali kalian berhubungan seks?” Pertanyaan yang masih diingat Tessa pada kunjungan terakhirnya ke rumah sakit untuk berkonsultasi pada dokternya. Pertanyaan yang terdengar begitu pribadi dan Tessa merasa berat untuk menyatakan kebenarannya. Tessa tak ingat kapan terakhir kali ia melakukan seks dengan Darek. Bahkan Tessa tak pernah tahu jam berapa suaminya pulang. Keduanya disibukkan dengan pekerjaan menjelang akhir tahun. Keduanya selalu pulang larut, bahkan pertemuan bisnis yang tak terhindarkan dari keduanya di akhir pekan. Pekerjaan Darek Wagner sebagai seorang pialang saham menuntutnya bekerja dibanyak waktu bahkan ia dapat menghabiskan waktunya dengan bekerja di akhir pekan yang seharusnya menjadi hari untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. “Kapan dirimu bisa meluangkan waktu untuk---” “Aku sudah katakan tak ada waktu luang untukku, Tess,” sela Darek dengan suara lantang usai Tessa melakukan protes dengan mendatangi kantor milik Darek. Tessa ingin Darek terlibat dengan rencana bayi tabungnya. “Kau lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Kau mengerti?” Darek menatap Tessa dengan kesal dan kedua rahangnya mengatup rapat.   Kini, Tessa merasakan deja vu kembali dengan menghadirkan bayangan perdebatan mereka kembali yang hadir dalam ingatan Tessa. Darek pernah mengabaikannya, dan kini sikap itu terasa muncul kembali bagi Tessa. Nalurinya berkata begitu. Berkata jika Darek yang sesungguhnya telah kembali. Darek Wegner yang menikahi Tessa tanpa rasa cinta. “Tidak, tidak mungkin terjadi lagi,” batin Tessa sebelum ia duduk di tepian tempat tidur. Waktu menunjukan pukul enam pagi dan musim belum berganti. Jerman masih berada di musim panas. Bayangan liburan di saat musim panas, mengenakan pakaian renang dan berjemur di tepi pantai seakan memenuhi kepala Tessa dengan tiba-tiba. “Ide yang sangat baik,” gumam Tessa sebelum dirinya beranjak bangun, duduk di tepian tempat tidur disusul dengan tarikan napas yang sangat dalam. Berbagai rencana memenuhi isi kepala Tessa tentang liburan. Ia menoleh untuk menatap Darek dari balik bahunya. Tessa ingin membuang semua ketakutannya untuk hal yang belum tentu terjadi.   Tessa duduk seorang diri dengan pakaian kerja yang telah lengkap dan bersiap untuk pergi. Pagi yang ia lalui seorang diri tanpa Darek yang masih belum juga bangun. Kopi yang tidak lagi panas, Tessa telah terbiasa duduk sendirian dan menyantap menu sarapannya yang apa adanya. Beberapa jadwal pertemuan telah dikirimkan Astrid Baker ke dalam ponsel Tessa. Hari yang akan terasa panjang. Ia harus berbicara dengan Darek mengenai rencananya untuk berlibur. “Aku harus berbicara dengannya,” desis Tessa saat akan beranjak dari meja makan dan sosok Darek yang tiba-tiba keluar dari dalam kamar menghentikan gerak Tessa dan membuatnya kembali duduk. Sepasang mata Tessa membulat saat matanya bertemu dengan mata Darek. “Selamat pagi,” sapa Darek masih dalam balutan pakaian tidur, celana piyama dan tshirt oblong bergambar klub sepak bola kesayangannya Bayern Munchen. Wajah Darek juga tampak kusut dengan bulu-bulu halus di wajahnya yang belum dicukur. “Pagi,” balas Tessa. Darek berjalan menghampiri Tessa selangkah demi selangkah, menghapus jarak di antara keduanya sebelum sebuah kecupan mendarat di kening Tessa. “Kau sudah tampak rapih.” Darek menuturkannya sambil menatap Tessa dengan curiga dan menyelidik. Tessa tidak tersinggung dengan itu. Menjadi kejutan saat Darek terbangun dan Tessa belum beranjak. “Kau bangun karena mimpi burukmu lagi?” Pertanyaan yang membuat Tessa terkejut karena Darek tak pernah peduli dengan kebutuhan Tessa untuk berkonsultasi dengan ahli jiwa untuk gangguan tidurnya. “Tidak juga,” balas Tessa. Tessa menjilat bibirnya yang terasa kering sebelum melanjutkan kalimatnya.  “Aku terkejut kau peduli akan hal itu,” timpal Tessa dengan tatapan lurus yang tertuju pada Darek Wegner. Darek menyeringai miring. Sedangkan Tessa menatap dengan menilai. “Aku mendengar kau memikik keras. Aku lupa kapan terakhir mendengar hal itu.” “Dan kau tidak merasa terganggu denganku?” sindir Tessa yang kesal dengan ketidakpedulian Darek pada Tessa. Rasa sakit yang pperlahan berubah menjadi rasa yang biasa. “Aku tak ingin berdebat apa pun denganmu Tess,” seloroh Darek. Ia berjalan ke arah meja dapur untuk meraih gelas yang tergantung di rak yang ada di atas kepalanya yang kemudian diisi dengan kopi panas. Aroma kopi berkelebat tersapu udara hingga sampai ke ujung hidung Tessa. “Sibuk kan dirimu agar kau tidak berpikir hal-hal konyol,” seloroh Darek dengan penekanan disusul dengan menyesap kopi dalam cangkir yang ia genggam. Bagai pukulan telak, kalimat yang menohok. Tessa meraih gelas air dinginnya dan meneguknya sebanyak mungkin hingga tandas.   “Ya, hari ini aku harus memulainya dengan pertemuan dengan klien. Kau ingin aku buatkan sarapan?” Tessa menawarkan diri dan Darek membalasnya dengan gelengan. Darek telah berdiri di ujung meja makan.   “Aku hanya butuh secangkir kopi dan aku telah membuatnya sendiri.” Darek menarik sebuah kursi yang kemudian ia duduki bersamaan dengan Tessa. Darek meletakkan gelasnya ke atas meja dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang keras. “Semalam kau pulang jam berapa? Maafkan aku karena---” “Aku sendiri juga lupa pulang jam berapa,” potong Darek. Tessa terdiam sebelum menundukkan wajahnya, kopi dalam cangkir Tessa hanya tersisa sedikit, ia perlu berbicara dengan Darek. Jeda untuk Tessa berpikir jika dirinya merasa butuh kopi lagi untuk tetap bisa membuatnya waras. “Aku ingin berbicara denganmu,” ungkap Tessa sebelum ia beranjak dari duduk menuju meja dapur lagi seperti Darek beberapa menit sebelumnya. Tessa meraih cangkir yang tersusun di dalam lemari dapur yang tergantung di atas kepalanya. Mengisi cangkir dengan kopi panas dan dua sendok teh gula tanpa krim. “Tak ada yang perlu kita bicarakan, Tess. Kita tak pernah ada masalah selain kita pulang ke rumah hanya untuk sekedar tidur,” ungkap Darek yang terasa bagai sayatan sembilu dalam benak Tessa. Rasanya sakit luar biasa. Tangan Tessa berubah kaku tepat saat dirinya hendak mengangkat cangkir. “Pulang dalam keadaan mabuk atau tidak rasanya sama saja.” Suara Tessa terdengar tajam. “Ya, karena aku akan langsung tidur.” Darek membalas dengan ketus sebelum menyesap kopinya. Tessa tersenyum pedih. “Kau juga tidak membangunkan aku,” ucap Tessa sambil meletakkan cangkir kopi ke hadapannya. Senyum segaris yang terpampang di wajah Tessa di balas Darek dengan senyuman yang sama. “Aku tak mungkin membangunkanmu. Kau tidur dengan pulas.” Darek menyeruput kopinya sekali lagi, kopi yang ia buat sendiri. Tessa kembali duduk di kursi yan ia tinggalkan beberapa menit sebelumnya. Duduk berseberangan dengan Darek. “Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Tessa mengulang dari kalimat beberapa menit sebelumnya. Tessa mengatakannya dengan lugas sementara Darek tampak memandangi ponsel di tangannya. Tak ada sautan yang terdengar dari Darek. Tessa menatap Darek dengan menilai. “Bisakah kita berbicara sebentar sebelum aku pergi?” Tessa kembali bertanya dan Darek bergeming. Bahkan menoleh pun tidak. Tessa berjalan mendekat pada Darek. “Darek.” Tessa memanggil sambil meraih telapak tangan suaminya. Darek menoleh dengan terkejut. Matanya mengerjap saat menatap Tessa. “Maaf, aku----” “Bisakah kita berbicara sebentar?” potong Tessa sambil menatap langsung Darek. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Tessa tersenyum, ia menelan ludah sebelum memulai berbicara. Terasa langka baginya untuk berbicara dengan tenang bersama suaminya beberapa bulan terakhir. “Aku ingin kita berlibur di akhir pekan ini. Apa kau bisa mengosongkan jadwalmu?” Darek terdiam. Ekspresi di wajahnya tak terbaca dan Tessa kesal pada dirinya sendiri. “Bisakah?” Tessa mengulang. “Aku…” Sebelum Darek berkata lebih banyak, ponselnya telah lebih dulu menginterupsi perbincangan keduanya. Darek menoleh ke arah ponselnya yang berubah terang dengan menampilkan sederet nomor yang Tessa bisa lihat tanpa nama. Ponsel yang di letakkan Darek di atas meja.  “Maafkan aku, Sayang. Aku harus menjawab telepon ini, kau bisa---” Tessa mengangguk dan Darek beranjak dari kursi makan untuk menjawab panggilan pada ponselnya. Punggung lebar Darek yang menghilang di balik dinding dan meninggalkan Tessa seorang diri di dapur dalam rumah mereka. Tessa duduk seorang diri di meja makan dengan perasaan kesal sampai sebuah pesan masuk dalam ponselnya. Astrid Baker: Pertemuan dimajukan dan akan dimulai tiga puluh menit lagi. Aku ingin memberitahumu untuk hal itu. Mereka memajukan jadwal pertemuan. Pesan yang dikirim Astrid dan seketika Tessa melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktunya hanya tinggal dua puluh delapan menit, hal yang mustahil bagi Tessa untuk menunggu Darek kembali dari menjawab teleponnya. “Oh tidak.” Desahan yang terdengar tersengal dan mengejutkan.   Tessa berpikir untuk mencari jawaban yang baik bagi pesan yang dikirimkan Astrid padanya. Tessa Wegner: Katakan pada Hoffman jika aku masih dalam perjalanan, dan bukan salahku jika aku terlambat. Balasan yang dikirim Tessa dengan tergesa-gesa dan ia langsung menyambar tas kerjanya bersamaan dengan kemunculan Darek. “Kau akan pergi?” Pertanyaan yang membuat Tessa menoleh sebentar. Darek menatap dengan tatapan memicing. “Ya, klienku memajukan jadwal pertemuan, dan aku sudah terlambat beberapa menit untuk bisa sampai tepat waktu,” jawab Tessa dengan cepat. Darek berjalan mendekat pada Tessa. “Maafkan aku,” ucap Darek. “Kita akan membicarakannya nanti,” timpal Tessa yang disusul dengan sebuah kecupan sebelum ia meluncur cepat ke kantor.   ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.1K
bc

My Secret Little Wife

read
97.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook