bc

Bukan Pernikahan Impian

book_age18+
246
FOLLOW
2.5K
READ
HE
opposites attract
arranged marriage
arrogant
boss
drama
bxg
city
affair
like
intro-logo
Blurb

Karena sebuah tragedi, Aksaa dipaksa untuk menikahi Ananntaa. Tak mencintai perempuan itu pun dirinya yang sudah memiliki kekasih, Aksaa menolak. Namun, karena beberapa ancaman, dirinya mau tak mau tunduk sehingga pernikahan pun terjadi.

“Puas kamu merusak rencana hidup saya?”

Dilanda rasa benci yang mendalam, Aksaa berjanji untuk membuat Ananntaa menderita bersamanya. Bersikap buruk bahkan memperlakukan perempuan itu dengan semena-mena, semua itu dia lakukan hingga di suatu ketika, insiden lain terjadi—membuat Annantaa dilanda amarah.

“Aku enggak nyangka kamu sejahat ini, Mas!”

Lantas, bagaimanakah nasib pernikahan dua insan tersebut? Terus berlanjut atau bubar di tengah jalan, manakah yang akan terjadi?

chap-preview
Free preview
1). Kecelakaan Tak Terduga
*** "Vio, aku baru ngelamar kamu beberapa menit yang lalu, lho. Masa kamu mau pergi gitu aja? Ke luar negeri lagi." Aksa memandang kekasihnya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Viola. Beberapa menit yang lalu, Aksa baru saja melamar Viola, tapi kini—tepat setelah menerima telepon dari Ima. Viola tiba-tiba saja berpamitan untuk pergi ke Paris karena harus melakukan fashion show. Mengecewakan bukan? Di saat dirinya susah payah menyiapkan tempat yang indah di sebuah taman kota untuk melamar Viola, bahkan menyiapkan makan malam yang romantis setelah melamar, Viola justru de ngan mudah berpamitan untuk pergi tanpa menghiraukan perjuangannya. "Tapi Aksa, ini kesempatan bagus buat karir aku," kata Viola yang akhirnya memberikan pembelaan. "Kata Mbak Ima, setelah aku ikut ini, tawaran kerjaan buat aku pasti naik. Aku bisa jadi model terkenal nantinya. Kamu tau sendiri kan, aku pengen jadi model ternama?" Aksa menghembuskan napas kasar—memandang Viola dengan kecewa, karena nyatanya kekasihnya itu lebih mementingkan karir daripada dirinya—pria yang sudah berpacaran dengan Viola selama satu tahun. "Ya udah terserah," jawab Aksa pada akhirnya. "Terserah kamu aja." "Kamu marah?" tanya Viola. "Enggak," jawab Aksa singkat. Meraba meja, Aksa mengambil kunci mobilnya yang ada di sana. "Kamu mau berangkat ke Paris, kan? Kalo gitu aku pulang dulu." Membalikkan badan, Aksa hampir saja pergi sebelum akhirnya Viola meraih pergelangab tangan kanannya. "Aksa." "Aku capek, Vi. Mau istirahat," ucapnya. Setelah itu Aksa melepaskan genggaman tangan Viola dan melangkahkan kaki menuju mobilnya. Menyalakan mesin, Aksa melajukan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi, meninggalkan Viola begitu saja. Kesal. Begitulah Aksa jika sedang marah, tak akan banyak bicara dan lebih memilih diam atau pergi. "Lagi, dia lebih mentingin karirnya," gumam Aksa ketika dia mengemudikan mobilnya itu. Perhatiannya yang semula fokus pada jalanan, sejenak beralih saat dering ponsel dari atas dashboard terdengar nyaring. Mengulurkan tangan, Aksa berniat untuk mengambil ponsel tersebut. Namun, sial ponselnya justru jatuh tepat mengenai kakinya. Menunduk, Aksa mencoba untuk mengambil ponsel tersebut dan berhasil, tapi sialnya lagi—tepat saat Aksa kembali duduk seperti semula, kedua iris abunya membulat sempurna ketika menyadari di depan mobilnya seorang perempuan tengah berjalan melintas dan tentunya karena kecepatan mobil yang tak pelan, Aksa tidak bisa menghindar. Dalam tempo yang singkat, mobil sedannya menabrak seorang perempuan hingga terpental jauh. "s**t! Kenapa aku bisa nabrak orang segala?!" umpat Aksa sambil memutur setir. Meskipun takut, Aksa membuka pintu mobilnya untuk menghampiri perempuan tersebut. Lagi, dia cukup terkejut saat mendapati perempuan yang dia tabrak tergeletak di pinggir trotoar. “Mbak, Mbak bangun, Mbak. Masih bisa dengar saya?” tanya Aksa ketika dia mengangkat kepala perempuan yang baru saja dia tabrak itu. Tak ada luka serius di kepalanya, tapi di bagian kaki, Aksa melihat beberapa luka memar. "Ka ... kamu siapa?" Dengan suara tercekat juga kesadaran yang hampir hilang, perempuan tersebut masih sempat bertanya. "Saya Aksa, Mbak. Mbak jangan pingsan dulu ya, saya bawa Mbak ke rumah sakit," pinta Aksa. Dia mengedarkan pandangannya untuk mencari bantuan. Namun, karena jalanan yang lumayan sepi apalagi malam, tak ada seorang pun yang lewat di sana. Perempuan itu mengernyit lalu memegangi sudut dahinya yang berdarah karena kini kepalanya terasa semakin pusing juga rasa sakit di pinggang dan kakinya semakin menjadi. "Ka ... kaki saya sa ... sakit." Setelah mengucapkan kata itu, perempuan tersebut tak sadarkan diri dan tentunya Aksa semakin panik karena hal itu. "Mbak, bangun Mbak!" ujar Aksa sambil menepuk pipi perempuan tersebut. Dengan perasaan yang semakin panik, Aksa merogoh tas selempang yang dibawa perempuan itu untuk mencari identitas di sana. Beruntung, Aksa menemukan ktp di dalam dompet perempuan tersebut yang ternyata bernama, "Ananta Syerilla Darmawan," gumam Aksa. Tak mau terjadi apa-apa, Aksa langsung membawa perempuan yang baru saja dia tabrak itu menuju rumah sakit. Beruntung, tak jauh dari tempat kejadian terdapat rumah sakit besar yang tentunya langsung dituju oleh Aksa. "Tolong tangani dia sebisa anda," pinta Aksa ketika perempuan yang dia tabrak baru saja masuk ke IGD. "Baik Mas." Menyandarkan tubuhnya di tembok, Aksa menunggu dengan gelisah. Dia takut terjadi apa-apa pada perempuan yang baru saja dia tabrak itu karena jika iya, maka semuanya akan menjadi panjang. "Ceroboh, kenapa kamu bisa seceroboh ini Aksa?" Hampir setengah jam menunggu, pintu IGD terbuka—menampakkan sang dokter yang kini berdiri dengan wajah lelahnya. Penasaran dan khawatir, Aksa bergegas menghampiri dokter tersebut untuk menanyakan keadaan perempuan yang kini Aksa tahu, bernama Ananta. "Dokter bagaimana keadaan pasien?" tanya Aksa tanpa basa-basi. "Pasien sudah sadar," jawab sang dokter. "Tapi ada kabar buruk yang harus saya sampaikan." "Apa?" "Karena benturan yang sangat keras di bagian pinggul, kedua kaki pasien mengalami kelumpuhan sementara." "Maksud dokter?" tanya Aksa dengan raut wajah yang tentu saja sangat serius. "Pasien tidak bisa menggunakan kedua kakinya untuk berjalan," ungkap sang dokter. "Dan untuk berjalan lagi, pasien harus melakukan terapi." Aksa memejamkan matanya sebentar, sambil menyugar rambutnya ke belakang. Baru saja dia berniat untuk menimpali, suara bariton seorang pria mengalihkan perhatiannya. "Mana anak saya?" Aksa menoleh—memandang pria paruh baya itu dengan tatapan tanya. "Bapak, Papanya Ananta?" tanya Aksa memastikan, karena memang di perjalanan, dia sempat menerima telepon yang ternyata berasal dari orang tua Ananta. "Iya saya Dodi—papanya Ananta. Kamu yang nabrak anak saya?" "Saya mohon ma-" "Saya enggak mungkin lumpuh suster!" Perhatian ketiga orang itu kini beralih ke IGD. Mendengar suara tangisan sang putri, tanpa basa-basi, Dodi berlari masuk ke IGD diikuti Aksa dari belakang, dan di dalam sana, perempuan bernama Ananta itu tengah menangis. Tentu saja. Siapapun pasti akan terpukul ketika dua kakinya yang semula normal kini tak bisa digerakkan. "Ana, kamu kenapa sayang?" tanya Dodi yang langsung mendekap erat tubuh putrinya itu. "Papa," lirih Ananta sambil terisak. "Kaki Ana, Pa. Kaki Ana dua-duanya enggak bisa digerakkin. Kaki Ana lumpuh." "Apa?!" tanya Dodi. "Kamu serius, Ana?" "Iya Pa," jawab Ananta yang kembali menangis, sementara Dodi kini berusaha menenangkan putrinya itu untuk lebih tenang, dan Aksa. Kini Aksa berdiri dengan raut wajah yang dipenuhi penyesalan. Dia tak menyangka jika kelalaiannya mengemudi bisa membuat orang lain celaka bahkan sampai mengalami kelumpuhan. "Saya akan tanggung jawab, Pak," kata Aksa setelah cukup lama diam. "Bagaimanapun caranya, saya akan tanggung jawab atas perbuatan saya. Saya salah, saya lalai dalam mengemudi." Dodi melepaskan pelukannya dari Ananta yang kini mulai tenang. Dengan raut wajah yang memerah, Dodi tanpa ragu menarik kerah kaos yang dipakai Aksa. "Tanggung jawab?" tanya Dodi. "Kamu tau apa yang kamu lakukan ini keterlaluan, hah? Kamu lalai mengemudi sampai mencelakai orang lain. Kamu tau kamu itu salah, kan?" "Iya Pak, saya tahu saya salah," jawab Aksa. "Maka dari itu, saya mau tanggung jawab. Apapun yang bapak atau putri bapak minta, akan saya beri, sebagai bentuk pertanggungjawaban saya." Emosi Dodi perlahan memudar—bersamaan dengan mengendurnya cengkraman di kaos Aksa. Memandang Ananta sekilas, Dodi mengalihkan perhatiannya pada Aksa. "Baik, kalau kamu mau tanggung jawab," ucap Dodi. "Sebagai pertanggung jawaban, saya mau kamu nikahi Ananta putri saya." Aksa membelalakan mata, disusul Ananta yang juga menatap sang papa dengan raut wajah yang sama kagetnya. "Apa?! Menikah?!"

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook