Bab 1

1229 Words
Tatapan kosong yang terlayang pada gundukkan tanah yang masih basah itu, begitu menyiratkan bagaimana hancurnya perasaan Adara Prameswari. Keluarga satu-satunya yang masih hidup, akhirnya meninggalkan dia juga. Saudari perempuannya meninggal, menyusul kedua orang tuanya yang sudah lebih dulu menghadap Tuhan. Orang tua Adara meninggal ketika wanita itu berusia delapan belas tahun, tepat setelah ia lulus dari bangku sekolah menengah atas. Beruntungnya, harta orang tua Adara yang tersisa mampu mencukupi hidup Adara dan saudari kembarnya, Adira, sampai kedua saudara kembar itu lulus dari jenjang perguruan tinggi mereka. Rencana Tuhan kali ini benar-benar menyakiti Adara. Wanita itu sangat menyayangi mendiang saudari kembarnya, baginya Adira adalah sosok ibu pengganti untuknya. Bagaimana Adira memperlakukannya, bagaimana Adira selalu bersikap untuknya, dan bagaimana wanita itu menegur dan menasihatinya ketika ia melakukan sebuah kesalahan. Adara tidak pernah tahu jika selama ini Adira sakit, Adira tidak pernah menceritakan apa pun tentangnya ketika mereka bersama. Dan bodohnya, selama ini Adara tidak pernah menyadari apa yang menjadi penyebab wajah kembarannya yang kerap terlihat pucat. Entah sudah berapa banyak hinaan yang ia lontarkan untuk dirinya sendiri. Di usianya yang sudah menginjak angka 26 tahun itu, Adara Prameswari merasa dirinya masih sangat bodoh. Segala pencapaian san prestasi yang ia dapat rasanya tak lagi berarti apa-apa. Percuma saja ia pernah mendapat julukan arsitek jenius, jika ia tak mampu memahami penyebab sang kakak yang selalu tampak lesu. Berjarak tiga langkah dari Adara, seorang laki-laki tampak sama hancurnya dengan saudari mendiang Adira Prameswari tersebut. Laki-laki itu berjongkok seraya mengelus batu nisan istrinya dengan penuh kasih, seolah-olah batu nisan itu memanglah sang istri. Mata sembab berair, penampilan kacau, bulu-bulu halus yang memenuhi rahang, semua itu tak dirinya pedulikan, masa bodoh dengan penampilan karena hati dan otaknya hanya berisi belahan jiwanya yang lebih memilih pergi lebih dahulu, meninggalkan dirinya dengan luka baru yang rasanya tak mungkin bisa disembuhkan. Katakanlah jika itu terlalu berlebihan, tapi bukankan kehilangan adalah luka yang paling menyakitkan? Dia bersahabat erat dengan perpisahan, air mata, punahnya harapan, serta luka yang teramat menyakitkan, dan malah bermusuhan dengan tawa bahagia yang harusnya wajib dimiliki setiap insan di dunia. Ketika sudah berada dalam pelukan kehilangan, dunia suram seketika. Tak lagi ada harapan. Dan begitulah yang kini Rafael Abraham rasakan. Kita tidak bisa menyalahkan takdir, entah seburuk apa takdir yang berlaku pada kita. "Maafkan aku, Dir. Kalau aja aku nggak sibuk dengan urusanku sendiri, kamu nggak mungkin pergi. Maafin, aku ...," suaranya yang pelan, terdengar tercekat. Siapa pun yang melihatnya, pasti tahu betapa hancurnya lelaki berprofesi sebagai dokter kandungan di salah satu rumah sakit swasta ternama itu. Air mata yang terus bercucuran serta tatapan kosong itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Semua terbaca dengan mudah bak buku yang terbuka. Bodoh. Bodoh. Bodoh. Ratusan kali ia membisikkan kata-kata itu pada dirinya sendiri. Nyatanya ia memang teramat bodoh. Suami mana yang bisa-bisanya tidak tahu kalau sang istri tengah sakit? Bahkan mengidap tumor ganas di kepalanya. Bukankah ia sangat bodoh? Ia kerap mengumbar cinta, pamer pada orang lain sebesar apa cinta yang ia miliki, namun masalah sebesar itu dirinya tidak tahu. Suami terburuk di dunia. Rafael Abraham merasa julukan itu sangat cocok untuk disematkan di belakang namanya. Bagaimana bisa ia tidak menyadari kalau selama ini, wanita yang teramat ia cintai itu selalu tampak pucat? Bagaimana bisa ia tidak menyadari kalau selama ini istrinya itu kerap mengeluh sakit kepala? Bagaimana bisa ia baru menyadari penyakit istrinya, setelah tumor itu sudah memasuki stadium akhir? Bagaimana selama ini ia bisa mengabaikan wanita itu? Seandainya kalau ia lebih memperhatikan Adira, seandainya kalau ia lebih peka terhadap Adira, seandainya jika ia mau bertanya bagaimana keadaan istrinya itu. Hanya kata seandainya yang dapat ia gumamkan, penyesalan yang begitu besar sama sekali tidak akan merubah takdir. Adira sudah tenang di alam sana. Barangkali saat ini Adira tengah tersenyum, karena sakit yang ia alami tak lagi ia rasakan. Barangkali saat ini Adira tengah tersenyum, karena terbebas dari laki-laki bodoh sepertinya. "Bunda, Ayah kenapa?" Suara anak kecil yang menarik-narik tangan Adara membuat wanita itu tersadar dari lamunannya. Adara berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan anak laki-laki yang tampak bingung memandangi sang ayah yang tengah menangis seraya memeluk batu nisan. Suatu pemandangan yang sangat mengganggu penglihatan bocah laki-laki itu. Merasa ayahnya benar-benar aneh. Keano Abraham, empat tahun usianya dan sudah kehilangan sang ibu di usia belia. Keano kehilangan sosok terpenting dalam hidupnya, sosok pembentuk karakter, sosok yang sangat ia sayangi. Sampai saat ini, pun sebenarnya Keano belum mengetahui kalau ternyata sang Ibu telah tiada, Keano menganggap kalau wanita yang berjongkok di hadapannya tersebut, ibu kandungnya sendiri. Keano bukan putra yang buruk, meski tidak bisa membedakan mana ibu kandungnya dan mana tantenya. Ia hanya tak tahu dengan apa dirinya bisa membedakan, dia hanya anak usia empat tahun yang menganggap es krim makanan terlezat di dunia. Semua tampak sama. Meski sering bertemu dan melakukan video call nyaris setiap saat ketika mereka sama-sama tak sibuk, Keano Abraham belum bisa membedakan. Ketika mereka bersama pun, Keano kerap salah memanggil sang tante dengam panggilan yang harusnya ia tujukan pada sang ibu. "Emang, menurut Keano, Ayah lagi apa?" tanya Adara dengan suara halusnya, bocah itu menggelengkan kepalanya dengan lucu, lantas menolehkan kepalanya pada sang Kakek dan Nenek, juga sang tante yang juga sama-sama dalam suasana duka. "Oma, Onty itu Ayah kenapa?" tanya anak itu lantang. Yang menjadi objek dalam pertanyaan itu tak hirau, lebih tepatnya tak mendengar, dunianya hanya berpusat pada kesedihan yang datang terlalu dini dan enggan diusir pergi. Nyatanya kepergian yang bagai ujung tombak itu, menancap terlalu di hati Rafael, tentu saja menyakitkan atau bahkan mematikan. Wanita yang bocah laki-laki itu panggil Onty―Aunty itu sama sekali tidak menjawab, dilihat dari wajahnya ia tampak akan menangis, dan pada akhirnya lebih memilih memeluk sang ayah yang berdiri di sebelah kirinya. Sementara wanita paruh baya itu melakukan hal yang sama, seperti Adara tadi, ia berjongkok, lantas mengelus lembut surai kelam cucunya. "Kalau sekarang, Keano nggak bakal ngerti, tapi suatu saat nanti Keano pasti mengerti," ujar wanita itu dengan suara seraknya yang terdengar mengganggu, namun tetap saja tak bisa disalahkan. Keano tampak tidak suka mendengar jawaban sang nenek, terbukti dari bibirnya yang sudah mengerucut dan ekspresi kesalnya yang tak tertahankan. "Ish, Oma jawabnya kok gitu? Keano nggak suka! Itu Ayah lagi mode aneh, ya? Makanya peluk-peluk begituan? Dali pada peluk begituan, kenapa nggak peluk Bunda, Keano, Onty, Oma atau Opa aja?" Pernyataan anak itu tanpa sadar telah menciptakan senyum di wajah ke empat orang dewasa tersebut. Andai Rafael juga mendengarnya, mungkin laki-laki itu akan ikut tersenyum. Sayangnya luka telah menenggalamkannya hingga ke dasar, yang seolah merenggut akal sehatnya. Namun, beberapa detik senyum mereka mengembang, senyum itu tergantikan dengan raut wajah panik, lantaran Keano tiba-tiba saja menangis. Semua kelimpungan. Bahkan Rafael yang baru menyadari keberadaan putranya tampak makin kacau. "Keano, kamu kenapa, Nak?" tanyanya dengan panik, posisi laki-laki itu sudah berada di depan Keano. "Keano takut Ayah jadi nggak walas, Keano takut Ayah lupa sama Keano, Bunda, dan lainnya. Keano nggak suka lihat Ayah nangis, Keano nggak suka lihat Ayah peluk-peluk putih-putih itu. Ayah kayak olang aneh. Keano nggak suka, hiks ...," balas Keano disertai isak tangis. Rafael spontan memeluk tubuh mungil putranya itu, ia mengelus lembut puncak kepala sang darah daging. Ia baru menyadari sesuatu, mental putranya mungkin saja belum kuat menerima semua ini. Tak ada yang lebih menyedihkan ketimbang menyaksikan pemandangan di depannya tersebut bagi Adara Prameswari dan juga yang lain. Mereka sama-sama tahu betapa hancurnya hati dua laki-laki beda usia yang tampak tenggelam dalam pelukan hangat keduanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD