bc

Penjaga Hati

book_age16+
203
FOLLOW
1K
READ
revenge
arrogant
tragedy
humorous
mystery
straight
brilliant
witty
supernatural
special ability
like
intro-logo
Blurb

Tidak ada yang lebih berlawanan daripada Badrun dan Rochina. Datang dari dua budaya yang berlawanan dengan situasi keluarga yang sangat berbeda.

Badrun dibesarkan oleh paman dan bibinya, karena kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih bayi. Keduanya memiliki perguruan silat, dan dengan begitu, ia dibesarkan dengan keras.

Di lain pihak, Rochina datang dari keluarga biasa yang cukup berada, dengan segala keistimewaan yang dimiliki anak tunggal. Ia tumbuh di lingkungan yang tenang dan stabil.

Ketika mereka dewasa, Badrun memilih jalan musik yang penuh tantangan, berbeda dengan Rochina yang berkarir sebagai dokter yang mapan. Namun, mereka tertarik satu sama lain. Dan keluarga mereka mempunyai rahasia besar yang membuat mereka akhirnya harus bertatap muka.

chap-preview
Free preview
Kisah 1. Bulan yang Menerangi
Desain Cover : Dewinda Sumber gambar untuk cover : danvectorman dari Vecteezy Sumber link gambar : Web Vectors by Vecteezy ----------------------------------- CERITA DIMULAI ------------------------------------------------ PROLOG     Suara kibasan rumput menandai adanya seseorang di hutan belantara yang tampak sunyi itu. Sosok itu makin nyata kala ilalang tinggi tersibak. Memperlihatkan yang tersembunyi di baliknya. Seorang pria yang agak pendek dengan perawakan gempal terengah menerobos rerumputan itu ke sekelumit tanah lapang yang dikelilingi pepohonan rapat. Peluhnya bercucuran hingga ke rahangnya yang membulat. Langkahnya terhenti saat ia menoleh, meneliti ke sekelilingnya. Bulan terang. Membuat matanya awas terhadap segala sesuatu. Gerak tubuhnya tersentak-sentak, seolah terus-menerus kaget. Ketakutan merambah hatinya. Jantung pria yang masih cukup muda itu semakin cepat. Semakin tak teratur. Dan suara yang mendekat memperingatkan; dia harus membuat keputusan! Tanpa menunggu lebih lama, ia melompat ke salah satu sela pepohonan. “Anjing goblog, sini lu!” Suara yang tadinya tak lebih dari gemerisik daun dan patahan ranting itu menjadi lebih solid. Begitupun sosoknya. Pria bertubuh tinggi dengan d**a bidang yang atletis menghadang. Wajahnya murka. “Bud! Denger dulu ....” Sang pria gempal menjelaskan dengan tergeragap. Pria yang lain, tak lebih tinggi dari penghadang yang satu, menyela, “Heh, blegug[1]! Diem lu!” Dan memang telah terlintas niat itu. Bicara ia urungkan, tangannya kemudian mengambil alih percakapan. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang si pria gempal. Serangannya gagal masuk, karena pria gempal itu rupanya tak kalah cepat. Jurus-jurus silat mulai berkilatan, hanya sedikit bisa tertangkap oleh cahaya bulan. Teman si penghadang tak mau ketinggalan. Saat serangan pria gempal itu berhasil mementalkan tubuh sang kawan, ia mengambil alih persoalan. Kini, pria gempal melawan teman si penghadang. “Gua bacok lu!” “Minggir lu! Gua punya urusan sama dia!” Ia mendorong adik lelakinya itu. Yang segera mendecak, melompat ke belakang. Menekan keinginannya untuk ikut campur. Namun, mata itu tak henti meneliti situasi dengan garang. Kalau ada kesempatan, dengan senang hati ia turut menyudahi perselisihan dengan tinju sendiri! Suara mereka bergema hingga ke langit malam. Si pria atletis mulai mengambil kuda-kuda dengan kelima jari melengkung seperti cakar. Keduanya waspada, dengan cara yang sama tangan mereka bergerak perlahan. d**a si pria gempal naik-turun, antara waspada dan ketakutan. Pria di hadapannya, bukan hanya tubuh yang atletis, tetapi juga ilmu. Ilmunya tinggi, tak akan mudah mengalahkannya. Si pria gempal lalu menutup mata, berkonsentrasi. Pria di hadapannya mengernyit waspada, masih dengan kebencian yang berkobar. Namun, mata itu semakin lama semakin terbelalak kaget. Pria gempal itu membuka matanya. Mata itu tak lagi kehitaman, tapi berubah sewarna darah. Jari yang melengkung bergetar seiring dengan kuku yang memanjang. Suaranya menggerung, seperti macan kelaparan bertemu mangsa. “Sugeng!” Namun, kata itu jadi kata terakhir yang diucapkannya. Selanjutnya, pertarungan semakin sengit dan pada satu ketika, mata yang sempat terbelalak begitu besar, terpejam. Enggan terbuka lagi.                                                                                        ***   MASUK KE KISAH 1... “Nanti Ro cerita, Mi! Sekarang lagi sibuk!” derap langkah mulai terdengar tak beraturan. Semuanya menuju ke satu arah. Ruang gawat darurat. Koneksi telepon terputus. Wanita muda yang sesaat lalu memegang ponsel itu berdecak kesal, “yang bener aja...,” sembari menghampiri brankard[2] yang tengah didorong cepat. Seorang pria berbaring  dengan luka memar di beberapa bagian kaki dan tangan. Darah segar mengalir dari pelipisnya. “Kecelakaan di KM 22, Dok!” seorang suster berkata. Suaranya gemetar, jelas suster baru. Rochina mengamati bibirnya yang memucat. “Kamu bantu catatan pemeriksaan pasien di UGD,” sahutnya kemudian. Nadanya mengusir. Suster itu sekilas terkejut. Kelegaan membayang sedikit di wajahnya, lalu mengangguk dan dengan cepat merespon komando dari Rochina. Dokter wanita itu kemudian memalingkan wajah kepada salah satu relawan PMI yang membantu mendorong korban. “Pernapasan?” “Dua puluh tiga kali per menit, Dok!” “Nggak ada penyumbatan kalau begitu?” “Nggak ada, Dok!” Rochina mengamati jarum jam tipis di jam tangannya. Iramanya harmonis dengan denyut nadi pasien. Dokter itu lantas mengernyit, lalu mendesis, “ayo, cepat!” Pintu ruang UGD menjeblak terbuka dengan dorongan kuat tangannya. Saat-saat seperti ini. Rochina menarik napas panjang sebelum memeriksa respon korban. “Negatif, siapkan ruang operasi!”                                                                                      ***   Tiga jam yang lalu, Rochina baru saja menyelesaikan kasus gawat darurat. Dengan skor sempurna. Menunjuk ke satu arah dan suster segera berlari mengikuti jarinya. Lalu, mengapa? Mengapa ia sekarang duduk di kursi kayu, menunduk di bawah pandangan ibunya yang tampak cemas. “Lagi, Ro?” Rochina mengangkat bahu. Enggan menarasikan apa yang terjadi.  Ibunya menatap sang suami, yang mengernyit ke arah putri satu-satunya. Lagi. Rochina baru saja memberikan kabar buruk baginya. Usianya tidak lagi muda, malah sudah bisa dibilang paruh baya. Satu-satunya putri. Dan belum ada prospek memberikannya keturunan. Marzuki, ayah Rochina, mengambil puntung rokok yang terbakar setengah. Lalu menghisapnya dalam-dalam. Mengelus-elus jambangnya yang sengaja dibiarkan panjang. Tanda ia sedang berpikir keras. Melihat itu, istrinya jadi tak sabar. Lantas, mengambil alih pembicaraan. “Apa masalahnya sih, Ro? Ini udah berapa kali? Dalam setahun, lho.” Rochina menarik napas panjang, “Mana Ro tahu, Mi,” dia mendesah, “ya, kali Ro emang magnet buat cowok-cowok nggak bertanggung jawab. Sekalipun dapet cowok baik, pasti nggak bisa tahan sama Ro.” “Kamu kebanyakan di rumah sakit, Ro. Coba, sekarang aja udah lebih dari 24 jam kamu di rumah sakit, kan?” “Lah, Dimas itu kan, dokter, Mi. Dia malah lebih sibuk dari Ro. Sering jaga malem. Tapi, kita masih kontak-kontakan, kok.” “Lewat telpon, kan...” “Ya, artinya dia paham soal kerjaan Ro, kan... Harusnya nggak ada masalah kalo gitu.” “Tapi...” “Lagian, Ro juga udah mutusin. Ro nggak perlu usaha-usaha pacaran terus, nanti kalo udah jodoh, dateng sendiri. Jadi, nggak bisa didesak-desak gitu...” Papinya akhirnya turun tangan. “Nggak ada yang ngedesak kamu, Ro. Kita berdua itu khawatir. Di samping kita juga pengen punya cucu,” aku Marzuki pelan. “Lagian, jodoh itu sama kayak rezeki. Mesti usaha,” desak maminya. “Tapi, Pi,” ia beralih ke suaminya, “emang aneh banget. Ro nggak pernah dapet cowok baik-baik. Kalo nggak tukang main cewek, tukang mukulin cewek, tukang morotin, kagak ada bagus-bagusnya! Padahal, cowok normal kan, banyak di luar sana!” Rochina merapatkan bibir sambil terus berkata dalam hati, berulang-ulang, bahwa ibunya tidak bermaksud buruk. Biar wanita itu membuka semua luka lamanya, tentu ia tak bermaksud buruk. Ia tidak menyadari putrinya sakit hati, ia pasti tidak bermaksud buruk. Entah raut wajah Rochina berubah, tetapi Marzuki membuat isyarat halus untuk mengalihkan pembicaraan. Namun, maminya terus bergumam, semakin lama ia tampak semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Iya, aneh!” mami Rochina memukul pahanya sendiri. Tanpa basa-basi, ia bercericau sendiri, “pasti ada sesuatunya! Wong kamu anak pinter, cantik, baik, kurang apa?! Mami mau hubungin Om Sugeng!” Mendecak-decak, maminya bangkit untuk mengambil ponselnya. Rochina menatap maminya pasrah, lalu mengernyit ke arah papinya. Pria itu memberi isyarat melalui mata, ‘ikutin aja mami kamu.’ “Tapi, enak dipuji-puji gitu,” cetusnya kemudian, berkelakar. “Ya, iya! Kalo anaknya dibilang jelek, sama aja bilang dirinya sendiri jelek!” “Ih, Papi!” rengut Rochina, sementara papinya tergelak. Suara maminya semakin terdengar jelas. Ia tampak sedikit berdebat. “Sekarang, Sugeng. Mbakyu butuh konsultasi sama kamu.” Ia merangsek di sebelah Rochina. Memandangi putrinya dengan cemas, ia berujar, “soal anaknya Mbakyu. Penting, Geng. Yo? Weslah. Iya. Cepet lho, Geng.” “Apa hubungannya sama Om Sugeng, Mi?” “Nanti juga tahu,” jawabnya dengan nada yang membuat putrinya merengut lagi. Sudah berapa tahun omnya itu tidak berkunjung ke rumahnya?Mungkin dua atau tiga. Memang ibunya sering mengunjungi, tetapi ia tidak. Profesinya sendiri sudah memakan banyak waktu. Belum lagi, mengurusi prospek-prospek calon suaminya. Ah, macam MLM saja bicara prospek. Tapi, apa daya? Ayah dan ibunya tampak memperlakukan mereka seperti itu. Dia? Dapat hubungan yang sedikit normal saja sudah harus bertafakur mengucap syukur. Om Sugeng belum sampai hingga lewat tengah malam. Maminya sudah sangat gelisah di sofa ruang tamu. Rochina hampir yakin ada bara di bagian belakangnya. Atau penyakit wasir? Baru duduk, langsung melompat berdiri. Ke arah jendela. “Ro ngantuk, Mi. Tidur,ya?” “Jangan, wong ini urusannya soal kamu? Lah, malah kamu yang nggak ada. Gimana caranya, toh?” Rochina menghela napas, tapi tak kuasa melawan keinginan ibunya. Ia pasrah. Papinya curang, mengambil kesempatan untuk tidur lebih dulu. Minta dibangunkan kemudian, sementara ia tidak boleh bergerak. Sudahlah ia baru saja begadang, sekarang sudah ada kesempatan untuk istirahat tidak juga bisa tenang. Saat yang dinanti tiba, ketika bel rumah berirama lembut. Ibunya cepat-cepat menghampiri pintu depan.                                                                                        *** [1] Bahasa Sunda kasar : Bodoh [2] Ranjang pasien yang menggunakan roda

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
81.4K
bc

Dilamar Janda

read
319.7K
bc

Sang Pewaris

read
53.2K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.9K
bc

JANUARI

read
37.4K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.7M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook