Bab 4

1763 Words
Liburan di rumah kali ini jadi terasa sedikit membosankan. Hampir setiap saat papa mengingatkan untuk tidak dekat-dekat dengan Rex. Telingaku bahkan terasa panas mendengarnya. "Mau kemana?" tanya mama saat melihatku sudah berpakaian rapi. "Pengen keluar sebentar, Ma. Sumpek ada di rumah terus," balasku. Ini sudah tiga hari aku berada di rumah, dan belum pernah sekalipun keluar. Tubuhku saat ini sangat membutuhkan udara segar, terlebih otakku. Kalau begini caranya, bisa-bisa aku tidak akan menemukan ide baru untuk tulisanku. "Tidak untuk bertemu pacar kamu itu, 'kan?" selidik mama. Aku hanya membalas dengan dengusan kesal. Aku yakin mama mengerti maksudku. "Ya sudah, jangan lama-lama." Aku mencium tangan mama dan berpamitan. Dengan langkah perlahan aku menyusuri jalanan komplek yang terasa sepi. Ini memang masih jam sekolah, tidak ada anak-anak yang biasanya bermain di lapangan sepak bola. Suasana di sini tidak pernah berubah. Tiba di jalan umum, aku mengurungkan niatku untuk naik angkutan. Aku terus melangkahkan kedua kakiku. Berhubung matahari siang ini tidak terik. Rasa haus yang menyerang tiba-tiba membuatku berhenti di salah satu pedagang asongan untuk membeli minuman. Terasa sangat segar mengguyur tenggorokanku. Kakiku terus melangkah menyusuri trotoar, hingga tanpa kusadari sudah sangat jauh dari rumah. Dan lihatlah dimana aku sekarang. Ini adalah kantor Bima. Kantor yang dia rintis mulai dari nol. Sepertinya berkunjung ke tempat ini bukan ide yang buruk. "Atas nama siapa, Bu?" tanya resepsionis di meja depan. "Hana Avichayil," jawabku. Sedikit kesal karena mereka tidak percaya kalau aku ini adalah kakak Bima. Dan mereka memintaku untuk membuat janji lebih dulu. Memang sih, kami tidak memakai nama keluarga, jadi sedikit sulit di saat-saat seperti ini. Wanita itu kemudian berbicara melalui intercom. Dan seketika itu juga aku bisa melihat wajahnya sedikit pucat dan dia mulai gugup. "Mari Bu, saya antarkan," katanya setelah meletakkan gagang telepon. Ingin rasanya tertawa melihat sikapnya. Tapi memang hal seperti ini harus melekat pada dirinya selama dia masih tetap bersikap sopan. Bukan ingin terlalu membanggakan adikku itu, tapi dia memang sangat dipuja banyak gadis-gadis di luar sana. Hal seperti ini bisa saja terjadi. Kulihat Bima sedang sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya. "Lagi banyak kerjaan?" tanyaku. Ia mengangkat wajahnya melihatku. Tersenyum manis seperti biasanya tapi satu tangan memijat pelipisnya. "Seperti biasa Kak. Ada angin apa, tumben main kesini?" Aku menggeleng. "Tadi lagi jenuh aja di rumah mulu. Masa iya liburan ngurung diri di kamar." Bima tertawa kecil. "Aku juga tidak bisa ajak Kakak jalan-jalan. Kakak tau, ini akhir bulan. Banyak yang harus aku kerjakan." Aku mengerti. Aku pernah merasakannya saat dulu sempat bekerja di salah satu perusahaaan. Walau hanya tiga bulan saja. "Lagupula Kakak hanya ingin berkunjung saja," balasku. "Baiklah. Kalau Kakak butuh sesuatu bisa minta pada Rena." Aku tau. Rena adalah sekretarisnya yang tadi juga aku lihat sedang sibuk di mejanya. Kami pernah beberapa kali bertemu saat Bima membawanya ke luar kantor. Kalau untuk di kantor ini, aku memang baru sekali pernah mengunjungi tempat ini. Itu sebabnya wanita yang bekerja di meja resepsionis tadi tidak mengenaliku. Bima kembali berfokus pada dokumen di hadapannya. Sementara aku memilih untuk melihat-lihat ruangan sang direktur muda ini. Bisakah aku menyebutnya seperti itu? Walau ini bukan perusahaan besar, tapi itu adalah benar-benar jabatannya. Direktur Utama. Menyenangkan sekali membayangkannya. "Kakak benar-benar serius dengan pria itu?" tanya Bima membuatku menghentikan kegiatanku yang sedang menelusuri ruangannya. Aku menghela nafas. "Kakak tidak pernah mempunyai hubungan apa-apa dengannya. Kakak bahkan kaget saat dia mengatakan seperti itu sama papa. Kakak pikir dia benar hanya ingin mengantar Kakak saja. Bertamu seperti tamu pada umumnya. Kakak sendiri juga tidak enak menyuruhnya langsung pulang." "Lalu bagaimana?" Aku menatapnya geli. "Bagaimana apanya? Lagipula papa sudah mengatakan menolak. Apa yang harus dipermasalahkan lagi?" Bima menautkan jemarinya. Raut wajahnya telihat lebih serius. "Cowok itu kebanyakan kalau sudah terlanjur suka maka akan berjuang mendapatkannya. Apa yang Kakak lakukan jika dia seperti itu?" Kulangkahkan kakiku menuju sofa dan mendudukkan diri disana. Sepertinya ini benar-benar serius. "Apa mungkin dia akan berani melawan papa?" tanyaku. Sebenarnya ada sedikit perasaan aneh saat memikirkannya. Bagaimana jika Rex benar seperti itu? Di pertemuan pertama saja, dia sudah seberani itu. Mengeluarkan apa yang memang terasa mengganjal di dalam pikirannya, meski diberi tatapan tidak suka. Kualihkan isi pikiranku dengan mengambil cemilan kacang yang ada di toples. "Dan kekuatan cintalah yang lebih sering jadi pemenangnya." Kesal dengan kalimat Bima, aku melemparkan kacang di tanganku ke arahnya dan tepat mengenai jidatnya. "Tapi Kakak tidak cinta sama dia." Bima terkekeh dan mengusap keningnya dimana kacang tadi mendarat dengan sempurna. "Hati-hati, Kak. Banyak korban seperti itu. Awalnya benci, malah jadi cinta," godanya. Kekuatan cintalah yang lebih sering jadi pemenangnya. Kalimat itu terngiang lagi di telingaku. Apa mungkin Rex jatuh cinta padaku? Aku menggelengkan kepala. Menyangkal kemungkinan itu. Tidak mungkin hal itu terjadi. Bahkan, sejak awal dia yang menolakku secara langsung. Dan aku? Aku hanya sekedar mengaguminya saja. Tidak lebih. Dan keberaniannya terhadap papa patut kuacungi jempol. Dua jempol. Lalu apa yang akan memenangkannya? Hei, kami juga tidak mempunyai hubungan apa-apa. Tidak ada yang harus diperjuangkan dan dimenangkan di sini. Suara ketukan di pintu menghentikan pembicaraan kami. Menatap bersamaan ke arah pintu. Sosok Rena muncul dari sana setelah mendengar kata 'masuk' dari Bima. Di tangannya ia membawa tumpukan dokumen lagi. Astaga! Kasihan sekali adikku ini. Tapi dia memang punya otak jenius untuk hal itu. Sampai-sampai kadang membuatku malu menjadi kakaknya. "Ini bahan untuk pertemuan hari ini, Pak." Rena meletakkan dokumen itu di meja Bima. "Tamu dari pihak investor baru tiba di lobi," jelas Rena melihat kebingungan di wajah atasannya itu. "Oh, astaga. Saya hampir lupa," pekik Bima dan menepuk jidatnya. "Bawakan saja ke ruangan pertemuan," perintahnya dan langsung diangguki Rena. Hei, aku baru saja memujinya jenius, kenapa dia langsung mempermalukanku dengan sikap seperti ini? Tidak, dia bukan pelupa. Ini pasti hanya karena pekerjaannya yang sedang menumpuk. Lagian, punya sekretaris kenapa tidak diingatkan kalau ada pertemuan sekarang? Apa perlu aku yang melakukannya?  Bima terburu merapikan penampilannya. Menyambar jas yang dia sampirkan di kursi kebesarannya. Setengah berlari menuju ruangan di belakang yang aku tadi periksa kalau itu adalah toilet. Dia muncul lagi setelah beberapa menit. "Kak, aku tinggal sebentar ya," katanya dan langsung berlalu tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya menarik sudut bibirku melihat dirinya seperti itu. Ternyata sosok sempurna adikku bisa hilang di saat-saat tertentu, dan kembali sempurna dalam sekejap. Dia benar-benar kloningan papa. Sementara aku lebih seperti mama. Tidak sepenuhnya, karena aku sendiri bingung darimana asal sifatku yang mudah goyah ini. Merasa bosan menunggu pertemuan Bima dengan tamunya, aku membuka komputer yang ada di mejanya. Mungkin sekedar berselancar di dunia maya atau membaca sesuatu yang bisa menambah wawasan, atau mungkin memunculkan ide baru untukku. "Bima!" Teriakan wanita yang menyebut nama adikku itu disusul oleh munculnya sesosok wanita dari balik pintu. Wajahnya terlihat sembab, seperti sehabis menangis. Ada kilatan amarah juga di wajah itu. Bukan. Dia bukan kekasih Bima bernama Kirana Amalia itu. Dia adalah... "Sarah?" tanyaku menatap wajah teman lamaku itu. Dia adalah teman kelas semasa SMA-ku dulu. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Padahal dia bukanlah orang senang mengurung diri di rumah. Bahkan dia akan stres jika hal itu terjadi. Dia gadis yang panjang kaki, senang berjalan-jalan. "Hana?" Dia balas menyebutkan namaku. Ternyata dia masih mengingatku juga. Perlahan dia masuk ke ruangan dengan mata yang masih mengitari seisi ruangan seperti sedang mencari keberadaan Bima. Hingga akhirnya dia duduk di sofa yang tadi kududuki. "Jadi kau wanita simpanan pria b******k itu?" Owh, apa yang sedang terjadi saat ini? Kenapa gelar adikku berubah menjadi pria b******k? Dan apa sebenarnya hubungan mereka berdua? "Apa maksudmu?" tanyaku pura-pura bingung. "Tidak usah berlagak polos deh. Aku tau kau memang perempuan seperti itu." Dia memasang wajah kesal dan marahnya. Tunggu. Apa yang dia bicarakan sebenarnya? Aku tidak mengerti sama sekali. Aku menarik nafas, mencoba untuk tetap tenang. Tidak terbawa emosi yang pastinya akan bisa menghancurkan ruangan ini beserta seluruh isinya. Juga tubuh kami tentu saja. Sudah jelas ini adalah salah paham. "Tunggu. Apa yang kau maksud? Aku, aku perempuan seperti apa? Dan kenapa kau menyebut adikku b******k?" Sarah terdiam. Wajahnya melongo tidak percaya. "Bi—Bima adikmu?" tanyanya kaget. Bisa saja. Tidak ada teman SMA yang mengetahui hal itu, kecuali dia adalah teman SMP-ku juga. Dan Sarah bukan salah satu dari teman SMP, jadi pasti tidak tau akan hal itu. Dulu saat duduk di bangku SMA, aku tidak mengijinkan Bima berada di sekolah yang sama denganku. Hei, bagaimana aku bisa membiarkannya berada satu kelas denganku? Mau taruh dimana mukaku? Aku adalah seorang gadis yang sedang dalam masa pencarian jati diri saat itu. Mulai mengagumi lawan jenis, dan hal-hal remaja lainnya. Dan ya, Bima mengambil kelas percepatan saat masih duduk di bangku SD dan SMP. Dua kali melakukannya, dia malah jadi se-level denganku yang lebih dulu dua tahun duduk di bangku sekolah. Demi menjaga perasaanku, dia tidak pernah melakukannya lagi. Dan jadilah kami lulus bersamaan hingga di bangku kuliah. Dia yang memiliki jiwa yang lebih dewasa dibandingkanku menerimanya dengan mudah. Bahkan karena ada perasaan bersalah, dia menjadi pelindungku. Adik yang baik, bukan? Tapi jangan jatuh cinta padanya jika kalian tidak ingin sakit hati. Dia tidak akan tergoda. Aku kenal betul dengannya. Seluruh hatinya kini telah menjadi milik seorang gadis bernama Kirana yang beruntung itu. "Ya," balasku mantap. "Apa yang kau lakukan di sini?" ulangku. "Dan kenapa wajahmu seperti itu?" Dia terlihat sedikit gugup. Jemarinya saling meremas. "A—aku hamil," lirihnya dengan kepala tertunduk. "Kau sudah menikah? Kenapa tidak mengundangku?" tuntutku. Dia mengangkat wajahnya, kemudian menggeleng lemah. Satu tangannya terangkat dan menyapukan air mata yang kembali jatuh dari pelupuk matanya. "Aku hamil anak Bima." "Apa?" Aku melotot kaget ke arahnya. Tidak mungkin. Bima tidak mungkin melakukan hal sehina itu. Aku sangat kenal adikku itu. "Ini anak Bima," ulang Sarah sambil memegangi perutnya yang masih rata di penglihatanku. "Aku tidak percaya," balasku dan tertawa sumbang. Dan Sarah, seingatku dia bukan orang yang melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia adalah gadis yang bersahaja. Tidak mungkin beberapa tahun terakhir ini dia berubah jadi seperti itu. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Aku menggelengkan kepalaku mengusir semua pemikiranku. "Aku kesini ingin meminta pertanggung jawaban Bima," lanjut Sarah tanpa mengerti apa yang sedang aku pikirkan. "Tapi kau tidak terlihat seperti sedang hamil," sergahku. Hanya kalimat itu yang mampu terpikirkan olehku saat ini. Dan, bodoh! Kalau masih di bulan-bulan awal tentu saja belum terlihat. Sarah membuka tas yang dibawanya, mengeluarkan sesuatu dari sana. Dia membawakan amplop coklat itu ke arahku dan meletakkannya di hadapanku. "Ini buktinya kalau kau tidak percaya." Dia berbalik dan duduk kembali di sofa. Tanganku sedikit bergetar membukanya. Bagaimana jika benar dia tengah mengandung, dan itu adalah anak dari adikku? Kulihat sebuah foto yang aku tau adalah hasil USG. Kemudian selembar kertas di dalamnya. Aku membukanya dan membaca dengan seksama. Dia bahkan membuatkan surat keterangan kalau dia sedang hamil? Astaga! Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan keluarga kami? Pikiranku kembali melayang pada sosok orang tuaku. Bisa-bisa papa terkena serangan jantung tiba-tiba jika mendengar anak pintarnya itu telah menghamili seorang wanita. Dan mama, tidak akan jauh beda. Paling sedikit pingsan saat mendengarnya. Kami terdiam. Aku tidak ingin mengeluarkan kalimat apapun sekarang. Dan Sarah yang tadi sesekali mengoceh kini juga ikut diam. Mungkin karena kesal aku tidak membalasnya. "Kak—"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD