1. Well of Winter

1303 Words
Inggris, Desember 2010 Langit tertutupi awan membuat udara di Kota London terasa lebih dingin. Meski salju belum turun, seorang wanita memperbaiki posisi sarung tangan yang dipakainya agar pas dan dapat menghalau rasa dingin yang menusuk. Bulan desember selalu membuatnya mengusap kedua tangannya agar tetap hangat. Wanita itu dengan gelisah melirik jam tangannya seolah terburu oleh waktu. Namun kegelisahannya itu bertambah ketika ponselnya berbunyi. Ia menarik napas sejenak sebelum mengangkat panggilan dari ayahnya, Thomas. "Halo Ayah?" "Kau sudah di bandara?" Suara berat laki-laki yang bertanya lembut dengan pelan. "Ya, sebentar lagi akan berangkat."  "Aku tidak tahu kenapa kau malah meminta liburan ke Denmark untuk hadiah kelulusanmu," ujar Thomas membuat putrinya itu mengigit bibir bawah, menahan rasa gugup sekaligus cemas. "Aku ingin merasakan bagaimana berada di negara yang katanya salah satu negara paling bahagia di dunia," ujar wanita itu sambil terkekeh kecil. Thomas ikut tertawa pelan. "Baiklah aku mengerti, berhati-hatilah dan seperti aku akan sulit menghubungimu, karena akan bertugas di salah satu daerah terpencil di perbatasan Yordania." "Tentu saja, Ayah juga berhati-hati di sana." "Baiklah, aku akan merindukanmu. Cepat naik ke atas pesawat." Wanita itu memutus panggilan terlebih dahulu. Ia kemudian bangkit dari kursi besi, namun sebelum melangkah sambil menarik kopernya, ia membuka passpornya terlebih dahulu. Megan Charoline Guietto. Itulah nama yang tertulis.  Megan menarik napasnya sebelum melangkah pergi. Ia sebentar lagi akan terbang ke Norwegia. Benar, dirinya membohongi Thomas bahwa akan berangkat ke Denmark. Mau bagaimana lagi, ayahnya yang bekerja sebagai tentara aktif sangat melarangnya mengunjungi Norwegia, padahal masa kecilnya dihabiskan Negara Skandinavia tersebut. Bukan tanpa alasan Megan mendatangi Norwegia, bahkan jika dilarang oleh Thomas. Itu semua bermula dari sebuah buku yang dikirimkan kepadanya setelah resmi lulus dari bangku kuliah. Buku yang tak seharusnya pernah dikirimkan. Buku yang nama pemiliknya adalah Helena Varie Guietto. Helena yang merupakan kakak perempuannya yang meninggal sepuluh tahun yang lalu. Megan telah berusaha keras mencari siapa yang mengirim buku tersebut. Namun ia tidak berhasil, satu-satunya yang kini coba dilakukannya adalah mendatangi Norwegia. Buku yang diterima seperti sebuah diari, di mana Helena seolah menuliskan kehidupan masa remajanya di sana, tepatnya pada Kota Bergen. Ia yakin dirinya juga berada di masa itu, tetapi masih kecil dan belum mengerti apa-apa.  Anehnya, Megan membaca tulisan Helena seolah kakak perempuannya itu berada pada masa yang lampau dan tulisan itu terputus tepat setelah Helena menuliskan bahwa wanita itu jatuh cinta kepada hal yang tidak seharusnya. Sebenarnya Megan juga sedikit penasaran mengenai penyebab kematian Helena. Thomas hanya bercerita bahwa Helena meninggal, karena sakit. Namun seingatnya tentang Helena, kakak perempuannya itu sangat sehat dan aktif.  * Setelah menempuh perjalanan di atas udara selama beberapa jam, Megan akhirnya sampai di Ibu Kota Norwegia bernama Oslo. Seperti Ibu Kota lainnya, kota tersebut ramai dan sangatlah modern. Hanya saja ia ingatan masa kecilnya tidak terlalu berguna untuk benar-benar bisa beradaptasi pada kota tersebut. Untung saja ia masih cukup fasih berbahasa Norsk, meski ia telah mendengar bahwa orang-orang Norwegia cukup fasih juga berbahasa Inggris. Oslo bukanlah tujuan utama Megan. Ia masih harus melanjutkan perjalanannya, melainkan adalah daerah Hardanger yang berada dekat dengan kota terbesar kedua di Norwegia, yaitu Bergen. Namun kali ini Megan memutuskan mengisi perbekalannya di Kota Oslo dan sambil menyusun rencana untuk tinggal di mana jika telah sampai di Hardanger nanti. Megan memandang perbukitan berselimut salju dari balik kamar hotelnya. Berada di Negara Skandinavia membuatnya teringat akan sosok Luvita--ibunya yang berasal dari Norwegia. Ibunya yang meninggal bahkan sebelum dirinya bisa belajar berlari dengan benar. Awalnya Thomas mengajak Luvita untuk tinggal di Inggris, tetapi setelah kelahiran Megan, ia tidak tega harus selalu meninggalkan istri dengan anaknya. Oleh karena itu, ia membawa Luvita kembali ke Norwegia di mana terdapat saudara perempuan Luvita bernama Ariana yang bisa menemani istrinya itu. Namun setelah Helena tiada, ia membawa kembali Megan ke Inggris. Keesokan paginya Megan mulai bersiap untuk menuju Bergen. Udara dingin tidak menyurutkan niatnya untuk tetap berangkat. Ia memilih memakai pesawat yang memiliki waktu tempuh hanya kurang lebih satu jam untuk sampai. Selanjutnya ia melanjutkan dengan memakai kereta api menuju Hardanger. Sebenarnya ia mengetahui bahwa Ariana--bibinya masih tinggal di Bergen. Hanya saja dirinya berniat berkunjung nanti setelah kembali dari Hardanger. Megan memegang buku catatan milik Helena di tangannya. Ia sesekali membaca ulang tulisan kakak perempuannya itu sambil menoleh ke arah jendela. Namun pemandangan pegunungan yang tampak curam dan berbatu, tertutupi salju membuat matanya selalu takjub. Belum lagi jika jalur kereta melintasi sungai kecil di mana air mengalir. Pemandangan yang menurut Megan tidak akan pernah ia jumpai di Kota London yang setiap harinya ramai dan hanya terdapat bangunan saling berdempet atau gedung pencakar langit. Sembari membaca tulisan Helena, salah satu bagian menarik perhatian Megan.  Terkadang aku merasa ini tidak nyata, namun ternyata bukan mimpi. Tak ubahnya dia tampak seperti pria lainnya. Namun ketika bulan bersinar, jati dirinya mulai menampakkan siapa dia sebenarnya. Aku tahu ini berbahaya, namun aku juga tidak bisa jauh darinya. Megan menarik napas dalam. Ia jelas mengerti bahwa tulisan tersebut mengarah pada persoalan asmara Helena. Namun penggambar yang terdengar begitu puitis membuatnya penasaran, siapakah sosok dia dalam tulisan Helena tersebut? Perjalanan yang membutuhkan dua jam akhirnya membawa Megan sampai di Hardanger. Ia yang telah memesan hotel yang dekat dengan Hardangerfjord. Dalam tulisan Helena banyak yang menggambarkan keindahan fjord, sebuah teluk akibat lelehan gletser yang membentuk danau terhubung ke laut di antara tebing-tebing yang terjal. Begitu Megan melihat langsung fjord yang dimaksud oleh Helena. Kini ia merasa takjub dan terpukau. Setelah menaruh koper dan berganti pakaian ia segera menikmati makan siang di restoran yang berada di dalam hotel. Meski tubuhnya terasa lelah, namun ia tidak ingin menyia-yiakan kesempatan untuk terlelap pada siang hari yang terlihat cerah. Megan memakai pakaian yang lebih tebal dan berniat untuk berjalan-jalan di luar. Tidak cukup jaket yang tebal, ia juga memakai syal, sarung tangan, kaus kaki dan sepatu boots serta kupluk untuk menutupi kepalanya. Sebelum masuk ke dalam kamarnya tadi, Megan mendengar bahwa bagian belakang hotel terdapat sebuah pedesaan kecil di mana penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Ia dengan rasa penasaran kemudian menuju ke desa tersebut setelah berhasil menyewa sebuah sepeda yang disediakan oleh pihak hotel. Untung saja jalanan tidak selalu ditutupi oleh salju, sehingga membuat Megan cepat sampai ke pedesaan yang berada di pinggir pantai. Salah satu penduduk yang mengetahui bahwa Megan merupakan turis asing kemudian disuguhkan sebuah minuman yang terdiri atas campuran anggur, vodka, brendi dan rum. Membuat minuman tersebut langsung menghangat tubuh Megan. Megan juga mendengar beberapa kisah tentang pedesaan yang sudah lama ada serta cerita bangsa Viking yang memang terkenal berasal dari Norwegia. Namun karena penduduk tersebut harus kembali berlayar, akhirnya Megan memutuskan tur secara mandiri. Ia terus berjalan menjauh dari arah pantai menuju bagian pedesaan yang lebih dalam. Ketika akan pulang Megan tidak sengaja melihat papan nama desa tersebut yang kemudian familier di kepalanya. Namun seketika ia sadar bahwa itu adalah salah satu nama tempat yang disebutkan dalam buku catatan Helena. Ia pun membuka tasnya di mana ia membawa buku tersebut dan mencari halaman tentang tulisan yang memuat desa bernama Dasford. Dada Megan berdebar kala membaca bagian di mana adanya hutan Jazmore yang berada setelah desa Dasford. Ia seketika memacu sepedanya menuju hutan yang dimaksud Helena, berbekal tulisan, bukan peta digital pada ponselnya. Setelah sampai, dirinya hanya menemukan pepohonan yang tinggi, namun salah satu hal menarik perhatiannya. Yaitu tampak seperti reruntuhan bangunan di mana pada bagian tengah terdapat sebuah sumur. Megan melihat sumur tersebut airnya hampir mencapai bagian atas, namun menjadi beku karena musim dingin. Sumur yang memiliki ukuran pendek membuatnya berjalan pada pinggiran sumur tersebut. Perlahan kakinya melangkah pada bagian yang membeku. Senyum langsung terukur di wajahnya begitu berhasil melakukannya, ini pengalaman pertamanya berdiri di atas sebuah sumur yang membeku. Namun ternyata itu menjadi awal petaka bagi Megan. Sumur yang airnya membeku tampak begitu kokoh dan mustahil cair bahkan jika musim dingin berganti ke musim semi. Setidaknya perlu beberapa hari, namun ternyata air membeku tersebut retak seperti kaca dan menjadikan tubuh Megan terjatuh ke bawah. Mata Megan membola bisa merasakan tubuhnya yang mulai basah, perlahan menjadi dingin yang menusuk tak tertahankan dan sebelum pandangannya memudar. Ia mengingat bahwa kenapa dirinya melangkah ke atas sumur beku tersebut, karena Helena menuliskan hal seperti itu juga dalam buku catatannya. ♧♧♧
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD