Chapter 1

1130 Words
Laki- laki itu mencengkram kuat pergelangan tangan Rani, gadis itu memejamkan matanya dan mendongak, mulutnya terbuka sedikit mengeluarkan desahan- desahan tidak tertahankan. Sesuatu bergejolak di perutnya, serta di bagian bawah tubuhnya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “J-jovi,” panggil Rani, ia mencoba melepaskan kedua tangannya yang ditahan oleh Jovi, laki- laki yang sudah menjadi kekasihnya selama enam bulan terakhir. Rani membuka matanya, ia menggigit bibirnya dan merapatkan kedua kakinya. Ia tahu, seharusnya ia tidak pernah melakukan hal ini dengan pacarnya, atau dengan siapa pun itu. Jika sampai orang tuanya tahu, hal ini akan menjadi alasan mereka untuk meminta Rani mengundurkan diri dari dunia entertainment. “Jovi,” panggil Rani dengan tegas, hal yang dibenci oleh Jovi karena menurut laki- laki itu, jika Rani sudah mengeluarkan nada tegasnya kepadanya, hal itu membuat Jovi merasa diperintah olehnya. Jovi yang saat ini sudah sampai di dadda gadis itu mendongak, dan menatap Rani kesal. “Stop it,” pinta Rani, “I just need a kiss, not this.” Jovi mendengus, ia bangkit lalu melepaskan cengkramannya dari tangan Rani. Laki- laki itu berbaring di sebelahnya. “Kamu nggak sayang sama aku ya?” tanya Jovi, ia bertanya dengan nada yang sangat tenang, namun jelas hal itu membuat Rani kesal. Hubungan mereka berdua sudah jelas ditentang oleh kedua orang tua Rani, serta abangnya. Alasannya? Karena Jovi adalah seorang vokalis suatu band, ia memiliki tato dan bahkan Jovi sering kali bersikap tidak sopan. Namun meskipun begitu, orang tua Rani masih mengizinkan anak gadis itu untuk menjalin hubungan dengan Jovi. Berharap, Jovi akan berubah seiringnya waktu. Namun tidak dengan abangnya, Bayu. Bayu sering kali menganggap Rani masih adik kecilnya yang sangat imut dan perlu ia lindungi terus menerus, dan sering kali pula Bayu merasa Rani tidak semestinya menjalin hubungan dengan seorang brandal seperti Jovi. Rani tertawa sinis, “Nggak sayang kata kamu? Cuma karena aku nggak mau ngelakuin itu?” tanyanya kesal. Jovi menghela napasnya, “Ya iyalah, kamu mikirin apa sih? Keperawanan kamu? Atau apa?” tanyanya. Rani mengerutkan dahinya dan menatap Jovi dengan marah, “Jov,” ujarnya, “I really love you, I do. Tapi kalau soal virginity, no. Aku nggak mau melakukan itu sebelum menikah.” Jovi menggeleng, “Aku nggak yakin soal itu,” katanya. Rani kembali menyatukan kancing- kancing kemejanya yang sempat dilepaskan oleh Jovi, lalu ia mengikat rambutnya. “Iya, aku juga nggak yakin kamu sayang sama aku karena bisa- bisanya kamu ngajak aku make love dan mengentengkan masalah soal virginity aku.” Rani bangkit, ia lalu mengambil tasnya dan segera keluar dari apartemen Jovi. Sudah beberapa kali ini Jovi selalu memintanya untuk melakukan hal itu, hal yang sangat- sangat ia hindari ketika terjun ke dunia entertainment. Sudah banyak contoh sebelumnya yang ia ketahui, karena banyak sekali artis yang sudah kehilangan keperawanan mereka sejak mereka berkarir. Dan, Rani tidak mau hal tersebut terjadi kepadanya. Rani menyalakan handphonenya, lalu segera menghubungi Bella, asistennya. Ia bahkan tidak peduli ketika Jovi keluar dari apartemennya dan mencoba mengejarnya. Rani berencana tidak akan menghubungi pacarnya itu hingga Jovi sendiri yang meminta maaf kepadanya. “Bel, lo di mana?” tanya Rani. “Di café bos, bosen di mobil.” “Yaudah, cepetan deh ke mobil. Gue mau cabut,” kata Rani yang langsung mematikan teleponnya dan menuju mobilnya yang berada di basement. Setiap kali Rani bertemu dengan Jovi, ia pasti menyuruh Bella untuk tetap stand by di lokasi yang dekat dengan tempatnya dan pacarnya itu bertemu. Sering kali Rani memberikan uang jajan lebih untuk Bella nongkrong dan menunggunya. Namun biasanya sih, Bella selalu menabungnya jika Rani memberikannya uang jajan lebih. Tidak butuh waktu lama Rani menunggu di depan mobilnya, Bella datang dengan tergopoh- gopoh sambil membawa dua gelas ice coffee di tangannya. “Tumben cepet,” kata Bella berkomentar, ia lalu memberikan satu gelas ice coffee tersebut untuk Rani. “Jovi ngeselin,” jawab Rani, ia lalu mengisyaratkan Bella untuk buru- buru membuka pintu mobil dan pergi dari tempat tersebut. “Ada masalah sama Jovi?” tanya Bella. Rani menyedot ice coffeenya, “Bukan hal penting,” katanya. Bella mengerutkan dahinya, “Terus kenapa lo sungut- sungut gini?” Rani menghela napasnya, enggan dan tidak akan pernah membicarakan soal alasan ia bertengkar dengan Jovi kepada Bella sama sekali.  “Jadwal gue setelah ini apa?” tanyanya. “Lah kan lagi libur bos,” jawab Bella, “istirahat aja di rumah, ketemu bang Bayu sama mama papa,” saran gadis itu kepada Rani. Ah, mama dan papa nya. Sudah satu bulan lebih ia tidak pulang ke rumah, hanya Bayu lah yang rutin menanyakan kabarnya dan mengunjungi apartemen atau lokasi syutingnya. “Oke,” ujar Rani menyetujuinya, karena meskipun mama dan papanya belakangan ini sedang sinis karena banyak sekali reporter entertainment yang jika bertemu mereka sudah pasti menanyakan soal hubungan Rani dengan Jovi. Biasanya, mama dan papanya itu hanya bisa menjawab ‘kita lihat saja nanti’ atau alasan- alasan lainnya mengenai hubungan Rani dan Jovi. Mereka juga tidak ingin membuat nama Rani buruk di mata reporter tersebut, maka dari itu, mereka tetap bersikap baik kepada reporter tersebut. Sesampainya di rumah yang sejak kecil ia tinggal itu, ia tidak bertemu siapa pun kecuali asisten rumah tangga ibunya yang Bernama bu Yayuk. Bu Yayuk sempat menawarkan Rani makan malam, namun gadis itu menolaknya lantaran belum lapar. Ia langsung mengajak Bella untuk segera pergi ke kamarnya di lantai dua, yang tepat berada di sebelah kamar abangnya yang masih tinggal di rumah tersebut. Lebih tepatnya, Bayu dilarang oleh orang tuanya untuk menyewa apartemen dan tinggal sendirian. Alasannya? Tidak ada yang tahu termasuk Bayu sendiri yang memilih menuruti semua kemauan kedua orang tuanya. “Abang lo mana Ran? Kok nggak keliatan?” tanya Bella kepada Rani, yang memang sudah lama sekali Bella naksir berat dengan Bayu. Rani lompat ke tempat tidurnya, ia berbaring. “Nggak tau deh,” katanya yang memang tidak mengetahui di mana keberadaan abangnya. Bella sekali lagi menghela napas, menegtahui bosnya ini moodnya sama sekali belum balik seperti sedia kala. Biasanya, Rani tidak seperti ini jika yang dihadapinya adalah suatu masalah kecil yang tidak akan merubah apa pun dalam kehidupannya. Tapi kal ini, Bella yakin, Rani menghadapi hal yang cukup serius. Rani bukanlah tipe perempuan menyebalkan yang moodnya berubah- ubah sangat cepat. Mungkin bisa dibilang, Rani adalah perempuan yang cukup ceria dan ramah kepada siapa pun. Karena tidak ingin mengganggu Rani, Bella memilih duduk di sofa yang ada di pojok kamar Rani, dekat dengan pintu menuju balkon. Gadis itu membuka sosial medianya untuk melihat berita- berita terbaru. “Lo tau kan, Edgar? Edgar Malik?” tanya Bella, “dia cinlok lagi! Sama Clara Jane, lawan mainnya di sinetron!” Mendengar nama itu, Rani semakin badmood dibuatnya. Sepertinya Bella tidak ingat bahwa Edgar lah yang membuat hidupnya benar- benar berubah seratus delapan puluh derajat!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD