Frustasi

675 Words
Merasa tak ada gunanya melihat kondisi Lisa dari balkon, Mas Bagas akhirnya berlari ke luar. Dia pasti ingin memastikan keadaan wanita itu sekarang. Aku pun sangat penasaran, hingga kupaksa keluar kamar dengan berjalan gontai turut melihat keadaan Lisa di bawah sana. Jujur, baru ini batinku dipenuhi rasa bersalah pada wanita itu. Meski kenyataannya ini bukan salahku. Tak menyangka jika Lisa punya keberanian begitu besar mengakhiri hidupnya. Di mana kata-kata sombongnya dulu, yang mengatakan dia adalah istri baik-baik yang terdzolimi. Sampai di luar banyak orang mengerumuni Lisa. Apa dia masih hidup? Tidak mungkin, dia jatuh dari lantai 20, kemudian terbentur di lantai lain, lantas terhempas hingga ke lantai dasar. Di tiap lantai itu kan ada balkon, tubuhnya memantul dan jatuh ke lantai dasar. Lisa masih hidup dengan tubuh yang bersimbah darah, napas tersengal, menatap redup ke arahku. Aku sangat takut! Apa dia akan mengatakan pada semua orang bahwa akulah penyebab bunuh dirinya? Aku terus menatap ke arah Lisa yang sekarat. Hingga tak lama, tubuhnya kejang-kejang dan tak lagi bergerak sama sekali. "Innalillahi waa inna ilaihi rojiun." Suara orang-orang bersahutan dengan pertanyaan dan pernyataan berbeda-beda. "Siapa pelakunya?" "Apa dia bunuh diri?" "Apa dia didorong?" Sedang Mas Bagas sibuk dengan teleponnya. Entah siapa yang dia hubungi? Keluarga Lisa? Keluarganya? Polisi atau ambulan? Aku tak tahu. Pikiranku tengah kalut. Ditambah tatapan semua orang yang bergantian melihat ke arah Lisa, ke arah Mas Bagas dan aku. Mungkin karena kami bertiga memakai pakaian pengantin, mereka jadi berpikir semua ini ada hubungannya dengan kami. "Ra." Suara Mas Bagas membuatku terhenyak. "Ya?" sahutku dengan bibir bergetar. "Sebaiknya kamu kembali ke kamar," bisiknya sambil melirik ke arah orang-orang. Tampaknya dia mengerti bahwa tatapan mereka tengah mengintimidasiku. "Hah?" Tak mungkin aku kembali ke kamar sendirian setelah apa yang terjadi. Aku pun menggeleng. Menolak apa yang Mas Bagas usulkan. "Nggak Mas, aku gak mungkin balik ke sana." "Ya, sudah kamu pulang aja dulu, ya. Selesai mengurus Lisa, aku akan segera menyusul." "Ya." Dengan ragu langkahku menjauh meninggalkan kerumunan, mengikuti Mas Bagas yang mencarikan taksi untukku. _____________ [Dasar pelakor jahat! Hidupmu akan menderita selamanya karena membuat Lisa bunuh diri] [Pelakor, ke laut aja loe anj*ng, bangs*t!] [Dzolim banget lo, Laura. Harusnya lo aja yang mati bukan Lisa, istri pertama Bagas!] Kulemparkan ponsel setelah mematikan layarnya dengan paksa. Tak kuat membaca cacian orang-orang aneh yang tak tahu duduk perkara hubungan kami. "Mas kamu udah cerai kan sama dia? Kenapa dia sampai berani masuk ke kamar kita?!" Suaraku meninggi. "Diamlah Laura! Kamu pikir semudah itu mengurus cerai?! Lagian kalau aku cerai dengannya, pikirmu dari mana aku dapat uang untuk memenuhi nafsu dan jiwa sosialitamu itu, hah!" Mas Bagas malah balik menyalahkanku. Aneh sekali! Aku mau menikah dengannya karena selama ini kupikir mereka sudah cerai. Kalau begini semua orang akan menyebutku pelakor, menikahi pria yang jelas-jelas masih bersitri. Dan lebih gila, istrinya bunuh diri di malam pertama kami. Sampai sekarang saja aku tak berani mengaktifkan ponsel karena banyak nomor baru menerorku dengan kalimat makian dan bully. Mereka pasti teman-teman Lisa. Argh! Aku benar-benar frustasi karena kejadian ini. Pernikahan yang kupikir akan jadi awal kebahagiaanku, rupanya awal dari bencana besar yang telah menunggu. "Mas kok jadi nyolot gitu, sih?! Selama ini kan kamu kerja, Mas! Emang kamu malak Lisa?!" "Itu karena kamu berlagak sok gak paham pada keadaan, Ra! Setidaknya berempatilah sedikit atas kematian Lisa, dia juga masih istriku." Huft! Aku meniup berat. Bicara kasar dan menyalahkan Mas Bagas tidak akan menyelesaikan apapun. Tampaknya Mas Bagas juga sangat menyesali kejadian ini. Kenapa? Apa jangan-jangan dia masih mencintai Lisa? "Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku lemah. Otakku rasanya sangat panas dan tak lagi bisa berpikir. "Setidaknya bersihkan namaku di depan semua orang," sambungku lagi dengan mengeluh. "Bagaimana caranya?" "Aku gak tau, Mas! Yang jelas aku taunya kamu janji akan buat aku bahagia apapun yang terjadi!" tekanku pada pria yang kini telah kumiliki sepenuhnya. "Kalau gitu, jadilah ibu yang baik, Ra. Kita harus tinggal serumah dengan Kamila, agar kamu bisa menebus semua kesalahanmu." "Apa? Tinggal dengan Kamila? Menebus kesalahanku?!" Aku jelas tak terima Mas Bagas bilang menebus kesalahan. Semua ini salahnya bukan salahku! Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD