Apa yang paling menakutkan bagimu di dunia ini? Hantu? Binatang buas atau mantan yang terus bergentayangan meski telah bertahun-tahun putus?
Apapun jenis ketakutanmu di dunia ini, ada satu hal yang akan membuat seorang merasa takut hanya dengan mendengar namanya meski dia seorang awam sekalipun. Apa itu? Radiasi.
Istilah radiasi sering kali dianggap menyeramkan, sesuatu yang membahayakan, mengganggu kesehatan bahkan keselamatan. Padahal di sekitar kita ternyata banyak sekali radiasi. Radiasi dalam istilah Fisika, pada dasarnya adalah suatu cara perambatan energy ke lingkungannya tanpa membutuhkan medium, misalnya perambatan panas, cahaya dan gelombang radio ( Anies, 2007 ).
Radiasi tidak semata-mata berdiri sendiri, masih dibagi menjadi beberapa bagian seperti Radiasi Hambur ( berhubungan dengan deviasi atau hamburan ), radiasi Pengion ( berhubungan dengan ion ), Radiasi primer ( berasal dari target tabung sinar-X atau anoda ) dan juga radiasi sekunder ( keluar dari benda yang dilalui sinar-X ).
Secara singkat, kenapa Radiasi dianggap menakutkan karena radiasi cenderung merusak sel saraf yang sehat dan pembuluh darah yang kecil. Jika ini terjadi, maka akan ada beberapa dampak yang terjadi. Misalkan rambut rontok, gangguan jantung, kejang, berkurangnya jumlah limfosit darah, kemandulan dan lain-lain. Namun tidak perlu khawatir, semua itu tidak menakutkan lagi sekarang. Setidaknya, untukku demikian.
Bip bip bip.
Suara alarm dari handphone milikku itu membuatku mengerutkan kening lalu perlahan membuka mata. Aku menguap lalu mengeliat sebentar sebelum akhirnya terpaksa bangun dan menatap kosong pada sekitarku. Sebuah kamar kos yang menyebalkan, yang tidak mewah seperti ruangan apartemen atau kamar orang-orang kaya menyambut mataku yang mulai merekam dunia setelah beristirahat sejenak.
Aku bangkit dari kasur, melihat sebentar waktu yang ditunjukkan oleh handphoneku.
"Jam sepuluh," gumamku sembari merengut.
Aku tidak sedang kesal karena berhasil bangun dari tidurku, hanya merasa masih mengantuk. Aku baru selesai bekerja pukul tujuh pagi dan kembali ke kosan sekitar jam setengah delapan. Namun jam sepuluh, aku sudah harus bangun karena sesuatu yang menyebalkan. Ya, ada banyak hal di dunia ini yang menyebalkan bagiku.
Aku mengambil handuk yang tergantung di gantungan baju yang berada di belakang pintu lalu melangkah keluar kamar. Segar, udara pagi yang asri menyambutku. Aku menghela napas panjang, menyerap oksigen sebanyak yang kubisa. Setelahnya, melangkah menuju kamar mandi, bersiap memulai hari yang baru.
Selesai bersiap, memakai pakaian rapi dengan celana jeans biru dan kaos berlengan panjang berwarna senada, aku keluar dari kosan. Dengan kaki terbalut sandal yang cukup bagus, sandal obralan, aku mulai menuju sepeda motorku yang terparkir di halaman kosan. Setelah melakukan pemanasan mesin sebentar, aku pergi menuju tempat tujuan. Butuh sekitar lima belas hingga dua puluh menit perjalanan sebelum akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Aku parkirkan sepeda motorku lalu melangkah masuk ke sebuah kafe.
Begitu aku masuk, tatapan beberapa orang mulai menyerang. Well, aku tidak menyalahkan mereka yang begitu tertarik dengan penampilanku yang biasa atau mungkin keingintahuan mereka yang tak kuasa bertanya padaku mengapa rambutku berwarna merah menyala di sebelah kiri sedangkan sebelah kanan berwarna hitam. Ya, ini bukan tren, hanya sebuah percobaan yang gagal. Aku menganggapnya begitu. Ah, entahlah.
Aku merogoh kantung celanaku, mengambil handphoneku dan mengotak-atik sebentar hingga terbukalah galery. Aku klik untuk melihat sebuah foto yang Mama kirimkan tadi malam. Setelah mengamati sebentar, aku mulai memindai orang-orang di kafe yang belum cukup ramai oleh pengunjung.
Ketemu. Seorang wanita dengan pakaian resmi, terlalu resmi dan kaku menyambutku. Dia melambaikan tangannya seolah ingin memberikan isyarat bahwa dirinyalah yang harus aku temui. Setelah mencocokkan sebentar, sekadar memastikan kalau wajah wanita itu sama dengan foto yang ada di handphone milikku, aku mulai mendekat padanya.
"Rangga?" tanyanya dengan senyum tipis, memastikan bahwa aku adalah orang yang harus dia temui.
Aku mengangguk kecil.
"Saya Selvi," katanya sambil mengulurkan tangan. Ia bahkan berdiri untuk menyambut kedatanganku.
"Ah, iya," kataku seraya menganggukkan kepala, enggan menjabat tangan wanita asing yang mungkin hanya akan aku temui hari ini.
Selvi tampak kecewa, menurunkan lagi tangannya yang kuabaikan.
"Ah, duduklah!" suruhnya kemudian.
Aku mengangguk kecil lalu menyeret kursi dan duduk di hadapannya. Kami duduk berhadapan. Jika kuamati, Selvi memang wanita yang cantik seperti yang mama katakan. Tapi tidak ada yang spesial mengenai itu, toh setiap wanita memang cantik bukan?
"Sudah lama menunggu?" tanyaku sekadar berbasa-basi.
Selvi menggeleng pelan.
"Tidak, saya juga baru datang," jawabnya.
"Oh, baguslah jika begitu," ujarku merasa lega. Aku tidak mau Mama marah jika aku membiarkan reka kencan butaku menunggu lama.
Selvi tersenyum kecil, kurasa dia tipe wanita yang ceria.
"Mau pesan sesuatu?" tawarnya.
"Tidak usah," tolakku.
Aku melirik minuman di depannya, kopi.
"Hm," gumamku.
"Kenapa?" tanyanya saat tahu aku mengamati kopi yang ada di mejanya. "Mau kopi?"
"Ah, tidak," tolakku. "Suka kopi?"
Selvi mengangguk cepat.
"Suka sekali," jawabnya dengan antusias.
"Ah," kataku seraya menaik-turunkan kepalaku.
Pecandu kafein. Begitulah aku sekilas menilainya. Sejujurnya, aku tidak suka zat adiktif yang membuat penikmatnya ketergantungan dan merusak kesehatan mereka tanpa merasa bersalah pada tubuh yang sudah mereka rusak sendiri dengan menelan zat tersebut. Well, aku tidak bisa mengatakan pendapatku itu. Apapun fakta yang kukatakan soal kafein, aku hanya akan dianggap menyebalkan. Sama sepertiku yang juga memiliki anggapan sama.
"Rangga ternyata cold, persis seperti yang tante katakan," komentarnya yang membuatku mendongakkan kepalaku, menatap wajah wanita di hadapanku itu.
"Mengapa?" tanyaku penasaran bagaimana bisa dia menilaiku begitu padahal kami baru saja bertemu.
"Rangga tidak banyak bicara," jawabnya. "Padahal kita bertemu untuk kencan buta."
Aku menggaruk-garuk pelipisku.
"Maaf," ucapku pelan.
"Ah, tidak. Saya yang minta maaf karena sudah berpendapat begitu. Rangga tidak banyak bicara sehingga saya tidak tahu harus bicara apa," jelasnya tanpa diminta.
Aku menghembuskan napas kasar lalu menarik sudut bibirku untuk melengkungkan sebuah senyuman.
"Selvi, jika boleh aku tahu, apa kegiatanmu?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Saya seorang mahasiswi tingkat akhir jurusan Statistika. Setelah lulus, saya ingin mengajar atau bekerja di kantoran." jawabnya dengan antusias.
"Bagus," ucapku. "Semangat!"
Selvi mengembangkan senyuman lebar.
"Ya, terimakasih." katanya lalu menyeruput kopinya.
Ah, kafein itu masuk. Batinku membatin dan tubuhku meremang sebagai respon terhadap apa yang aku pikirkan.
"Rangga sudah bekerja bukan?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
"Kalau boleh tahu, dulu Rangga mengambil jurusan apa?" tanya Selvi penasaran atau sekadar ingin memperpanjang percakapan.
"Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi," jawabku.
"Dimana?"
"Akademi Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi ( ATRO ) Citra Bangsa, Yogyakarta."
"S1?"
"Tidak, D3."
"Oh," gumamnya sambil menaik-turunkan kepalanya.
"Susah?" katanya yang langsung membuatku menautkan alis.
"Apanya?"
"Jurusan itu," jawabnya pelan.
"Ah," gumamku mulai paham bahwa dia tidak paham dengan jurusan yang kuambil.
"Lumayan."
Hening. Tidak ada percakapan setelah itu.
"Rangga, apa pekerjaan kamu?" tanyanya kemudian.
"Radiografer," jawabku.
Selvi menautkan alisnya, sepertinya kata itu asing di telinganya. Aku tidak menyalahkannya, pekerjaanku memang tidak banyak dikenal orang.
"Radiografer?" ulangnya seolah ia tengah memastikan pendengarannya.
"Iya, saya seorang radiografer," ucapku meyakinkan bahwa tidak ada yang salah dengan pendengarannya.
"Kamu bekerja di penyiaran?" tanyanya yang membuatku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
Tanggapan dan anggapan semacam itu memang sering aku terima.
"Radiografer, semacam tukang Radio?" tanyanya lagi, memberikan komentar umum yang menyebalkan.
"Ah, bukan ya?" tebaknya karena melihat ekspresi wajahku yang mungkin kini terlihat masam.
"Maaf." Selvi merasa tidak enak padaku.
"Ah, tidak apa-apa," kataku. "Memang sudah biasa dianggap begitu."
Selvi menghembuskan napas pelan.
"Maaf, saya benar-benar minta maaf," katanya lagi. Aku rasa dia benar-benar menyesal.
"Tidak apa-apa. Memang banyak yang kurang paham istilah itu."
"Jadi, Radiografer itu apa? Bekerja di bidang apa?"
"Radiologi," jawabku.
Selvi lagi-lagi menautkan alisnya. Bingung. Namun kali ini dia tidak memberikan komentar apapun. Aku rasa dia telah belajar dari kesalahan sebelumnya yaitu jangan berkomentar ngasal jika tidak tahu mengenai sesuatu.
"Radiologi itu bukan sesuatu yang berkaitan dengan radio atau penyiaran," jelasku. "Radiologi adalah cabang atau spesialisasi kedokteran yang berhubungan dengan studi dan penerapan teknologi pencitraan seperti X-ray dan radiasi untuk mendiagnosa dan mengobati penyakit."
Selvi membuka sedikit mulutnya setelah mendengar penjelasan dariku. Entah dia mengerti atau tidak, tapi melihat pupil matanya yang melebar, dia sedikit tertarik dengan itu.
"Gampangnya, Radiologi adalah ilmu kedokteran untuk melihat bagian dalam tubuh manusia menggunakan pancaran atau radiasi gelombang, baik gelombang elektromagnetik maupun gelombang mekanik,[1]" jelasku lebih lanjut, mencoba mempermudah Selvi mencerna kata-kataku.
"Ah, saya mengerti," katanya kemudian membuatku entah mengapa tersenyum, senang jika dia bisa mengerti.
"Jadi, Rangga bekerja di rumah sakit?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan.
"Ya, kan sudah aku katakan tadi. Aku seorang radiografer."
"Bisa jelaskan lebih jauh? Saya belum mengerti betul," pintanya.
"Berdasarkan kode etik, radiografer adalah sebuah profesi yang melakukan pelayanan Radiologi kepada masyarakat, bukan profesi yang semata-mata pekerjaan untuk mencari nafkah akan tetapi merupakan pekerjaan kepercayaan.[2]"
Selvi termangu. Ya, aku rasa dia memang bingung. Aku bukan orang yang pandai menjelaskan sesuatu. Namun apa yang baru aku jelaskan adalah sesuatu yang umum, pernyataan general yang dianggap bisa membuat orang lain paham dengan penjelasan itu.
"Tugas Rangga apa?" tanyanya lagi setelah beberapa saat diam.
Aku menghela napas panjang, entah kenapa pertemuan ini mulai terasa seperti pertemuan-pertemuanku dengan wanita-wanita sebelumnya. Menyebalkan.
"Tahu tukang rontgen?" tanyaku dengan desahan napas kasar.
Selvi mengangguk.
"Ya, semacam itu." kataku.
"Ah, begitu." katanya mengangguk mengerti.
Ya, memang anggapan Radiografer sebagai tukang rontgen memang tidak salah. Karena salah satu tugas dari Radiografer adalah membuat radiograf ( foto rontgen atau hasil gambaran dari pencatatan bayangan oleh sinar-X ). Namun, pekerjaan kami bukan hanya sebatas itu. Namun menjelaskan panjang-lebar pada Selvi, kurasa bukan sesuatu yang perlu aku lakukan.
Jangan menganggap aku pamer atau sombong karena tidak mau menjelaskan suatu istilah dengan anggapan umum, hanya saja, pengetahuan tidak akan datang sendiri. Jika penasaran dengan sesuatu, teruslah mencari tahu. Karena mempelajari sesuatu yang tidak dipahami, itu menyenangkan. Kamu akan menganggapnya berharga begitu menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui itu. Jangan malas untuk belajar sesuatu yang baru.
"Kalau begitu, aku permisi," pamitku lantas bangkit dari dudukku.
"Lho?" Selvi terhenyak heran.
"Mau kemana, Rangga?"
"Pulang," jawabku sekenanya.
"Kenapa? Kamu minder karena cuma tukang rontgen?" tanyanya yang entah kenapa membuatku semakin kesal dan ingin segera pergi dari sana.
"Ya, pikirkan saja sesukamu," jawabku singkat.
"Katakan pada mamaku jika dia menelpon kalau kamu menolak perjodohan denganku karena tidak cocok. Jangan menyinggung apapun soal pekerjaanku," kataku setengah menasehatinya.
Selvi mendecih pelan.
"Kamu malu huh? Atau sudah merasa hebat? Pekerjaanmu? Apa hebatnya dengan itu? Siapa kamu sampai harus mengatur apa yang harus aku katakan?" Selvi tampak marah, sifat aslinya mulai terlihat. Dia memang seperti kafein. Awalnya terlihat menyegarkan, lama-kelamaan mematikan.
Aku memasukkan kedua tanganku ke saku celana. Malas.
"Ya, terserah apa maumu. Jika alasanmu soal pekerjaan, mamaku pasti akan memakimu, jadi aku mengingatkanmu lebih dulu agar tidak malu. Jika tidak percaya padaku, kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau," jelasku panjang-lebar.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu," pamitku lalu berjalan pergi.
Langkahku terhenti untuk menoleh sebentar ke arah Selvi yang meluapkan kekesalannya dengan memukul meja dan menjambak-jambak rambutnya. Kesal. Kafein memang buruk bagi manusia. Tidak hanya untuk tubuh, tetapi juga untuk sifat manusia. Walau kebanyakan, tidak ada yang peduli soal itu bahkan meski sudah tahu akan dampak buruknya. Pesona kafein memang sangat memikat.
Radiografer bukan hanya soal "tukang rontgen" tapi lebih dari itu. Seorang radiografer juga harus bisa menganalisa hasil radiograf yang dihasilkan dari segi kuantitas gambaran bukan diagnosa klinis. Untuk itu, seorang radiografer juga harus memiliki kemampuan untuk bisa menghasilkan gambaran yang jelas dan akurat sebelum gambaran itu terbentuk. Jadi, seorang radiografer harus bisa memperhitungkan faktor-faktor apa saja yang akan membuat hasil gambaran radiografi sesuai dengan permintaan dokter dan klinis pasien sehingga tidak ada istilah "coba-coba".
Sekadar tukang rontgen? Jangan buat aku tertawa. Radiografer memegang peranan yang penting dalam menentukan apa yang salah dengan tubuh manusia. Hasil yang jelek dan tidak akurat serta kesalahan dalam pembuatan gambar akan membuat dokter radiologi salah dalam mendiagnosa penyakit pasien. Jika itu terjadi, dampak buruk bahkan ancaman kematian bisa terjadi. Oleh karena itu, seorang Radiografer dituntut untuk teliti, disiplin dan profesional.
Di samping itu, berkecimpung dengan alat-alat radiasi setiap hari yang bisa memberikan dampak buruk baik bagi si radiografer itu sendiri maupun pada pasien, membuat kemampuan dan keahlian seorang radiografer harus dipastikan. Kami harus bisa meminimalisis kesalahan dalam proses pemeriksaan. Karenanya, sama seperti dokter yang menempuh pendidikan teori dan berbagai praktek untuk bisa menjadi tenaga medis yang diakui, radiografer juga begitu.
Aku membuka pintu kafe dan mendongakkan kepala, menatap langit luas yang berada di depanku. Rasanya segar tatkala angin mulai menyentuh pori-pori kulitku.
Saat sebuah pesan dari mama masuk ke handphone milikku, menanyakan bagaimana hasil kencan buta pagi ini. Aku hanya mengirimkan balasan singkat.
Rangga Aditya George
Fail.
Peace :)
Setelah itu, aku pergi ke parkiran, mengambil sepeda motorku lalu pergi meninggalkan kafe. Rencananya, tiba di kosan aku akan tidur lagi sebelum shift kerjaku tiba, masih mengantuk. Hari ini melelahkan.
Well, I'm proud about my job. Although there are many people still asking question," Who are you?" even I said who am I to them. But, if you wanna know. I will answer the question once again.
I'm radiographer, partner of health.