(2) Bab Satu

1995 Words
                                            ---     Keraguanku terhadap kamu menghilang sendirinya karena perilakumu yang manis kepadaku, tapi itu semua tidak bertahan lama, saat aku melihat dengan mata kepalaku, kamu mengkhianatiku dengan tega.                                             --- Sudah lewat dua minggu murid kelas sepuluh di Sekolah Menengah Atas Kartika Putri melakukan kegiatan MOS, yang artinya kini sama saja dengan, Gita sudah berada di kelas sebelas, karena Gita sudah memasuki SMA Kartika Putri dari satu tahun lalu. Mungkin, di sini banyak yang salah sangka dengan nama SMA Kartika Putri, SMA kartika Putri adalah SMA yang tetap menerima murid laki-laki, hanya saja Yayasan SMA Kartika Putri membangun sekolah SMA baru dengan nama Kartika Putra, dikarenakan, kepala yayasan sekolah ini adalah dua besaudara, yang bernama Putra dan Putri, itulah sebabnya nama SMA ini diambil dari nama pemegang yayasannya tersebut. Gita hampir saja membuang poselnya ke depan papan tulis, kalau tidak suara Lidia memecah konsentrasi Gita yang ingin melemparkan ponselnya karena kesal, Gita benar-benar ingin melampiaskan amarahnya dengan cara melemparkan ponselnya itu, sungguh, amarah Gita rasanya sudah sampai diubun-ubun, dan memberontak ingin keluar, mencari plampiasan. "Mau ngapain?" Tanya Lidia dengan suara yang tegas, kepada perempuan yang sudah memajukan mulutnya, cemburut, itu. Gita menarik kembali tangannya, ia sungguh tengah dibuat kesal karena Alvin, pacarnya yang sudah menjalin hubungan dengannya hampir satu tahun lebih itu tidak mengangkat panggilannya, padahal ini masih pagi hari, jam setengah tujuh pagi, masa ia Alvin sudah belajar, rasanya tidak mungkin. Gita masih saja memajukan mulutnya, seolah tengah mengadu kepada Lidia, tentang apa yang tengah ia alami. "Alvin enggak jawab telpon gue," jawab Gita. Lagi, selama beberapa hari ini selalu hal itu saja yang dikeluhkan oleh Gita kepada Lidia di pagi hari buta seperti ini, hanya karena Alvin -- pacarnya yang sudah pindah kota ke Jakarta itu tidak menghubunginya atau terlambat menjawab panggilan telpon dari Gita, padahal Lidia tahu, sehabis ini beberapa menit kemudian Alvin akan menghubungi Gita lagi, dan mood Gita akan membaik, semua apa yang dikatakan Gita tentang laki-laki itu, sebelum menerima panggilan dari Gita, tentang amarah Gita kepada laki-laki itu kana sirnah, hanya karena suara dari Alvin yang terdengar di telinga Gita, sungguh, Gita benar-benar bucin sekali. Mungkin karena perbedaan waktu, Alvin dan Gita agak susah melakukan komunikasi, tapi bedanya hanya satu jam sih, bukan berjam-jam juga, dan menurut Lidia, itu bukan lah hal besar, yang perlu Alvin dan Gita perdebatkan. "Eh, getar ponsel gue, Lid," teriak Gita kegirangan saat merasakan benda yang tengah ia genggam itu bergetar, menandakan ada notifikasi atau panggilan masuk ke ponselnya. Lidia yang mendengar itu hanya bisa memutar males matanya, sudah pasti itu Alvin, yang menghubungi Gita, karena tadi telpon dari Gita tidak sempat diangkat oleh Alvin, yang mungkin tengah sibuk, atau baru bangun tidur. Gita melepaskan ponselnya seketika, wajahnya yang tadi ceria karena menerima notifikasi, kini berubah tercengang, saat ia terkejut dengan sembuah gambar yang ia terima. Lidia bisa menebak, bahawa notifkasi yang membuat Gita kegirangan tadi itu bukan lah dari Alvin, "Kenapa, Git?" Tanya Lidia yang sudah melihat air mata Gita tiba-tiba terkumpul di pelupuk matanya. Selain memiliki sifat yang suka marah-marah mendadak, Gita memang termasuk dalam perempuan yang cengeng dan mudah sekali mengluarkan air matanya. Gita itu cengeng! Apa-apa nangis, apa-apa sedih, bahkan ia pernah menangis hanya karena tidak bisa mengerjakan soal bahasa Inggris, ada-ada saja memang perempuan itu. Suara Gita rasanya terhenti di tenggorokannya, tidak bisa keluar dan benar-benar harus ia paksa. "Alvin …” Gita menyebutkan nama laki-laki itu dengan mulut yang bergetar. “Nyelingkuhin gue lagi," lirih Gita, dan bersamaan air matanya yang turun. Gita sama sekali tidak menyangka, bahwa kesalahan yang sudah pernah Alvin lakukan padanya kini terulang kembali, rasanya, keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama sebanyak dua kali, dan harusnya, Gita yang memiliki otak lebih cerdas dari binatang itu harusnya lebih pandai dari seekor keledai. Kini Lidia benar-beanr dapat melihat semua air mata yang Gita tampung di pelupuk matanya, jatuh satu persatu, tak lama terdengar isakan kecil dari Gita hingga semua air mata itu membanjir wajah Gita yang sudah ai sembunyikan di bawah lipatan tangannya. Lidia mau tidak mau menarik Gita ke dalam pelukannya, kejadian seperti ini sudah yang ke tiga kali terjadi selama Gita dan Alvin menjalin hubungan, Gita sudah dibohongi dan diduakan atau entah diselingkuhi keberapa perempuan oleh Alvin, Lidia benar-benar tidak tahu akan hal itu, ia tahu, tapi tidak tahu pasti. Terdengar u*****n kecil di dalam pelukan Lidia, Lidia tahu sekarang pasti Gita mengumpat kepada dirinya sendiri kenapa ia mempercayai Alvin lagi, padahal jelas-jelas, beberapa bulan yang lalu, sebelum Alvin dan Gita berpisah kota, karena Alvin harus pindah ke luar pulau, Gita dengan mata kepalanya melihat Alvin selingkuh! Melihat Alvin menyatakan perasaanya kepada perempuan lain, dan perempuan itu menerima pernyataan cinta Alvin, sungguh, itu benar-benar terjadi di depan mata Gita. Ck! Kalau saja yang jadi Gita itu Lidia, maka Lidia sudah memastikan cowok seperti Alvin sudah habis dari Bumi pertiwi nan indah ini, dan Lidia sendiri tidak habis pikir tentang manusia yang tengah ia peluk ini, Gita benar-benar memiliki hati yang lebar dan luas, memaafkan kesalahan Alvin sebanyak dua kali dengan hal yang sama, benar-benar termasuk pilihan yang bodoh bagi Lidia. Oke, memaafkan orang lain memang hal yang bagus, memang hal yang patut kita lakukan kepada siapa pun, tapi, memberika kepercayaan sebanyak dua kali, dengan orang yang sudah mematahkan kepercayaan kita, bukan lah hal yang tepat bagi Lidia. Harusnya, dengan kejadian ini terulang sebanyak dua kali, Gita bisa lebih mengerti dan memahami, bahwa, memaafkan, beda dengan memberikan kesempatan sekali lagi. *** Gita hanya termenung di tempatnya, kini semua tatapan Gita terkumpul seutuhnya di langit-langit kamarnya yang berwarna hitam. Percaya tidak percaya, perempuan seperti Gita itu menyukai tempat yang gelap, berlatar dinding warna hitam, atau sepi, hingga kamarnya sendiri pun berwarna hitam, memang aneh, tipe perempuan cengeng seperti Gita ini kamarnya malah gelap, tidak berwarma cerah, bahkan berwarna pink, menurut Gita hitam memiliki aura yang berbeda dari warna lainnya. Tidak seperti perempuan lain, Gita memang suka warna yang gelap, kata Gita, tidak akan pernah ada langit cerah sebelum langit berwarna hitam. Sama sepeti kehidupan, tidak akan ada kebahagian, canda dan tawa, sebelum kamu melewati tangis, dan derai air mata terlebih dahulu, walau siapa pun pasti tidak ingin merasakan kesusahan itu. Gita menarik napanya, saat kepalanya kembali teriyang semua kenangannya bersama dengan Alvin, salah satunya saat Alvin dengan suka rela menembus hujan petir untuk mengantarkan roti untuk tugas MOS Gita saat masuk di SMA Kartika Putri. Flasback on. "Masa aku disuruh beli roti itu buat bawaan besok ke sekolah, Vin," teriak Gita dari seberang sana yang memekikan di telinga Alvin, melalui telpon suara itu. Alvin menggelengkan kepala, suara Gita yang sangat-sangat tembus di gendang telinganya. Alvin tertawa kecil, ia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ia dan Gita berhadapan, bisa-bisa gendang telingan Alvin pecah. "Yaudah, aku aja yang beliin gimana?" Tanya Alvin menawarkan diri. Bagaimana pun Gita sekarang sudah menjadi pacarnya, kebahagian Gita maka kebahagiaan Alvin juga, kalau nanti besok Gita tidak membawa apa yang dikatakan oleh pembimbimng MOS, maka Gita pasti akan dihukum, dan pasti malamnya Gita akan menelpon Alvin, dan marah-marah sendiri, lalu lebih parahnya Gita bisa saja menangis, bukan kah itu sama saja menyakiti Alvin juga? Gita menggeleng di seberang sana. “Enggak mau ngerepotin kamu, kita kan jauh." Giat menjawab dengan sungguh-sungguh, jarak rumah mereka jauh, dan saat ini sudah malam, Gita tidak ada niatan untuk minta dibelikan oleh Alvin, Gita hanya menceritakaan apa yang dialaminya saja, Gita tidak mau manja kepada pacarnya itu, walau siapa pun pasti tahu, bahwa Gita adalah perempuan yang manja. Senyum Alvin terbit begitu saja saat mendengar begitu indahnya suara Gita yang tidak mau merepotkan Alvin, tapi Alvin dan Gita itu mempunyai satu persamaan yang mutlak; mereka sama-sama keras kepala, dan rasanya itu lah yang membuat Alvin dan Giat cocok untuk bersama, terkadang dua orang yang tidak mau mengalah dalam hubungannya, membuat hubungan itu lebih berwarna, mereka sama-sama tidak mau mengalah dalam apa yang menjadi kebahagiaan pasangannya, sama-sama tidak mau kalah dalam memberikan hal terbaik untuk pasangannya. "Tunggu satu jam lagi, ya," kata Alvin lalu mematikan sepihak telpon yang terjalin itu. Jujur, awalnya Gita sangat bahagia karena Alvin memang benar datang ke rumah Gita membawakan roti yang sama seperti kata pembimbing MOS itu, yang sebenarnya sudah Gita cari di daerahnya tidak ada, tapi satu hal yang membuat Gita membenci kelakuan Alvin malam itu. Alvin pulang larut malam, dan itu membuat Gita khuwatir kepada laki-laki itu. Bukan hanya jarak yang jauh, diantara rumah Alvin juga rumahnya, Giat mengkhuwatirkan laki-laki itu, karena Gita tahu ia dan Alvin masih terlalu dini untuk menjalin hubunga, mereka masih kekanak-kanakan, dan sungguh, Gita benar-benar khuwatir tentangnnya dan hubungannya bersama dengan Alvin. Besok paginya Gita sangat ingat, Alvin tidak masuk sekolah karena kesiangan, larut malam tiba di rumah, dan Alvin berlum bisa tidur, hinggu laki-laki, yang sama, tengah melakukan MOS itu kesiangan, dan menurut Alvin, lebih baik tidak masuk sekolah sekalian, daripada kesiangan. "Kan, kamu enggak sekolah gara-gara aku, gara-gara rumahku terlalu jauh ya?" Tanya Gita lagi, yang tak kunjung berhenti mengkhuwatirkan laki-laki itu. Alvin menggelengkan kepala, memang inilah yang sangat susah dari keduanya, rumah mereka berjarak dua puluh lima kilo meter, membuat Alvin mau pun Gita harus menempuh jarak kira-kira satu jam baru bisa ke rumah pasangan masing-masing, atau baru bisa bertemu, itu memang menyulitkan, tapi, kadang perasaan tidak mengenal jarak dan waktu, dan berduanya sudah mengiyakan itu sejak awal menjalin hubungan. "Iya terlalu jauh," jawab Alvin sejujurnya. Lagi-lagi suara tidak suka Gita menggema di balik telpon, keadaan Alvin juga sama dengan keadaan Gita sekarang, ia sangat tidak suka dengan jarak yang memisahkan mereka. Tapi, mau bagaimana lagi, bukankah tanpa ada jarak, rindu takkan berarti? Bukankah tanpa ada jarak, pengerbonan untuk bertemu tidak ada artinya, bukankah tanpa jarak, usaha untuk mengeratkan hubungan, mempercayai satu sama lain, tidak pernah berarti? LDR, atau yang bisa dibilang dengan Long distance relationship rasanya memang hanya untuk orang-orang yang kuat, walau untuk hubungan yang dekat, juga pasti banyak alas an untuk berpisah, alasan untuk bertengkar, tapi terkadang yang lebih menyakitkan dari hubungan LDR adalah, saat kita tidak bisa mendukung pasangan kita melalui nyata, kita hanya bisa memberikan semangat via komunikasi, via alat bantu seperti telpon, sungguh rasanya berbeda kalau saja ada pasangan di samping kita. "Maafin aku ya?" Kini suara Gita semakin mengalun indah di telinga Alvin. Jujur saja, Alvin suka Gita, ia menyayangi Gita, sangat-sangat menyayangi perempuan muda itu malahan, tapi satu hal yang kurang dari Gita yang membuat Alvin kadang berpikir untuk meninggalkan Gita, Gita kurang perminim hanya itu saja, karena jujur Alvin menyukai wanita kalem, Gita memang kalem, tapi, perempuan itu lebih banyak cengengnya, tidak bisa diam juga, dan selalu merengek, kadang, Alvin sering kali berpikir, bahwa Gita bukan lah perempuan yang pas di hatinya, tapi, selama ini Giat membuktikan, bahwa Alvin tidak bisa berpaling darinya, Alvin memilihnya, dan tidak meninggalkannya, hanya sekedar kata bosan terdengar di mulut Alvin. Alvin terkekeh lalu mengatakan kalimat penenang bagi Gita yang sedang mencaci jarak diantara mereka. "Gita, sejauh apa pun kamu, ingat aku akan setia di sini, di hubungan ini, jadi jangan risau ya." Flasback off. Semua air mata Gita tumpah begitu saja di pipi Gita, rasanya, Gita tidak cukup untuk menangis waktu tadi siang, saat mengetahui apa yang terjadi dengan Alvin di kota yang berbeda dengannya itu, Gita masih tidak rela dengan kenyataan yang pahit ini, lagi, yang kembali terulang lagi ini. Kenyataan bahwa hubungannya dengan Alvin akan berhenti seperti ini, berhenti dengan atas nama penghianatan ini, sungguh tak pernah terpikirkan oleh Gita lagi, kemarin, saat Alvin melakukan ini padanya, Gita pikir itu adalah kali terakhir Alvin melakukan itu padanyam Gita pikir, setelah ini Alvin akau menyadari, bahwa dalam hubungan apa pun, mencari orang ke tiga, sebagai apa pun alasannya bukan lah perbuataan yang baik, dalam hubungan itu adalah perbuatan yang tercela, yang sama sekali tidak boleh dilakukan, bisa dikatakan itu adalah perlakuan yang haram. Gita menarik napasnya dalam-dalam, bibirnya bergetar karena terlalu keras menangis. "Gue bakal bunuh lo Vin,” ucapnya dengan nada terbata-bata, menguatkan dirinya bahwa ia bisa membunuh laki-laki itu. “Gue bakal benar-benar mematikan lo dari kehidupan gue," lirih Gita sebelum ia menyapu air matanya yang kembali jatuh karena laki-laki itu. Gita percaya, bahwa ini adalah kali terakhir Alavin menyakitinya, setelah ini, tidak aka nada lagi Alvin di hidupnay, hubungannya dan Alvin berakhir karena kepercayaan Gita yang sudah kembali diinjak-injak oleh laki-laki itu. Alvin, tidak pernah dan tidak akan bisa mendapatkan kesempatan dari Gita, lagi.                                         ----
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD