bc

THE PASSIONATE WOMAN

book_age18+
216
FOLLOW
1K
READ
HE
friends to lovers
inspirational
drama
bxg
realistic earth
betrayal
coming of age
spiritual
shy
like
intro-logo
Blurb

Bianca Cook menikahi Albizar Fatih, duda dari Ratna Widjati--sahabatnya. Mereka menikah dan terlihat bahagia dengan kelahiran Alesha sementara Ratna wafat meninggalkan Farid Kamajaya, suami barunya.

Farid yang masih belum bisa melupakan Ratna merasa jika semesta berlaku tidak adil padanya. Keluarga Albizar berbahagia, sedangkan Farid harus kehilangan dan menderita.

Nyatanya kehidupan Bianca tidak baik-baik saja, Alesha harus bertahan dari penyakit mengenaskan dan hanya Farid yang selalu ada di sampingnya.

Lantas bagaimana dengan Farid? Rasa yang berbeda hadir, terlebih setelah Bianca menyandang status janda. Apakah Bianca akan luluh dengan kenyamanan yang ditawarkan Farid atau malah trauma untuk memulai hubungan baru?

chap-preview
Free preview
BAB 1
BAHAGIA lahir lewat cara sederhana, demikian ungkapan yang sering Bianca Cook dengar. Benar bukan, keluarga kecil tertawa di taman. Laki-laki muda asyik bermain bola dengan putranya sementara perempuan yang usianya kira-kira sebaya, duduk di bawah pohon hanya berjarak sepelemparan batu, menonton anak dan suaminya. Keluarga kecil yang bahagia. Tak peduli sekencang apa pun token PLN meraung minta diisi atau tagihan air harus segera dilunasi, yang jelas Bianca menganggap mereka bahagia. "Boleh buka jendela, Bu?" Gita meminta. Keadaannya membaik. Beberapa jam lalu dia mabuk perjalanan. Beruntunglah perutnya mau saja diredakan oleh obat hasil beli di minimarket. "Buka aja." Bianca mematikan AC mobil. Sekali lagi mengawasi pasangan tampak bahagia dan anak laki-laki berusia 2 tahun. Langkahnya oleng seperti dewa mabuk. Ibunya pasti menguatkan hati agar tidak menangkap si anak untuk kemudian kembali didekap. Bagaimana pun setiap orang tua harus tega membiarkan anaknya tumbuh dewasa dengan berbagai risiko. "Kapan-kapan saya mau ke sini ah sama Mamah, Papah, dan adik-adik," celetuk Gita, tatapannya terarah ke taman besar. "Nggak sama pacar, Git?" "Masih jauhlah, Bu. Kayaknya duluan Ibu menikah," balas Gita. Aneh juga kenapa dia bisa yakin padahal belum pernah melihat atasannya menggandeng pacar. Bianca mencelus. Seminggu ini dia merasa bahagia karena diundang oleh Ikatan Pengusaha Fashion Indonesia atau IPFI. Level bahagia Bianca memang berbeda dibandingkan perempuan lain yang mendambakan pernikahan. Bagi wanita ambisius, kebahagiaan sejati adalah ketika hasil kerja kerasnya menuai hasil dan diakui. Namun, celetukan asal karyawannya berhasil mengusik sudut hatinya. "Saya nggak akan menikah," ucap Bianca. Kisah cintanya terlalu rumit, sampai-sampai dia sendiri tidak yakin benang kusut ini dapat terurai. Delapan tahun Bianca memendam cinta pada laki-laki yang sama. Merelakan tubuhnya dinikmati tanpa ikatan sah oleh suami sahabatnya sendiri. Pernikahan? Mungkin tunggu sampai Mongol Stress mencalonkan diri jadi presiden. "Aduh, saya doakan Ibu dapat jodoh. Ibu akan menikah sama orang yang sayang Ibu dan Ibu sayang juga kok. Bener deh." Benar-benar optimis. Gita tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Bianca cukup bijaksana untuk tidak menanggapi dan mencegah pembicaraan melebar pada privasi. Dia mengarahkan mobil ke portal hotel bintang lima di Kota Hujan. Gita memandang berkeliling penuh kekaguman. Sadar diri untuk menutup mulut, menahan celotehan kampungan. Nama Bianca sudah didaftarkan oleh penyelenggara seminar. Bahkan dia diberi kamar khusus mengingat statusnya sebagai narasumber. Cantik, muda, dan sukses. Bukankah seharusnya mudah mendapatkan suami? Seorang porter menawarkan jasa membawa koper mereka, untuk kemudian mengantar ke kamar yang telah disiapkan. Begitu pintu lift terbuka, Bianca berpapasan dengan seorang pria berpakaian serba putih, mulai dari celana panjang, kaus polo berkerah, juga topi di kepala. "Mbak Bianca?" Muhammad Sumarsono, ketua IPFI terkenal sukses. Mengekspor batik tulis ke Eropa dan Amerika, bekerja sama dengan brand top dunia. Hartanya jangan ditanya, begitupun syahwatnya. Menurut gosip, istrinya tiga. "Senang bertemu Anda, Pak Muhammad Sumarsono. Saya Bianca Cook." "Wah, kita beruntung bisa bertemu di sini. Istri saya sangat menyukai rancangan Anda." "Sebuah kebanggaan rancangan saya bisa disukai oleh Ibu Fatimah." Tentu Bianca ingat nama istri ketiga Muhammad Sumarsono yang merupakan langganan tetapnya. Di usia tak lagi muda, berusaha menyenangkan hati suami agar tidak ada istri keempat. "Saya mau ke bawah," ucap Muhammad Sumarsono memperlihatkan tas besar berisi stik golf yang dibawa asistennya. "Mbak mau ikut?" "Terima kasih undangannya. Tapi saya harus bersiap-siap." Muhammad Sumarsono biasanya paling susah menahan diri kalau melihat wanita cantik. Bianca berbeda. Ada aura wibawa yang menerbitkan rasa segan siapa pun. "Baiklah. Sampai jumpa besok. Saya sedang ada janji dengan teman." Langkah mereka berlanjut ke depan pintu kamar. Bianca menempelkan kartu akses ke alat pemindai. Lampu mungil berwarna merah berubah jadi hijau. Bianca membuka pintu. Portir itu meletakkan koper di sudut ruangan. "Layanan kamar bisa dihubungi di nomer 111," kata porter sebelum pergi. Bianca mengulurkan uang untuk tips. "Di mana restoran? Saya belum sarapan." "TeSusanti kasih. Restoran ada di lantai dua." "Oke kalau begitu." "Selamat beristirahat, Bu." Bianca menutup pintu. Gita yang sejak datang sudah mengagumi hotel ini tak dapat lagi membendung gejolak jiwanya. "Waaahhh!" pekik Gita, tanpa malu-malu lagi menjelajah kamar. Begitu luas, Bianca minta disiapkan dua ranjang agar tidak mengganggu istirahat. Meskipun diinfirmasikan ada sofa besar yang bisa dijadikan tempat tidur, dia tetap tidak tega, bahkan ngotot mau membayar sendiri. Syukurlah Fatimah Sumarsono berhasil melobi suaminya. Bianca mengikuti ke mana saja Gita berkeliling. Karyawannya itu melewati televisi besar, membuka dinding kaca sebagai pembatas balkon yang menampilkan pemandangan Gunung Geulis serta hamparan rumput hijau dan kolam renang. "Apa kita boleh berenang?" tanya Gita antusias. "Boleh." Gita berdiri di balkon. Menimbang apakah dia harus berenang atau tidak. "Nggak jadi deh, Bu. Keenakan mereka dong dapat tontonan gratis," ucapnya sambil menunjuk gerombolan laki-laki tak jauh dari sana. Bianca berkacak pinggang, bersandar di dinding waktu Gita masuk ke kamar mandi. "Wah, luas banget kamar mandinya. Ada buat berendam lagi. Sabunnya juga wangi." Gema suara Gita terdengar. Bianca geli jadinya. Karyawannya gampang sekali disenangkan. "Gila mewah banget." Gita keluar lalu berdecak kagum. "Berapa ya, Bu tarifnya per malam?" "Saya nggak tanya. Nikmati saja." "Makasih banget ya, Bu, sudah izinin saya ikut. Saya beruntung. Kalau nggak kerja sama Ibu, saya nggak akan ngerasain nginap di tempat kayak gini." "Sama-sama. Kamu pegawai saya yang paling setia. Ikut membesarkan Venusian Lingerie dari nol. Suatu hari kamu bakal sukses." Gita tersenyum, dia menyukai bosnya yang selalu memberi semangat. "Sekarang kita ngapain dulu nih, Bu?" "Buka koper, keluarin baju saya, gantung aja dulu di lemari. Setelah itu kita cari makan." "Nggak usah, Bu. Saya udah kenyang." Gita membawa beberapa mi instan dalam kemasan gelas. Sarapan di restoran pastinya mahal. "Nggak usah khawatir, nginap di sini sekalian dapat sarapan. Kalaupun nggak dapat, saya yang ajak kamu, maka saya yang bayarin, Git." Bianca tahu karyawannya itu sudah pasti mencemaskan harga makanan di hotel ini. "Beneran, Bu?" Gita sungguh tak menyangka keberuntungannya tak habis-habis. Bianca mengganti high heels dengan sandal jepit. Restoran hotel yang tadi disebut Ketua IPFI rupanya masih penuh. Anak-anak orang kaya berlarian diikuti pengasuh. Bianca memindai ruangan untuk mencari meja kosong. Gita merapatkan sweater-nya. Gadis itu tidak cocok dengan udara dingin. Sedangkan Bianca masih mengenakan celana panjang yang dipadupadan dengan tunik berlengan tiga per empat. "Eh itu ada yang udah selesai makan," Gita menujuk arah pukul 2. Bianca lega akhirnya mereka bisa mengisi perut. Kondisi Gita mengkhawatirkan. "Git, tolong ambilin saya salad. Kasih kentang ya buat karbohidrat." "Siap, Bu." Gita segera meluncur ke meja prasmanan mengambil menu menggugah selera. "Maaf, apa saya boleh bergabung? Hanya untuk satu orang." Bianca mendongak. Laki-laki berperawakan sedang berdiri setengah membungkuk. Senyumnya sopan. Tatapan matanya tidak kurang ajar. Rambutnya dipotong cepak seperti Ji Chang wook saat menjalani wajib militer. T-shirt abu-abu dan celana jins yang dikenakannya menambah kesan santai. Laki-laki ini memakai sneakers keluaran lokal. "Silakan," sahut Bianca. Meja lain memang penuh. "TeSusanti kasih." Laki-laki itu kemudian mencuci tangan lalu bergabung dengan para tamu lain. Dia mengambil nasi beserta lauk-pauknya. Bianca ingin memprotes. Gula darah bisa langsung melonjak kalau makan karbohidrat sebanyak itu. Belum lagi tempura udang. "Ini, Bu." Gita menyodorkan sepiring salad untuk Bianca dan pasta untuk dirinya sendiri. Laki-laki itu datang lagi, duduk di samping Gita. "Git, buat sarapan tuh jangan langsung makan berat. Nanti gula darah kamu naik." Gita menyengir saja. "Mumpung gratis, Bu." "Mbak pasti jaga kesehatan ya," komentar laki-laki tadi. "Selagi muda kan?" Bianca tersenyum simpul. Laki-laki tadi mengangguk, lalu menunduk. Mereka menikmati hidangan dalam diam. Tanpa ada yang menduga jika Bianca dan lelaki tersebut kembali berada di meja yang sama beberapa jam kemudian pada acara seminar.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook