Part 1 - Bujangan atau Duda?

1206 Words
Sroott... Bomin mengeluarkan cairan yang sejak tadi menyumbat hidungnya dan melempar tisu yang ia gunakan ke lantai kamar barunya. Ia berguling ke kanan dan kekiri. Menyesali cinta pertamanya yang pupus beberapa hari yang lalu. Tok tok tok... "Masuk." gumam Bomin. Eunjin masuk sambil membawa nampan makanan. Tersenyum kecut melihat kekacauan kamar ini. Ah sudahlah, lagipula bukan Bomin namanya kalau tidak mengacau. Eunjin meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja rias Bomin, "Ayo makan. Aku membuatkan nasi goreng Kimchi kesukaanmu."  Bomin menarik selimutnya untuk menutupi wajahnya. Eunjin menaikkan sebelah alisnya bingung melihat kelakuan sahabat sekaligus adik dari kekasihnya itu. Eunjin menghela nafas dan mulai mengomel, "Kau benar-benar tak seperti Bomin yang kukenal. kemarin kau tak makan siang. Malamnya kau tidak ikut makan malam. Lalu sekarang tak sarapan? Sejak kapan karung beras sepertimu menolak makanan?"  Bomin masih tak bergeming. Eunjin mencoba menyingkirkan selimut dari wajah Bomin. Namun sahabatnya itu memegang selimutnya erat. Setelah cukup lama saling tarik menarik, Eunjin akhirnya menyerah dan menjatuhkan bokongnya di pinggir ranjang Bomin. "Cukup sudah! Aku akan meminta Kak Junho mengembalikan uang sewa dan membatalkan kontraknya!"  Bomin segera melepaskan selimutnya dan mencengkram tangan Eunjin. Baiklah, ia memang patah hati karena ternyata pria setampan Byungjin sudah punya dua anak. Tapi tetap saja dia masih ingin melihat pria itu. "Hei, kau apakan wajahmu? Kenapa jadi mirip alien begini?" Eunjin terkejut melihat wajah Bomin. Mata gadis itu yang sejak memang sipit kini semakin sipit karena bengkak. Ditambah hidung merahnya yang semerah tomat. Eunjin tak merasa dirinya berlebihan karena menyamakan gadis itu dengan alien sekarang. "Kim Eunjin. Aku patah hati... Hiks.. Hiks.." Bomin menaruh kepalanya di pundak sahabatnya itu. Eunji mengernyit, "Ada apa denganmu? Kau patah hati? Oleh siapa? Setahuku kau tak pernah berkencan dengan mahluk 3D manapun selama beberapa tahun ini." "Ini semua karena kekasihmu. Seandainya dia tak menyewakan apartemenku pada pria tampan, hiks. Seharusnya dia sewakan pada paman gendut berkepala botak dan berperut buncit saja!" rengek Bomin. Eunjin tahu alasan lain mengapa Junho melakukannya. Kekasihnya itu memang membuat kriteria penyewa 'harus lajang dan berwajah tampan' di iklan sewa apartemen Bomin. Itu semua dilakukan dengan niat untuk mencari jodoh untuk Bomin agar gadis itu tak mengganggu mereka lagi.  "Bukannya bagus?" "Ya, bagus. Bila itu pria lajang. Tapi ini ... Dia bahkan punya dua anak! Duaaa!" Bomin menaikkan dua jarinya di depan wajah Eunjin. Eunjin meringis, sepertinya ada kesalahan di sini. "Tapi di datanya ia belum menikah."  "Itu lebih parah lagi! Bagaimana kalau dia itu pria b******n yang menghamili wanita dua kali tanpa menikahinya?" jerit Bomin. Bomin kembali berbaring dan menutupi wajahnya. Merasa bersalah, Eunjin memilih keluar dari kamar itu. Tiba-tiba ia merasakan ada yang memeluk pinggangnya. Ia menahan senyumnya. "Kak, jangan begini. Ada Bomin disini." Eunjin berpura-pura protes. Junho mengabaikan protes Eunjin dan malah mengeratkan pelukannya. Ia menaruh dagunya di pundak kekasihnya.  "Dia masih belum mau makan?" tanya Junso. Eunjin mengangguk lesu. "Sudahlah tak usah pikirkan dia. Nanti juga keluar sendiri kalau lapar." Junso menghiburnya. Duakkk... "Hei!" Junho berteriak kesal. Ia melepas pelukannya pada Eunjin dan mengambil gelas plastik yang tadi mendarat di bahunya. Ia menoleh dan mendapati Bomin yang berdiri di belakangnya. "Ups, maaf aku tak sengaja." ucap Bomin tanpa rasa bersalah. Ia kembali masuk ke kamarnya. "Aisshh, ada apa dengan gadis itu!" Junho mencebikkan bibirnya kesal. "Maklumi saja. Dia sedang patah hati." ucap Eunjin. Junho mencibir, "Patah hati? Gadis tanpa darah dan air mata itu? Kukira dia hanya punya dua emosi. Senang dan marah." "Kau pikir salah siapa itu? Kau saudaranya bukan? Hiburlah dia." Junho melambaikan tangannya, "Menghiburnya? Tidak, terimakasih. Lebih baik kau memanggil badut-badut piaraannya untuk menghiburnya."  "Pergi atau kau tidur diluar malam ini?" ancam Eunjin. Junho mendesis dan dengan enggan memasuki kamar Bomin tanpa mengetuk. Ini sudah kebiasaannya agar Bomin tahu itu dia. Lagipula Park Bomin adiknya. Untuk apa bersikap sopan? "Hei, Park Bomin ada apa denganmu? Tak biasanya kau murung begitu. Bersemangatlah." ucap Junho dengan nada malas. "Pergilah. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu." usir Bomin. Park Bomin sepertinya benar-benar patah hati.Junho cukup terkejut melihat peristiwa langka ini. Baiklah, ia akan berbaik hati untuk menghiburnya kali ini. "Ingin kunyanyikan sebuah lagu? Ini kudengar saat aku ke Indonesia. Setelah kau mendengar lagu ini kau pasti akan bersemangat," "Byungjin masih bujangan atau sudah duda? Baik katakan saja jangan malu. Memangnya mengapa Byungjin harus malu. Bomin tentu dapat tuk membedakannya. Katakanlah saja yang sesungguhnya. Sesungguhnya Byungjin oh memang sudah duda. Walaupun Byungjin duda tetap Bomin cinta. Marilah segera kalian kawin saja." Bomin bangun dari ranjangnya dan memukuli Junso dengan bantal. Junso tertawa terbahak-bahak. "Kau semangat kan sekarang?" "Ya, aku bersemangat. Bersemangat untuk membunuhmu!" Bomin berhenti memukuli Junho dan kembali berbaring. "Keluarlah! Aku lelah." Bomin kembali mengusir. Junho mengendikkan bahunya. Setidaknya ia sudah mencoba menghiburnya. "Istirahatlah yang tenang," ucap Junho, "Kalau perlu tak usah bangun-bangun lagi." Junho segera berlari keluar kamar sebelum jam weker kesayangan Bomin mendarat di kepalanya. Ia menghampiri Eunjin di dapur. "Bagaimana?" tanya Eunjin. Junho menggeleng, "Dia bahkan memukuliku dengan bantal. Bukan dengan stick golf atau raket tenis andalannya seperti biasa. Entah aku harus bahagia atau sedih karena hal itu." "Kak, apa kau berubah jadi masokis karena terlalu banyak dipukul oleh Bomin?" ejek Eunjin. Junho tak membalas ucapan Eunjin. Dia malah asik mencomot cemilan yang Eunjin buat. Eunjin menjauhkan piring cemilannya dari tangan nakal Junho, "Berhenti makan! Ini untuk Bomin. Lebih baik sekarang kau telpon Yookwon dan Hyungseob. Mereka pasti bisa membuat Bomin merasa lebih baik." "Kenapa harus aku?" protes Junho." "Cepatlah!" Junho hanya bisa pasrah mengambil ponsel dalam sakunya dan menelpon sahabat-sahabat Bomin. "Halo?" *** "Ada apa? Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya Eunjin. Sejak kedatangannya, Yookwon terus saja menatapnya dengan mata penuh binar gosip.  "Tadi saat aku dan Hyungseob melihat seorang pria dan dua orang anak keluar dari apartemen Bomin. Apa sebenarnya Bomin telah menikah dan selama ini menyembunyikannya dari kami?" "Turunkan kepalamu." pinta Eunjin "Ha?" "Turunkan saja!" Yookwon dengan bodohnya mengikuti perintah Eunjin. Satu jitakan panas sukses mendarat di kepala pria berkulit eksotis itu dan membuatnya mengeluh kesakitan. "Jangan berpikir macam-macam. Kalian langsung ke kamar Bomin saja." usir Eunjin. Yookwon mengerucutkan bibirnya dan melangkah ke arah kamar Bomin diikuti Hyungseob. Kai langsung membuka pintu dan berteriak, "Bomin-ah! Kakak kesayanganmu ini datang!" Bomin bangkit dari tempat tidurnya. Matanya membelalak saat melihat Yookwon dan Hyungseob. "Kakak!" Yookwon merentangkan tangannya memanggil Bomin untuk memeluknya. Bomin tertawa dan segera berlari menghindari Yookwon dan malah memeluk Hyungseob. "Kakak, aku merindukanmu." ucap Bomin. Yookwon tersenyum kecut dan menurunkan tangannya. "Hei, kau tak merindukanku?" protesnya. "Untuk apa rindu padamu? Apartemenmu di sebelah milikku. Kita tiap hari bertemu." ucap Bomin tak acuh. "Hyungseob juga tinggal bersamaku! Tapi mengapa kau merindukan dia? Ini tidak adil!" protes Yookwon lagi. Mendengar keributan di kamar adiknya, Junso ikut masuk untuk meramaikan. "Bomin-ah sepertinya suasana hatimu sudah membaik. Tahu begini aku takkan membuang tenaga untuk menghiburmu tadi." cibir Junho. "Siapa yang memintamu melakukan itu? Tak usah menggangguku. Kau bantu Eunjin memasak saja sana." usir Bomin. Junho berdecih tapi tak mengatakan apapun dan menuruti perintah Bomin. Diam-diam merasa lega karena suasana hati adiknya yang membaik. Setelah Junso pergi, Yookwon tersenyum ala bibi tukang gosip yang sukses membuat Bomin merinding. "Baiklah, sekarang kau berhutang cerita pada kami." *** Yookwon dan Hyungseob mengangguk-angguk mengerti. Bomin menceritakan pada mereka secara sedetil-detilnya. Bahkan tentang perasaannya. "Lalu kenapa kau murung begini?" tanya Hyungseob. "Ha? Kak, apa kau tidak mendengar inti ceritaku? Dia sudah punya anak." "Kau bahkan belum tahu ia telah beristri atau tidak. Kalau yang kau rasakan itu benar-benar cinta pada pandangan pertama, bukankah kau akan tetap menerimanya walaupun ia sudah punya dua orang anak?" ucap Hyungseob.m Yookwon mengangguk setuju, "Kau jangan menyerah dulu. Kalau perlu dekati anak-anaknya. Pria sama seperti wanita yang juga akan luluh bila anak-anaknya dekat denganmu." "Menurut kalian begitu?" Yookwon dan Hyungseob mengangguk bersamaan. Bomin mengerucutkan bibirnya. Haruskah? Tapi kelihatannya dari awal Taeoh dan Byunggyu tak menyukainya. "Baiklah, akan kulakukan apa saja agar Oh Byungjin dan anak-anaknya luluh padaku." Ya, Bomin takkan peduli lagi. Mau Byungjin bujangan atau janda eh maksudnya duda sekalipun, ia akan tetap mencoba mengejar pria itu! *** Makassar, 15 Februari 2016
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD