Bab 2 (Jema)

1555 Words
Bukan batu yang lebih keras, melainkan hati seorang wanita yang sudah terbutakan oleh harta. Apa yang bisa Jema Anggreya harapkan dari ibunya yang memilih pergi bersama mantan kekasih semasa SMA-nya yang telah menjadi orang sukses, dibanding putri dan sang suami yang tengah sekarat. Sekarat secara fisik dan sekarat secara keuangan. Gumpalan kekecewaan di dadanya setiap hari kian membesar, bersamaan dengan semakin ruwetnya pikiran. Tak pernah ia sangka ibunya akan berubah menjadi sosok tamak yang menjujung harta di atas segala-galanya, melupakan darah dagingnya sendiri dan juga pendampingnya yang selama ini setia, mengorbankan jiwa raga yang kini berubah renta sebelum waktunya. Namun, apa balasannya? Apakah sebuah pengkhianatan sebanding jika dijadikan timbal balik dari sesuatu yang baik? Sebuah pengkhianatan dengan dalih cinta. Menjadikan cinta yang bersemi kembali sebagai alasan, yang katanya sesuatu yang sebenarnya menjadi tujuan hidup dan sesuatu yang membuatnya bahagia. Yang selalu Jema pertanyakan dalam kepalanya, kenapa orang-orang selalu menjadikan cinta sebagai tameng? Kenapa harus m*****i cinta yang tidak bersalah, hingga membuatnya terlihat sebagai hal yang paling b******n? Jema mengembuskan napasnya panjang, matanya memejam, merasakan jemari keriputnya yang bergetar lantaran terlalu lama bercengkerama dengan dinginnya air hujan. Tidak hanya tangan, tubuhnya pun sudah gemetar. Giginya bergemelatuk nyaring. Baju dan seluruh tubuhnya pun sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali, mengahalu air hujan yang terus jatuh di wajahnya. Tangan kanannya mencengkeram erat pada jeruji gerbang, sembari melampiaskan rasa dinginnya di sana, manahan tubuhnya yang mulai goyah, hendak meluruh. Jema terkekeh hambar. Dengan bodohnya dia masih bertahan di sana, di depan gerbang dengan tinggi menjulang, menjaga istana megah yang ada di dalamnya, tidak peduli hawa dingin yang berembus seakan membalut seluruh tubuhnya, bahkan sampai terdengar bunyi giginya yang saling bertabrakan, tidak peduli guyuran hujan yang kian deras, matanya tetap tertuju pada sedan hitam yang terus melaju hingga menjadi sebuah titik yang pada akhirnya hilang oleh pandang. "Untuk apa kamu datang kemari lagi? Jangan pernah minta uang ke saya. Saya tidak memiliki tanggung jawab, baik ke kamu atau ayah kamu. Hak asuh kamu kan sudah ada di pria itu." Sebuah suara yang sudah lama tak mampir ke gendang telinganya itu, membuat Jema memejamkan mata, rasa rindu yang membuncah membuat badannya yang bergetar karena dingin, kian bergetar hebat. Kalimat yang ibunya lontarkan dari balik jendela mobil, yang hanya diturunkan sedikit, seolah tidak membiarkan gadis itu meluapkan rasa rindunya pada sang ibu, yang sudah berbulan-bulan tidak pernah dia temui, membuat batin Jema teriris. Jema membiarkan air matanya menetes, biarlah, toh hujan sudah menyembunyikannya. "Eh, Kak Jema!" Dari sebelah ibunya muncul Renandikta―adik beda ayahnya―yang menyapa dengan cengiran lebar. Anak itu selalu ramah pada Jema, berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Ah, itu karena keduanya berasal dari rahim yang sama. "Apa kabar, Kak?" tanyanya. "Apa sih kamu, Ren? Nggak usah tanya-tanya, duduk di tempat kamu!" sentak wanita paruh baya itu membuat senyum Jema perlahan memudar, dadanya mendadak seperti dihujani ribuan belati tajam. Dengan wajah cemberut, remaja itu kembali mendudukkan diri di tempatnya semula. Samar-samar, berbaur dengan bunyi gemericik air hujan, Jema masih bisa mendengar gerutuan adiknya itu. "Jadi, kesimpulannya Ibu nggak mau kasih kamu pinjaman. Biarin aja ayah kamu itu mati, toh setelah itu kamu tidak akan disusahkan." Lagi, jantung Jema seperti diremas kuat kala mendengar ucapan ibunya. Dadanya sesak. Belum sempat dia menyanggah, jendelanya sudah dinaikkan, membuat Jema hanya mampu melihat pantulan dirinya sendiri. Ibunya lagi-lagi menolak. Padahal, ia hanya meminta sedikit belas kasihan wanita itu. Jema tidak meminta, dia hanya bermaksud meminjam dan dia juga sudah berjanji akan segera mengembalikkannya. Sejujurnya, Jema sudah tahu jika yang akan ia dapat bukan segepok uang, melainkan penolakan yang dibarengi kata-kata menyakitkan. Rintik hujan yang kian deras bersamaan dengan tawa sumbangnya yang berderu nyaring. Jadi, sedalam apa sekarang ia jatuh? Sudah seberapa jauh ia tersesat? Jema kehilangan arah. Jema sudah terbiasa jatuh, harusnya tidak apa-apa. Dia juga sudah terbiasa tersesat di kesakitan yang tiada akhir itu, sebelum akhirnya mampu keluar dan menghirup udara bebas. Jadi, tidak apa kalau sekali lagi ia kembali tersesat. Ia hanya harus berusaha untuk mencari jalan keluarnya. Dengan tubuh bergetar, ia membawa kakinya melangkah ke tepian, menuju sebuah pos satpam tempat ia menyimpan tasnya di sana. Isi kepalanya tengah memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk membiayai cuci darah sang ayah lusa nanti. Dia menghela napasnya, melihat pada gerbang yang menjulang dan bangunan besar yang berada di dalamnya. "Tuhan, aku belum mau nyerah, tapi kenapa semakin lama keadaannya membuatku ingin menyerah aja? Aku capek," desahnya frustrasi. Tidak ada yang bisa ia harapkan sekarang, ia sudah benar-benar jatuh dan rasanya ia sudah tak kuasa untuk kembali bangkit. *** Rumah yang menjadi tempatnya bernaung selama beberapa tahun ini tampak begitu rapuh. Bocor di mana-mana, seakan berniat menenggelamkan isi di dalamnya. Satu hal yang Jema syukuri, sungai yang tidak jauh dari tempatnya tinggal, tidak meluap hingga membuat mereka kebanjiran seperti tahun lalu. Tidak ada yang berharga di dalam sana, sehingga tak ada kekhawatiran besar kalau benar atapnya akan runtuh. Televisi empat belas inci yang kerap ia nyalakan untuk menonton kartun dan juga sinetron, sudah ia jual minggu lalu, sebagai gantinya, uang yang ia dapat, ia bayarkan sewa bulanan rumah itu. "Udah pulang, Je?" Ayahnya menyapa dari kursi roda yang sudah reyot itu. Kebiasaan Wilman berdiam diri di depan pintu, menunggu kepulangan sang putri tercinta tentu hal yang sangat menyentuh. Betapa manisnya pria itu? Rugi sekali wanita yang telah menyia-nyiakannya. Melihat sang ayah, mau tidak mau Jema harus membuat bibirnya mengulas senyum, walau yang tampak justru senyum kecut. Jika ia menampilkan kemuraman, Jema malah akan membuat Ayahnya menangis, sama seperti waktu-waktu yang telah berlalu. Rasanya tidak menyenangkan, menyaksikan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu menangis sesenggukan. Laki-laki yang tampak lebih tua dibanding usianya tersebut, akan terlihat lebih menyedihkan. "Iya, Yah." Jema tidak kuasa berbicara panjang, lidahnya terlalu kelu, dan air mata sudah mendesak ingin dikeluarkan. "Kok basah gini? Tas kamu mana?" Bingung harus menjawab apa, Jema memilih tersenyum lebar, mengulur waktu sampai akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat. "Iya, Yah. Tadi pas Jema lagi jalan, tiba-tiba hujan," jawabnya. Dahi Wilman Malik berkerut dalam, tidak begitu yakin dengan jawaban anak gadisnya itu. "Tas kamu?" Jema melihat pada tas yang ia bungkus kresek merah berlapis-lapis, di dalam tas itu berisi buku-buku perkuliahannya. Benar, gadis itu memang berkuliah dan kini dia berada di semester tua. Dulu, Jema hanya iseng mendaftarkan diri mengikuti SNMPTN, dia memilih universitas negeri terkemuka yang ada di Depok. Awalnya Jema yakin dirinya tidak akan diterima, tetapi ternyata dia salah. Guru-guru di sekolahnya yang tahu bahwa Jema lolos, tentu merasa bangga pada gadis itu. Jema bermaksud menolak. Namun, pihak sekolah menyakinkannya. Toh, kalau ditolak, pihak sekolah takut kalau sekolah akan di-blacklist. Mereka meyakinkan Jema untuk mengambilnya, Wilman yang saat itu masih dalam keadaan bugar juga memberi dukungan penuh, dan dengan keraguan yang masih tersisa Jema pun menerimanya. Beruntung, setelah masuk Jema menjadi salah satu penerima beasiswa bidik misi. Malah, dia juga mendapat pesangon dari bidik misi tersebut. Namun, tentu saja uang itu sudah Jema gunakan untuk kebutuhan sehari-harinya dan sang ayah. "Tas Jema nggak apa-apa, kok," jawabnya kemudian, masih dengan senyuman yang bertahan di wajahnya. Wilman tersenyum lembut di atas kursi rodanya, tetapi gadis itu justru menangkap kesenduan di mata sang ayah. "Lain kali kalau punya uang lebih, dibuat beli jas hujan atau payung aja, ya? Jas hujan dari plastik aja yang harganya nggak mahal-mahal banget. Kamu juga kan yang repot kalau kehujanan gini, Ayah khawatir kalau kamu sakit. Kamu nggak usah beli lauk yang enak-enak buat Ayah, lagian Ayah nggak bisa banyak-banyak makannya, kolesterol Ayah makin bandel nanti," kata laki-laki di awal kepala lima tersebut. Perasaan Jema menghangat. Perkataan ayahnya menciptakan semangat baru baginya. Tak pernah sehari pun laki-laki itu tidak mengkhawatirkannya, Jema bisa merasakan sebesar apa cinta yang ayahnya miliki. "Iya, Yah. Lain kali, ya." Jema tersenyum sendu, matanya mengerjap beberapa kali, menahan air mata yang mendesak dikeluarkan, haruskah ia menangis di depan ayahnya? Rasanya Jema tidak kuasa untuk menahan buliran air matanya lebih lama lagi. Berdeham sekilas, gadis itu memasang senyum lebar. "Ya udah Yah, Jema mandi dulu ya, takut masuk angin, habis ini mau ke kafe, udah jam lima lebih, takut telat dan gaji Jema pasti bakal dipotong," ucapnya disertai ringisin ngeri. Jema bekerja di sebuah kafe kecil pinggir kota, dia bekerja sebagai pramusaji. Kengerian itu terasa begitu nyata, padahal Jema hanya melihatnya melalui kilasan singkat dalam kepalanya. Bagi gadis itu dan bahkan bagi orang lain juga, tidak ada yang lebih menyeramkan dibanding gaji yang dipotong. "Ya udah kamu mandi sana, Ayah udah panasin sup buatan kamu pagi tadi, kamu jangan lupa makan, mentang-mentang kerja di tempat yang jual makanan pakai sok-sokan nggak mau makan," kata sang ayah yang memang cukup cerewet, Jema hanya tersenyum seraya dalam hati memanjatkan syukur pada Tuhan karena telah diberi sosok malaikat yang begitu memanjakannya dengan sikap dan dengan curahan cinta yang begitu besar. Membungkukkan badannya ia mencium kening sang ayah, lantas segera melangkahkan kakinya ke belakang, menuju kamar mandi, kebetulan baju-bajunya yang selesai dijemur berada di belakang. Sementara itu, Wilman mendesah kecewa di kursinya, kecewa pada dirinya sendiri lebih tepatnya. Wilman tahu, hal buruk apa yang telah menimpa putrinya. "Jema, maafkan Ayah, Ayah sudah menjadi suami yang buruk untuk Ibu kamu, dan sekarang Ayah sudah menjadi Ayah yang buruk. Seharusnya kamu pergi meninggalkan laki-laki penyakitan ini," gumamnya dengan air mata yang menetes perlahan. Rasa bersalah nyatanya telah bersemayam teramat lama di relung hati Wilman. Sebagai seorang ayah, ia sama sekali tidak berguna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD