3

1261 Words
Mobil yang dikendarai oleh Fahri telah tiba di halaman depan rumah  ke dua orang taunya. Senyum Naja terbit ketika melihat Adnan dan Winda sudah berdiri di ambang pintu untuk menyambut kedatangan ke dua anak mereka. Naja begitu rindu dengan rumah itu. Gadis itu tidak berhenti melegkungkan bibirnya membentuk sebuah senyuman. Namun, senyum itu pudar saat  Fahri meninggalkan Naja yang masih sibuk dengan hewan pliharaan milik Fahri. Saat Naja ingin keluar dari mobil, gadis itu terdiam iri dengan penampilan Mumun. Bagaimana tidak, Mumun yang hanya seekor kadal, eh ralat seekor bunglon didandani semodis mukin layaknya artis papan atas. Sedangkan Naja, gadis itu hanya memakai pakaian yang begitu sederhana. “Bon! Cepetan apa! Lama banget si lu! Ngapain aja sih?” Fahri sudah kembali berteriak dan sukses membuat Naja berdecak kesal. “Iya mas, sabar. Lagi jalan ini!” Teriak gadis itu pula tak kalah kencang. Di depan pintuh sudah disuguhkan dengan senyum hangat Adnan dan Winda. Mereka berdua sangat bahagia akhirnya ke dua anak kesayangannya telah kembali berkunjung. “Naja, mama kangen banget tau sama kamu. Anak perempuan mama yang paling cantik.” Winda memeluk Naja begitu erat, sampai-sampai sesak nafas dibuatnya. Fahri melengos melihat keromantisan antara mama dan anak pungut itu. “Anak pungut mah,” ucap Fahri meralat perkataan mamanya. Adnan menjitak kepala Fahri, sampai lelaki itu meringis kesakitan. Naja yang melihatnya sampai meringis ngilu. “Apa sih pah! Pilih kasih banget!” protes Fahri sembari mengusap kepalanya yang terasa berdenyut akibat ulang sang papa. “Kalo ngomong dijaga, lama-lama papa sambel juga bibir kamu!” ancam Adnan lantaran geram dengan sikap anak lelakinya yang tidak pernah berubah sedari dulu.  “Sejak kapan juga Fahri punya adik?” Fahri melenggang pergi begitu saja. Membuat Adnan ingin menyusul Fahri. Namun, Naja menahannya. “Sudah pah, mungkin mas Fahri lagi capek.” Lerai Naja. Gadis itu lelah karena bosen mendengar pertikaian kecil yang akan menjadi besar dan tentunnya Naja yang akan kena imbasnya. Adnan dan Winda menatap Naja bergantian. Tentu saja Naja yang mendapat tatapan itu menjadi bingung. “Di mata Naja ada beleknya kali ya?”  batin gadis itu sembari meraba-raba area matanya mencoba mencari sesuatu di sana. Namun, dia tidak mendapatkan apa-apa. Adnan yang melihat tingkah konyol Naja pun terbahak. Sejak kedatangan gadis itu di tengah-tengah keluarga mereka, membuat Adnan dan Windah tahu bagaimana caranya untuk tertawa kembali.  “Naja sayang,  di mata kamu nggak ada beleknya kok. Mama Cuma heran sama kamu, hati kamu terbuat dari apa sih? Betah banget tinggal sama Fahri, yang jelas-jelas nggak suka sama kamu,” ujar sang mama sembari mengelus pipi Naja. “Udah kebal mah. ‘Kan Naja kuat,” Jawab Naja. Dengan sombongnya menunjukan otot lengannya yang sebenarnya tidak menonjol sama sekali. Ke dua orang tuannya semakin terbahak melihat tingkah polos Naja.  “bahagia sekali rasanya bisa melihat mereka tertawa seperti ini. Andai Naja mempunyai orang tua kandung seperti mereka. alangkah bahagiannya hidup ini,” batin gadis itu tersenyum senang. “Hei sayang, kamu kenapa?” Adnan melambaikan tangannya untuk membangunkan Naja dari lamunannya. ”Nggak papa kok, pah.” Naja menjawab dengan senyum manisnya. “Bobon!” suara teriakan itu berasal dari dalam. Naja mentap bingung ke dua orang tuannya secara bergantian. “Naja, kamu yang sabar ya sama anak manja satu itu ,” kata Winda tidak enak hati. Naja menagngguk meminta izin untuk pergi ke dalam. Setelah kepergian Naja, sepasang suami istri itu menatap satu sama lain. “Kenapa lagi sih mas? Nggak di apartemen, nggak di sini kerjaannya teriak-teriak terus. Apa nggak sakit tuh pita suara?” Naja menghampiri Fahri dengan wajah yang malas. “Udah deh Bon lo itu nggak usah banyak cincong. Bikinin gua jus semangka rasa durian dong. Cepetan gak pake lama!” perintah lelaki itu dengan wajah yang menjengkelkan. ‘Eh buset! Mana ada jus semangka rasa durian. Kalau jus semangka rasa garem baru ada. Gila kok nggak waras-waras.’ Naja merutuki tindakan Fahri dari dalam hati. “Mana ada sih mas jus semangka rasa durian?” proters gadis itu. “Ya jelas nggak ada lah! Bodoh kok diplihara pantesan masih berkelasan si Tejo sama si Mumun,” ledek Fahri sembari bersidekap menatap Naja merendahkan. Naja hanya menanggapi dengan wajah datar. ‘sebenarnya di sini siapa yang bodoh sih? Bodoh kok teriak bodoh’ batin gadis itu. “Terus mau-nya mas, gimana? Jadi dibikinin jus semangka apa enggak?” Naja sudah malas meladeni tingkah Fahri yang kelewat batas. “Kaga jadi dah. Gua lagi pengen jus apel jangan pake gula tapi pake madu.” Lelaki itu kembali memerintah seenak jidatnya. Naja memutar bola matannya jengah. ‘jauh kali dari semangka ke apel. Jangankan pake madu pake racun pun Naja bikinin dah,’ ucap gadis itu dalam hati. “Ngapain masih bengong di sini? Udah sono ke dapur bikinin minum buat gua!” printah Fahri. “mata lu kenapa melotot-melotot begitu? Awas copot nanti panjang urusannya.” Setelah berucap demikian, Fahri melenggang pergi. “Mimpi apa Naja semalam.” Naja menghela napasnya kasar, hari ini sungguh melelahkan hanya untuk menuruti segala keperluan Fahri. Fahri mengekori Naja sampai ke dapur. Naja yang merasa diikuti pun hanya pura-pura tidak melihat. Lelah? Jangan di tanya, Naja sudah amat sangat lelah bertahun-tahun hidupnya seperti ini. 19 tahun dirinya menjomblo hanya gara-gara homo sapiens ini. “Bon, lu itu dengerin gua ngomong kaga sih!” mulut Fahrui sedari tadi tidak pernah diam. Mengomel tidak jelas. Namun, Naja tidak meladeni ocehan Fahri yang tidak pernah bermutu itu. “Bon. Lu ngapa sih? Telinga lo budeg apa begimane dah?” masih saja belum menyerah. Lelaki itu malah semakin gencar mengomel. Membuat gendang telinga Naja semakin panas. Lagi-lagi Naja diam. Fahri begitu kesal, karena ocehannya sedari tadi tidak direspon. Fahri mengambil udara begitu banyak, lalu dihembuskan tepat di wajah Naja, namun usaha itu tidak berhasil, Naja tetap saja diam seolah hanya ada Naja di dapur itu.  “Bon. Punya kuping kaga sih?!” benar-benar kesabaran Fahri diuji. Suara blander sudah menggema di dapur dan seketika ocehan Fahri sudah tidak terdengar lagi. Lelaki itu lebih memilih duduk di meja makan sembari menunggu jusnya siap. sudah sepuluh menit waktunya blander dimatikan, Naja mengambil gelas untuk menaruh jus apel tersebut. Tentunnya masih diam tak bersuara. Fahri yang setia menunggu di meja makan, hanya bisa melihat gerak-gerik Naja dari kejauhan. Sama sekali Naja tidak melirik ke arah Fahri.  ‘si Bobon kenapa sh? Diem-diem bae’ ngopo-apa ngopi’ batin Fahri. Naja meletakkan gelas berisikan jus itu hingga berbunyi ‘tak’ karena beradu dengan meja kaca. Naja meletakkan gelas tepat di hadapan Fahri. Agar lelaki itu puas sudah membuat pagi menjelang siang seorang Naja menjadi kacau. “Bon. Lu ke kandangnya si Tejo sama si Mumun sono! Kasih makan pliharaan gua!” perintahnya lagi tanpa perasaan. Naja melenggang pergi meninggalkan Fahri dengan kaki yang dihentak-hentakkan sampai menimbulkan bunyi. “Itu bocah kenapa sih?” gumam Fahri bingung. Naja sedang berada di belakang memberi makan pliharaan ke sayangan si homo sapiens satu itu. Dengan semangkuk jangkrik menjadi makan siang si Tejo dan Mumun. “Tejo, Mumun, kok kalian berdua betah sih tinggal sama si homo sapiens yang super duper kampret itu?” monolong gadis itu kepada ke dua hewan kesayangan Fahri. “Eh Bobon! Lu jangan ngeracunin otak pliharaan gua! Udah sono lu ke dapur bikinin gua nasi goreng!” suara dari arah belakang itu sungguh mengagetkan Naja yang tengah berinteraksi dengan Tejo dan Mumun Gadis itu melirik Fahri sekilas lalu melenggang pergi tanpa bicara. Jika ada gagang sapu di dekatnya pastilah gagang sapu itu sudah mendarat di kepala Fahri dan membuat wajah yang diaggung-aggungkan itu benjol. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD