Bab 2. Pernikahan tak Dianggap

1407 Words
“Aku tidak mau putri semata wayangku hidup menderita,” ucap Ayah lagi menambahkan, masih menatap wajah Darel yang kelihatan santai mendengar syarat dari Ayah. “Oke, itu hal yang mudah.” Aku yang keberatan pun langsung berbisik di telinga Ayah, “Yah, apa-apaan, aku enggak mau nikah sama dia, Yah.” “Tolong ikuti keinginan, Ayah!” Dengan suara lemah Ayah menjawab. Membuatku diam tanpa bisa protes. Aku pun coba memahami tujuan Ayah. Ingin melindungiku dari kerasnya hidup dan meminta pria yang saat ini ada di hadapanku untuk menjaga putrinya. Setelah terjadi kesepakatan, akhirnya Ayah menyerahkan berkas itu pada Darel. “Ini kartu nama saya, kalau kamu butuh bantuan bisa datang menemui saya.” Setelah memberi kartu nama, pria angkuh itu berlalu dan menghilang di balik pintu. Sementara aku, masih termangu dengan sejumlah pertanyaan yang memenuhi isi kepalaku. *** Sembari menunggu Ayah di rumah sakit, aku juga berusaha mencari cara agar bisa segera mendapatkan uang dalam waktu dekat. Kalau aku melamar pekerjaan pun, tentu akan butuh waktu lama untuk mendapatkan uang karena kau harus menunggu satu bulan untuk mendapatkan gaji pertamaku. Hal yang tidak mungkin sedangkan kondisi Ayah semakin hari semakin menurun. 30 persen uang akuisisi perusahaan juga belum masuk juga ke rekeningku. Sesuai kesepakatan kemarin akan ditransfer ke rekeningku dalam waktu kurang dari 30 hari. Tidak mungkin aku akan menghubungi Darel, si pria angkuh itu. Sedangkan ini sudah hari kelima sejak dokter meminta agar segera melunasi biaya administrasi untuk operasi Ayah. Di saat aku masih memikirkan biaya operasi Ayah, tiba-tiba layar monitor yang merekam denyut jantung ayahku berbunyi. “Yah, Ayah …!” Aku memanggilnya sambil menggerakan tubuhnya. Namun, tetap tidak bereaksi. “Dokter … dokter… suster …!” Aku yang sudah cemas terus berteriak. Sampai akhirnya, aku melihat tombol di sisi tempat tidur Ayah, aku pun langsung menekannya. Berharap tim medis segera datang untuk memeriksa kondisi ayahku. Benar saja, beberapa detik kemudian, beberapa perawat datang, disusul oleh dokter yang juga masuk ke ruangan. “Silakan tunggu di luar dulu, Mba!” “Dok, lakukan yang terbaik untuk Ayah saya,” ucapku panik sambil keluar. Handphone mana handphone. Oh iya kartu nama. Aku mencarinya di dalam tas kecilku. Dengan berat hati dan menurunkan rasa gengsi, aku mengetik nomor di papan panggilan dan kemudian mengklik logo telepon berwarna hijau. Aku tempelkan benda pipih itu di telinga. Tak ada pilihan selain menghubungi pria itu. Namun, sudah beberapa panggilan, tapi tak juga tersambung dengan pemilik nomor di ujung telpon, padahal panggilan itu berdering. Dokter keluar ruangan. “Mba, kondisi bapak sudah sangat kritis saat ini. Harapan untuk bisa hidup tanpa dilakukan operasi sangat kecil.” “Tolong lakukan sekarang, Dok! Masalah biaya saya sudah ada dan janji akan segera membawanya,” ucapku panik dengan air mata terurai tak berjeda. Dokter dan suster terlihat tidak yakin dengan ucapanku. “Ini masalah nyawa!” bentakku kesal. “Kalian pasti tahu dengan pasti rekam jejak Ayah saya. Dari dulu kami satu keluarga langganan di rumah sakit ini. Rutin juga membayar asuransi kesehatan dengan premi yang besar. Bahkan ibu saya dirawat di sini hingga beliau tidak ada.” Aku berusaha mengatur nafas sebelum melanjutkan ucapanku. “Saya hanya punya Ayah saya saat ini, apa kalian tega membuat saya menjadi sebatang kara? Sekali lagi ini urusan nyawa, kalau sampai terjadi apa-apa sama Ayah hanya karena biaya rumah sakit, padahal kalian bisa tangani, saya pasti akan laporkan rumah sakit ini!” ucapku penuh emosi sambil mengusap kasar air mata yang tak berhenti menetes. “Saya sudah bilang akan membawa uang itu segera, saya janji! Dan, ucapan saya bisa dipegang. Sebagai jaminan ini saya tinggal.” Aku pun melepas anting dan kalung berlian yang kalau di nominalkan bisa di atas dua puluh juta, beserta kartu Identitas asli pun aku serahkan kepada suster. “Baik, kami akan segera melakukan tindakan, tapi dengan syarat!” Dokter menatapku tajam. Lalu melanjutkan kalimatnya, “Saat ini juga tolong segera diambil uangnya dan serahkan ke bagian administrasi, jika tidak–” “Ya, saya paham konsekuensinya,” ucapku sadar akan hal yang bisa membawaku ke ranah hukum apabila sampai tak bisa memenuhi syarat tersebut. Suster tersebut membawa jaminanku ke bagian administrasi dan dokter mengkomando beberapa perawat untuk menyiapkan ruang operasi. Dokter anestesi juga ditelpon. Aku pun gegas pergi mencari bantuan. Mengingat janji untuk segera membawa uang tersebut. Dengan menaiki ojek online aku menuju alamat Darel. Semoga bisa ketemu orangnya dan dia menepati janjinya. Semoga dia tidak sedang dinas di luar kota. Mengingat dari tadi mencoba dihubungi tidak diangkat. Tidak sampai dua puluh menit, aku sudah sampai di bangunan megah yang menjulang tinggi. Kalau saja keadaan membaik, tidak perlu aku mengemis seperti apa yang akan aku lakukan sekarang. Aku pun menyebutkan keperluanku untuk bertemu dengan Darel kepada pegawai penerima tamu. Setelah tersambung dengan telepon. Aku disambut dengan baik dan langsung dipersilakan menuju ruangan Darel. “Maaf habis meeting penting. Jadi, handphone saya silent,” ujar Darel saat melihatku masuk di duduk di seberangnya. Pria itu tampak baru saja melihat layar ponselnya. Mungkin karena melihat banyak panggilan tak terjawab dariku. “Ayahku kritis,” ucapku singkat tanpa mengangkat kepala. “Maaf saya terlambat mengirimnya, rencananya memang akan saya transfer hari ini uangnya.” Mungkin dia sendiri juga baru ada saldo sebanyak tiga puluh persen itu hari ini atau sengaja menunggu aku datang baru akan diberikan. Entahlah. “Sudah berhasil terkirim,” ucap pria yang menurutku angkuh itu setelah menyentuh ponselnya. Aku pun langsung membuka aplikasi mobile banking dan benar saja, sudah masuk. Tanpa menunggu lama, aku segera transfer biaya operasi Ayah ke rekening administrasi rumah sakit. Tak lupa, aku juga mengirim bukti transfer ke hotline w******p rumah sakit swasta, tempat ayahku dirawat. “Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Darel yang sedang menungguku. “Oh tidak, terima kasih,” ucapku segera. Aku pun ijin undur diri dan segera menuju rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, operasi ayah belum juga selesai. Menurut perkiraan dokter, operasi bypass jantung itu akan berjalan selama lima hingga enam jam. Setelah menunggu lama, tepatnya setelah Maghrib, operasi ayah sudah selesai dan berjalan lancar. Ayah juga telah dipindahkan ke ruang rawat. *** Sesuai perjanjian, akhirnya aku akan menikah dengan Darel. Laki-laki yang tidak aku kenal dan dalam waktu dekat kami harus menikah sesuai dengan permintaan Ayah. “Ayah hanya ingin kamu bahagia, menikahlah dengan Darel! Dia pria baik dan mapan, kelak kalau Ayah tidak ada. Ayah akan tenang karena sudah ada pengganti Ayah untuk menjaga dan melindungimu, Aleen,” ucap Ayah. Aku hanya bisa menurut, tak mau membuat kondisi Ayah memburuk lagi. Masih tak mengerti dengan jalan hidup ini. Lulusan terbaik Harvard University pada akhirnya tanpa menempuh karir terlebih dahulu, tapi langsung menikah bahkan dengan pria yang bukan kekasih hati. Kata Ayah rasa cinta nanti akan tumbuh dengan sendirinya. Apalagi Darel merupakan keturunan dari bibit, bebet yang baik kata Ayah, di mana Ayah sudah kenal benar dengan orang tuanya. Tidak begitu sulit di jaman modern seperti ini, cukup mengirimkan link undangan pernikahan sudah tersebar kilat. Banyak kolega Ayah, kolega Darel dan juga handai tolan yang akan hadir. Begitu pun teman-temanku di Indonesia aku undang Tanpa menunggu lama, kami pun menikah. Hadiah terindah berupa resepsi yang teramat mewah di sebuah hotel bintang lima. Semua berjalan sempurna hingga paripurna. Jodoh memang tidak ada yang tahu, siapa sangka pria angkuh itu ternyata baik dan romantis padaku, bahkan sekarang, dia sudah resmi jadi suamiku. Aku pun akan diboyong ke rumahnya. “Ayah?” Aku menghampiri Ayah dengan mata berkaca-kaca. Ayah memelukku dan melepasku dengan senyum haru. Aku bisa merasakan Ayah bahagia dengan pernikahan ini. “Titip Aleena ya, Nak,” ucap Ayah pada Darel. “Tentu Om Erik,” sahut Darel refleks menutup mulut dengan telapak tangan. “Eh Ayah, maksud Darel,” ralat Darel, sebelah tangannya melingkar pada pinggangku. Membuatku tersipu malu di depan Ayah. Darel–pria yang aku kira angkuh itu ternyata memperlakukanku dengan lembut sebagai istrinya. Rumah pribadi Darel berada di kompleks perumahan elite, bahkan jarak satu dengan lain tampak jauh. Mobil memasuki pagar besi hingga halaman yang luas untuk hingga akhirnya berhenti di depan bangunan besar yang terlihat bak istana. “Wow, ini mah istana. Apa ini rumah kita?” Aku berdecak kagum, tentu jauh lebih besar dan lebih mewah dari rumahku–rumah Ayah maksudku. “Heh, dengar baik-baik!” Aku kaget dengan ucapan Darel, bahkan dia sampai mencengkram kedua tanganku dengan kuat. “Aku menikahimu hanya terpaksa karena syarat akuisisi perusahaan ayahmu. Jadi, jangan harap kamu di sini akan menjadi ratu!” Apa? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD