Bagian 1 II Kelvin Pov

2037 Words
-Jika hati tak bisa di paksa, aku bisa apa- Kalian tau apa yang membuatku kesal selain berada didekat Nana si  Nenek Rombeng? Tidak tau? Sungguh kalian tidak tau apa yang bisa membuat mood ku terjun bebas?  OLIMPIADE!  Shit! Pokoknya aku paling benci dengan yang namanya Olimpiade, entahlah. Saking bencinya pernah suatu hari aku sengaja ngawur mengisi semua soalnya, sebenarnya bukan ngawur juga sih, lebih tepatnya mengisi seadanya dan mengira-ngira. Tapi ya, entah datang dari mana keajaiban itu, aku tetap saja bisa menang. Curang? Tentu saja tidak, jadi gini, niat hati ingin ngawur, tapi apa daya otakku setiap membaca soal selalu langsung konek, dan spontan langsung menjawabnya begitu saja. Tak berhenti disitu, aku tidak bisa dengan leluasa belajar dirumah. Aku mau cerita ke kalian, tapi kalian harus jaga rahasia ya? Janji? Oke. Jadi, kedua orang tuaku plus Nana si Nenek Rombeng itu tidak tau kalau aku sering mengikuti Olimpiade, mereka taunya aku hanya sekolah dan bermain-main, sering menghabiskan uang untuk liburan dan aktif menjadi youtuber, sudah itu saja.  Soal prestasiku di sekolah aku meminta untuk di rahasiakan saja. Alasannya? Aku tidak suka ikut Olimpiade dengan membawa nama instansi, aku lebih suka ikut Olimpiade atau lomba apapun kalau itu pribadi dan tidak menyangkut organisasi atau apapun itu. Bosan ya kalian mendengarkan celotehku? Aku bahkan lebih bosan sedari tadi hanya membaca buku, kalian ada ide nggak untuk mengusir rasa bosanku? Apa? Menjahili Nana? Hm, boleh juga. Kututup buku paket tebal itu, lantas meluncur ke bawah mencari keberadaan Nana. Di tangga langkah kakiku terhenti, netra ku menatap cewek yang tengah sibuk memotret kue dimeja, disamping cewek itu ada satu cowok yang sudah menempel pada Nana entah sejak kapan, tau-tau mereka sudah sedekat yang sekarang. "Kalian ngapain?" "s****n lo!" Umpat Nana spontan, dia menatapku dengan tajam, "Ngapain sih pake ngagetin segala, hm?!" lanjut dia dengan galak. Aku terkekeh, melanjutkan langkahku menuruni anak tangga.  "Udah lama, Rik?" pertanyaan itu meluncur dari mulutku lagi, Riki mengangguk. Dia melanjutkan kesibukannya memotret objek menggantikan Nana. Jadi, adikku itu seorang selebgram, dia sering menerima endorse untuk mempromosikan suatu produk, mulai dari kosmetik, parfume, baju, tas, hingga makanan.  Aku menopang dagu dengan malas. "Kalian nggak pengen liburan gitu? Gue stuck nih, nggak ada inspirasi apapun buat konten"  Nana duduk didepanku, "Tapi liburan kita kan masih lama, Vin" tangannya meraih kue  yang barusan dipotret, lantas memakannya "Enak juga nih kue" puji dia jujur. "Gue juga lagi stuck, Kak. Gimana kalo kita liburan di Indonesia aja, kan bisa tuh weekend" Riki menyela percakapan ku dengan Nana. Tak lama Riki menunjukan layar ponselnya "Gimana kalo kita kesini, lumayan kan"  “Males ah gue, pengennya langsung ke luar negeri aja gitu.” komentar Nana membuatku dan Riki sama-sama memutar bola mata malas.  "Penghematan biaya" lanjutnya bergumam. -Batas Suci- Bip.Bip.Bip.Bip.Bip.Bip Aku menutup telinga menggunakan bantal saat suara ponsel mengusik tidur nyenyak ku. Entah siapa yang pagi-pagi menelepon, masih dengan mata yang terpejam aku meraba-raba mencari dimana letak benda pipih tersebut. Nama Fiersa terpampang di layar, aku menggeser tombol hijau, lantas menempelkan ponsel tersebut ditelinga.  "Lo masih marah ya sama gue?"  "Fier, lo nggak lihat ini masih pagi pagi. Bisa kan tanya itu nanti aja, gue ngantuk, sumpah" jawabku dengan hati yang sedikit gondok. Fyi, Fiersa itu pacarku. Dan kemarin aku sempat marahan dengan dia lantaran dia terlalu dekat dengan sahabatku, yah mungkin bagi kalian sikapku ini agak kekanak-kanakan.  "Vin, ini udah siang. Jam setengah tujuh! Dan gue telepon juga karena lo belum jemput, gimana sih" Seketika aku langsung terbangun, menatap jam yang menempel di dinding. "ASTAGA!" teriakku. Fiersa menghela nafas "Yaudah deh, gue bareng Reno aja, by-" "Reno lagi Reno lagi, lo suka sama dia??" "Vin, please deh. Jangan kayak bocah, Reno cuma sahabat" Tanpa menjawab aku langsung memutuskan sambungan telepon, mood ku buruk. Bergegas menuju kamar mandi, dan bersiap-siap karena sudah bisa aku pastikan kalau hari ini pasti akan telat. Yep, meski aku punya segudang kelebihan tapi aku juga masih seorang  manusia biasa, aku punya kelemahan. Apa kelemahanku? Nanti kalian akan lihat sendiri tanpa aku ceritakan. -Batas Suci- Semalam aku begadang, menyelesaikan konten yang tengah aku garap bersama dengan Riki. Hanya berdua, Nana tidak ikut andil dalam pembuatan konten ini, akhir-akhir ini dia juga sibuk dengan kegiatannya sendiri. Nah, tidurku baru jam 3 dini hari, Riki menginap.  Hari ini sepertinya dia juga tidak masuk sekolah lantaran sibuk molor, sementara aku mau tidak mau harus berangkat ke sekolah kalau tidak ingin kena semprot oleh Mama dan Papa. Penampilanku hari ini beda dengan penampilanku di hari biasanya. Mandi asal basah, sarapan hanya segelas s**u, dan langsung cuss ke sekolah. Meski aku tau endingnya bakalan terlambat, memarkirkan motor di warung belakang sekolah, lantas berjalan ke arah gerbang kecil yang tak jauh dari sana. “Untung aja gue punya kunci serep ini” monolog ku, berjalan gontai memasuki ruang kelas yang sudah ramai. Bel sudah berbunyi kira-kira sepuluh menit yang lalu. Melongkok sebentar dari jendela, kelasku masih kosong. Aku segera masuk dan menjatuhkan b****g dikursi, menelungkupkan wajah pada lipatan tangan hendak meneruskan tidurku semalam, getaran ponsel membuatku kembali terjaga. Aku menatap nama yang terpampang, lantas mendengus sebal. "Vin, lo dimana? Sumpah gue telat, sekarang gue di gerbang belakang, lo kesini plis. Gue nggak mau dihukum" kata dia menggebu-gebu, aku menguap.  "Gue udah di kelas, Na. Lagian siapa suruh telat--" "Vin, buruan ih! Simpen kultum lo buat nanti aja, lo nggak kasihan apa sama gue, hm?" "Iya, iya, tunggu. Gue kesana sekarang" Meski malas dan bahkan sangat malas aku juga tidak tega membiarkan Nana dihukum nanti. Kalian tau kan kalau kebiasaanku sendiri adalah terlambat dan aku sudah sering merasakan dihukum itu tidak enak sekali. Tapi semenjak ada kunci serep ini sesekali aku selamat dari guru BK yang suka keliling. Pak Haikal yang selalu berpatroli akan lewat pada pukul 7.15 menit, jadi setelah itu kondisi gerbang belakang aman. Langkah kakiku terhenti saat netraku menatap sosok yang tengah berjongkok di luar gerang, ingin sekali aku memecahkan tawa. "Oy!" Nana menoleh dengan muka masam. "Na, seriusan nih ya, kalo kayak gitu lo mirip gembel" Nana mendelik tajam ke arahku "Bacot, cepetan buka" Setelah masuk ke dalam kita berdua langsung beranjak sebelum ketahuan oleh Pak Haikal. "Lo kenapa bisa telat sih? Tadi diajak bareng nggak mau" celetukku.  Nana mendengus, "Gue tadi nungguin Riki, tapi pas gue telepon yang angkat malah Mama nya, dan bilang kalo Riki nggak masuk hari ini, kan ngeselin"  "Sukurin!" "Dih, gitu banget lo sama sodara sendiri" "Emang gue ngakuin lo sebagai sodara?" "KELVIN!!!" Aku mengacak rambutnya, “Duluan gih” tanpa menjawab lagi Nana langsung berjalan pergi, sementara aku sibuk mengunci gerbang. “Ehem.” Kok merinding ya? Kenapa suaranya seperti suara malaikat yang siap menghabisi nyawaku? Dengan gerakan slow motion aku menoleh, mendapati Pak Haikal berdiri tak jauh dariku, rotan panjang yang tengah dipegang oleh pak Haikal membuatku harus menelan saliva susah payah, mampus!  “Ikut saya, Kelvin.” Sungguh hari yang teramat sangat menyebalkan. Dihukum. Dijemur. Hingga jam pelajaran pertama selesai. Dan ini semua gara-gara Nana si Nenek Rombeng. Lain kali aku tidak akan pernah mau membantunya lagi. Meski dongkol aku tak bisa mengelak, mau tau mau harus menjalani hukuman yang diberikan oleh Pak Haikal, berjemur dibawah tiang bendera lebih baik dari pada di suruh membersihkan toilet. Saat ini aku tengah berada dibawah pohon, berteduh dari panasnya sinar matahari. Hukumanku baru selesai lima menit yang lalu, saat aku memejamkan mata menikmati rasa lelah ini, tiba-tiba saja rasa dingin menjalar, aku spontan membuka mata dan menoleh mendapati Nana.  "Nih, buat lo" Lah, seriusan?? "Udah nggak usah berburuk sangka, gue tadi nggak sengaja lihat lo habis dihukum. Karena gue adik yang baik jadi gue beliin lo ini, nih" Cih! Dasar tidak tau diri, kan aku di hukum juga gara-gara dia. Masih dengan ketidakpercayaan yang menyelimuti hati, aku menerima minuman pemberian Nana. "Ntar malem lo bisa kan anterin gue ke mall buat beli kado, besok Riki ultah tuh" kan, apa aku bilang.  Perasaan yang sedari tidak enak kini akhirnya terpecahkan juga. Kalian tau, kalau Nana keluar bersamaku dia tidak akan mau mengeluarkan uang, selalu minta kepadaku. "Cuma nganter kan? Bukan beliin?" tanyaku memastikan.  Nana mendengus "Yaelah, Vin. Biasanya juga gimana, ya?" "Tapi dengan satu syarat" "Apa?" "Panggil gue dengan sebutan kakak plus lo ulang permintaan lo tadi" "Anjing lo!" "Yaudah gue nggak mau" "Oke!" aku tersenyum penuh kemenangan, dia diam selama beberapa menit sebelum memperbaiki posisi duduknya menghadap ku, "Kak.."  Sumpah! wajah Nana begitu lucu saat ini. Ekspresinya antara ingin muntah bercampur dengan ekspresi kepingin memakan orang. "Vin, sumpah! Gue nggak bisa, syarat yang lain kek"  kata Nana frustasi, dia mengacak-acak rambutnya sendiri. Aku berdiri, menaruh botol kosong di tangan nya, "Thanks, gue tunggu sampe lo mau panggil gue kakak" "KELVIN!" -Batas Suci- Esoknya.. "Kelvin, kamu baru bangun?" tanya Mama dengan heran saat aku menuruni tangga, "Nggak telat ke sekolahnya?" beliau melontarkan pertanyaan lagi. Aku tetap berjalan mendekat ke arah meja makan, menarik kursi untuk aku duduki. Mama sih jarang dirumah, jadi tidak bakalan tau kalau aku sudah terbiasa bolos sekolah. "Iya, Ma. Habisnya semalem begadang, jadinya bangun kesiangan" jawabku singkat, mengambil piring yang langsung ku isi dengan nasi. Yah, memang benar sih aku akhir-akhir ini sering begadang lantaran mengerjakan konten.  "Nana udah berangkat, Ma?" Mama mengangguk singkat. "Udah tadi sama Riki" “Vin, kantung matamu tebel banget” komentar Papa, beliau menyuap sepotong daging ke dalam mulut. “Kurang tidur, Pa.” “Kita nggak melarang kamu buat jadi konten kreator, Vin. Tapi kita juga nggak suka lihat kamu yang kayak gitu, jangan sampai sekolahmu terganggu karena hobimu itu” Aku hanya mengangguk agar cepat selesai. Kedua orang tuaku jarang berada dirumah, jadi wajar kalau mereka tidak tau kebiasaanku dengan Nana. Pekerjaan lah yang menuntut mereka untuk sering pergi, entah keluar kota atau bahkan ke luar negeri.  Kalau dulu, aku dan Nana sering sekali merasa di abaikan, tapi semakin dewasa kita jadi semakin mengerti, atau mungkin lebih ke tidak peduli. Toh aku bisa mengurus hidupku sendiri, begitu pula dengan Nana. Ditengah asik nya menyantap sarapan suara Papa memecah kenikmatan sup ayam buatan bibi "Kamu kapan libur, Vin?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Papa. "Masih lama, Pa. Kenapa emangnya?" "Papa mau ajak kamu ke Spanyol kalo mau, akhir bulan ini" Kegiatan sarapanku terhenti, kalian tau apa yang sama menyebalkannya dengan Olimpiade? Yaps, ikut Papa melakukan kunjungan bisnis yang ada di luar negeri. Meski aku suka liburan dan traveling, tapi tidak untuk perjalanan bisnis.  Entah apa yang sedang Papa rencanakan karena beliau terbilang cukup sering mengajakku. Kalau aku dan Papa pergi, maka Mama akan dirumah menjaga Nana. Ah, apa aku sedari tadi sering mengucap nama dia? Yah, wajar sih. Aku sedang kesal, kenapa? Nanti akan kuberi tahu.  "Kelvin pikir-pikir dulu, Pa." Akhir bulan, pikiranku langsung melayang pada jadwal Olimpiade yang juga akan dilaksanakan akhir bulan ini. "Papa berharap banget, lagipula hanya beberapa hari, Vin" "Iya, Pa." Sarapan ku selesai, "Kelvin berangkat dulu, Pa, Ma"  Kalian tau sekarang jam berapa? 6.50, sementara perjalanan dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu 20 menit, ya, aku tau hari ini pasti bakalan terlambat lagi. Tapi aku tidak peduli karena sekarang aku punya jimatnya, huahahaha!!!  Masa SMA tanpa kenakalan adalah suatu hal yang membosankan, mengendarai satria baja hitam ku alias motor matic yang Papa belikan satu tahun yang lalu, menuju ke sekolah. Oh iya, aku mau cerita soal Nana si Nenek Rombeng yang semalam merampokku. Sebuah Leica SL (Typ 601) berhasil dia kantongi untuk diberikan kepada Riki, hari ini cowok itu ulang tahun, aku sih tidak keberatan Nana memberikan sesuatu hal yang sebenarnya berlebihan banget, tapi kali ini aku benar-benar keberatan saat dia bilang,  "Kongsian aja lah, Vin. Fifty-fifty, mahal banget ini" "Udah tau mahal, kenapa dibeli?" Nana nyengir kuda ke arahku, "Kemarin gue ke sini sama Riki, dan dia bilang pengen yang ini" "Yaudah lo beliin sendiri, CC lo limitnya juga lumayan tuh. Ngapain ngajakin kongsian buat bayar" "Lo tega gue jadi gembel habis ini?" Dari pada berdebat panjang lebar dengan dia, lebih baik aku mengalah, toh tidak rugi juga. Dengan begitu aku tidak perlu repot membelikan kado lagi untuk Riki. Bulan lalu, saat aku ulang tahun dia memberiku sebuah ipad keluaran terbaru yang harganya, ehem, tidak perlu aku sebutkan.  Jadi itu secuplik ceritaku dengan Nana saat belanja hadiah ulang tahun Riki. Motor matic ku sampai di depan sekolah yang gerbangnya sudah di tutup, aku kembali melajukan motor itu menuju warung biasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD