bc

Doctor Ryan

book_age18+
16
FOLLOW
1K
READ
HE
heir/heiress
bxg
serious
brilliant
like
intro-logo
Blurb

Doctor Ryan - Boston Series 4

Nick Ryan seorang dokter yang baru saja melepaskan diri dari kedukaan usai

kematian sang istri yang diduga bunuh diri. Pertemuannya dengan sosok Mia Reynold

yang menyerupai mendiang sang istri membuat Nick merasakan ketertarikan.

Sementara bagi Mia, kemunculan Nick seolah menjadi godaan bagi rumah tangganya

bersama Ben Reynold.

Keduanya terpisah saat Nick harus membantu sepupunya Rudolf Felix. Terpisah jarak

dan waktu membuat keduanya hilang komunikasi sampai Nick menemukan sosok

Mia dalam keadaan tragis dengan luka bakar di tubuhnya.

Mia dengan wajah baru dan ingatan yang hilang membawa keduanya dalam teka-teki

kematian mendiang mantan istri Nick.

Akankah Mia ingat siapa dirinya kembali? Benarkah mantan istri Nick terbunuh? Lantas siapa sosok dibalik pembunuhan itu?

sesungguhnya?

chap-preview
Free preview
Ryan: 1
Berlari dan terus berlari, hanya itu yang Mia ingat, bahkan Mia nyaris lupa untuk bernapas. Menuruni anak tangga dengan atau tanpa lagi melihatnya, ia percaya dengan intuisi kedua kakinya. Mia hanya berpegang pada besi almunium yang ada di sisi kanan, dan mendesiskan kata bisa, bisa, bisa secara berulang-ulang bagai lafas doa. Napasnya tersengal-sengal dengan peluh yang membanjiri wajahnya. Ada takut yang mencekam. Membekap dengan erat. Dengan tenaga yang tersisa, Mia berhasil untuk sampai ke lorong, setelah melewati banyak anak tangga dan sebuah pintu kaca dorong, berhenti sejenak, terbungkuk, dengan napas tak beraturan, menoleh ke kanan dan ke kiri, dirinya harus memutuskan. Hanya sempat menghela napas panjang dalam sekali tarikan sebelum terdengar seseorang meneriaki namanya dari kejauhan. “Mia!!!” Menoleh dari balik bahu, seorang pria berpakaian serba putih dengan tubuh tinggi besar yang sedang menuruni anak tangga. Tak ada waktu untuk berpikir lebih jauh lagi, Mia telah mengambil keputusan. Mia mengikuti kata hatinya untuk berlari ke arah kanan. Berlari menyusuri lorong panjang, yang hanya diterangi lampu-lampu redup. “Tuhan…Tuhan tolong aku.” Gumaman yang terdengar di sela napas Mia yang putus-putus. Aneka citra bayangan berkelebat di kepala Mia bersamaan dengan langkah kakinya yang berlari. Mia merasakan jika dirinya mulai kehabisan tenaga dan juga napas. “Aku tidak mungkin salah.” Mia begitu ingat dengan lorong yang dirinya lalui saat ini. Lorong yang pernah ia lalui saat seorang pria membawanya untuk pertama kalinya ke tempat ini. Deretan pot yang digantung berisikan tanaman rambat. Lampu yang menempel di langit-langit lorong. Kunci mobil yang ada dalam genggamannya saat ini, Mia tak mungkin salah. Intuisinya benar. Mia sedang berlari mengarah pada parkiran mobil. Tanah lapang dengan beberapa buah mobil terdiam di sana. Mia menelan ludah, melayangkan pandangan matanya mencari mobil yang harusnya masih mampu dia kenali. Mobil milik Josie yang sengaja Josie pinjamkan dan tinggalkan di parkiran seberang klinik. “Di mana mobil itu?” batin Mia dengan napas terengah-engah. “Mia!!!” pekik pria itu lagi. Mia menoleh dan kembali berlari menuju sesuatu yang berhasil dirinya temukan. Tombol yang ujung ibu jarinya tekan berhasil membuka pintu mobil dengan bunyi “bip”. Mia mencoba untuk membuka pintu dengan tangan gemetar lalu menutupnya kembali dengan disusul suara hentakan keras. Tangan yang terasa basah dan juga gemetar. Mia memasukan kunci dalam genggaman tangannya yang telah berubah lembap untuk masuk ke dalam slotnya. Memasang sabuk pengaman, lalu menginjak pedal dengan berbalut kepanikan hingga tubuhnya bergetar. Mobil berhasil melaju dan meninggalkan seorang pria yang mencoba berlari menghampiri. Pria itu berbalik dengan amarah yang dapat Mia saksikan melalui kaca spion yang tergantung di atas kepala, tepat di hadapannya. Peluh di kening Mia telah membanjiri hingga ke pelipis, begitu juga dengan kerja jantung Mia yang berubah cepat bersamaan dengan napas Mia yang kian kembang-kempis. “Ya Tuhan, apa yang sesungguhnya terjadi?” Mia masih mencoba untuk mengingat. Mobil telah berada di jalan raya yang sepi. Hari sudah gelap, malam yang sudah merambat. Mia masih terus mencoba untuk melajukan mobil yang ia kendarai saat ini di jalan yang benar. Meski terasa sulit dan susah payah, namun tak sampai lima belas menit, mobil Range Rover hitam itu telah berada tepat di belakang Mia dengan menyorotkan lampu depan hingga membuat pandangan mata cokelat Mia sedikit kehilangan fokus, disusul dengan suara klakson yang tidak hentinya. “Sial,” desis Mia, dilanjut dengan menginjak pedal gas hingga mobil melaju lebih kencang dari sebelumnya, seiring dengan detak jantung dalam d**a Mia. Berkelebat banyak memori dalam otaknya yang berjejal untuk keluar. Gambaran kehidupan yang mampu Mia ingat dalam beberapa jam terakhir. “Kau harus membuatnya gila. Dengan begitu aku bisa dengan mudah menyingkirkannya.” Suara milik seorang pria yang samar dari balik dinding ruangan tempatnya disekap. Mata indah Mia yang terbelalak, jantung yang ia rasakan berhenti berdetak, dan keringat dingin berjejal di pembuluh kulitnya yang pucat. Telinganya mendengung secara tiba-tiba. Telapak tangan Mia juga basah, Mia sadar dirinya sedang diserang kepanikan, dan parahnya ia tak tahu bagaimana cara mengendalikannya. “Kau harus memberinya obat yang bisa membuatnya---entahlah, apa pun itu.” Suara seseorang itu terdengar lagi. Mia merasa mengenalinya, tapi siapa. Itu yang menjadi pertanyaan besar baginya. “Kau sudah gila. Wanita itu bisa mati!!” Sembur suara yang Mia duga adalah wanita cantik yang menanganinya selama ini. Mia hanya mampu mengingat bayangan visual, tapi tidak dengan namanya. “Itu lebih baik.” Suara seorang pria lagi yang menyahut dengan suara lantang dan seakan melegakan. Keheningan menyelinap, jeda beberapa detik. “Baiklah.” Kesepakatan telah terjadi. Mia mencoba mengingat hari apa ini. Tidak ingat, matanya terasa tebal, ia telah memasang telinga baik-baik, meski samar. Tungkak kepalanya terasa sakit, nyeri yang membuat pandangan matanya berkunang-kunang. Telinganya mendenging secara tiba-tiba, samar menangkap suara langkah yang menjauh, langkah satu orang. Mia kembali ke ranjang, berbaring miring di balik selimut berwarna abu-abu lusuh, merasakan kepalanya yang ditusuk-tusuk rasa sakit, lalu Mia mencoba memejamkan mata bersamaan dengan suara pintu yang dibuka. Langkah yang kian mendekat, suara hak sepatu yang bergesekan dengan lantai dan sosok itu menjulang di ujung ranjangnya. “Mia… Mia.” Suara seseorang memanggil namanya lalu sambil menyentuh kulit kakinya yang tidak tertutup selimut. Membuka mata secara perlahan menjadi pilihan satu-satunya bagi Mia. Dengan kesadaran yang tidak sepenuhnya Mia berusaha untuk membedakan nyata dan sandiwara. Saat matanya terbuka secara perlahan, manik mata cokelatnya mendapati dokter cantik itu sedang berdiri di ujung ranjang dengan sebuah wadah kecil di tangannya. “Bangun dulu, waktunya minum obat,” perintah Dr. Stella Bell, sambil mengamati Mia penuh selidik. Mia berhasil membaca nama dari dokter yang menjulang di hadapannya. Nama itu tertera dengan jelas di jubah putih yang dokter itu kenakan. Bangun dari ranjang, ternyata Mia butuh usaha untuk menjalankan sandiwaranya dengan sempurna, meski tak mudah baginya. Dr. Marie menyodorkan wadah di tangannya sambil berkata, “Ini obatnya.” Satu buah tablet putih kini berpindah dari dalam wadah ke telapak tangan Mia yang lembab. Mia mencoba berpikir untuk tidak meminumnya. “Bisa tolong ambilkan minum untukku?” pinta Mia dengan suara yang terdengar parau sambil menatap wajah di hadapan. Dr. Marie yang berdiri tepat di hadapannya. Dokter itu telah berpindah dari ujung ranjang, mendekat ke arah Mia dengan gerakan anggun. Saat Dr. Marie menoleh untuk mengambil air minum dalam gelas bening yang ada di atas nakas, Mia bergegas mengganti obatnya dengan vitamin yang ditinggalkan Josie di balik selimut Mia beserta dengan sebuah kunci mobil. Mia melakukannya dengan cepat dan tangannya gemetar setelahnya, Mia berusaha untuk bersikap seolah tidak terjadi apapun. “Ini air minumnya.” Gelas terulur tepat di hadapan Mia. Mia melirik Dr. Marie, wanita itu menatap Mia dengan ragu. Sikap yang jelas menggambarkan keraguan bersamaan dengan debaran jantung Mia yang tak karuan. Mia langsung meneguk air putih di dalam gelas yang dirinya genggam di bawah sorot mata sang dokter. Membiarkan vitamin itu masuk ke dalam tubuhnya menggantikan tablet putih yang masih dalam genggaman tangan yang erat. Mia berharap jika sandiwaranya berhasil dengan sempurna. Lamunan Mia buyar ketika sebuah truk barang muncul dari arah berlawanan dengan bunyi klakson yang memengkakan telinga. Saat itu lah Mia tersadar, terlepas dari lamunan singkatnya dan berusaha untuk menghindari truk semampu yang dirinya bisa lakukan. Namun sudah terlambat saat truk itu menyerempet, dan detik itu juga Mia merasakan kehilangan kendali atas mobil yang diirnya kemudikan. Kepanikan yang memuncak hingga Mia tak dapat lagi berpikir dan merasakan mobilnya melayang, melewati dinding pembatas jalan dan “BUUUUUMM!!!” Bayang-bayang putih bagai berkelebat di pelupuk mata Mia. Tubuhnya terpental berbarengan saat dirinya berhasil melepaskan diri dari sabuk pengaman yang membelit tubuhnya dengan begitu erat di jok mobil. Percikan api telah menyambar tubuh Mia dengan cepat hingga Mia bisa merasakan separuh tubuhnya terasa panas menyengat sebelum akhirnya berguling-guling. Tubuh Mia menerabas pohon-pohon hingga kepalanya mendarat di atas sebuah batu besar, terkapar di tanah merah yang becek. Pipinya menempel pada tanah, Mia dapat mengenalinya dari penciumannya dan ada cairan yang mengaliri wajah Mia. Cairan yang berbau anyir dan terasa hangat melintasi matanya. Napas Mia berubah pendek-pendek. Kau akan mati disini. Ya, mati seorang diri. Tak akan ada yang tahu. Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan. Tak lama terdengar suara sambaran petir, lalu hujan lebat turun. Mia terlelap telungkup lalu semuanya berubah gelap. *** “Di mana kau menemukannya, Otis?” tanya Nick saat salah seorang pegawainya datang sambil berlari dengan napas terengah-engah sebelum berhadapan dengan Nick yang baru saja tiba dan terpaksa kembali masuk ke dalam mobilnya bersama sang pegawai. Mobil melaju dengan kencang menerobos jalanan kecil menuju ke jalan utama. Otis masih tampak gemetar bahkan pertanyaan Nick belum dirinya jawab. Nick sesekali melirik dan ia bisa menangkap ketakutan Otis. “Tenangkan dirimu, tarik napas pelan-pelan dan hembuskan.” Otis melakukan yang diperintahkan Nick. Otis mencoba dengan usaha keras untuk menenangkan dirinya meski bayangan wanita yang ditemukannya tak mampu ia singkirkan. “Kau bisa menceritakannya pelan-pelan,” pinta Nick lagi dari balik kemudi. Otis menatap Nick yang telah memalingkan wajahnya lagi untuk menatap jalanan yang terbentang di depannya. Otis masih terdiam sambil menelan ludahnya sendiri untuk beberapa menit lagi. “Seorang wanita tidak sadarkan diri di sungai. Kami sedang... maksudku... saya dan seorang teman sedang bersiap untuk memancing, tapi… kami menemukan seorang wanita dengan luka yang nyaris di seluruh tubuhnya,” cerita Otis dengan terbata-bata. Suara yang keluar dari pita suara Otis juga terdengar bergetar selain wajahnya yang terlihat panik. Nick kembali menoleh sebentar sebelum menatap ke arah jalan, tetap tenang di balik kemudi. Perjalanan yang tidak memakan waktu lama sampai Nick mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke arah jalan sempit dengan permukaan jalan yang menurun dan berbatu. Jalanan yang semakin curam sampai Nick menghentikan laju mobil yang dikemudikannya di pinggiran sungai yang terlihat surut. “Itu, di sana, Sir.” Otis menunjuk ke arah sungai di mana temannya sedang menunggu di pinggiran. Otis dan Nick saling menatap satu sama lain untuk sejenak sebelum keduanya berhamburan keluar dan melangkah cepat untuk mendekat. “Anda mungkin bisa memastikan jika wanita itu akan baik-baik saja atau tidak,” ucap Otis. “Tenanglah, Otis.” Nick mengatakannya dengan tenang untuk membuat Otis Lee, pria muda yang telah bekerja untuk keluarga Ryan selama sepuluh tahun terakhir. Otis berjalan dengan setengah berlari mengimbangi laju langkah lebar Nick Ryan yang memiliki tubuh tinggi tegap dan kedua kakinya yang panjang. “Wanita itu masih di sana.” Teman Otis menujuk ke arah sebuah batu besar dan ketiganya langsung turun ke arus sungai yang tidak lagi deras. Bahkan Nick mampu berjalan di antara laju air yang surut. Kiri kanan dinding bukit yang ditumbuhi pohon besar dan ilalang lebat. Sesosok wanita dengan luka bakar, darah mengering, rambut yang terjuntai. Rambut cokelat gelap. Posisi korban yang tersangkut di batuan besar, wajahnya tertutup rambut. Langkah ketiganya berhenti. Nick berpijak di atas bebatuan sebelum menurunkan tubuhnya. “Apakah dia mati?” tanya Otis yang terdengar lirih sementara Nick mendekat ke arah korban, mencoba untuk memeriksanya. Otis dan kawannya saling melirik satu smaa lain dengan tatapan yang cemas. Nick menyingkirkan rambut dari wajah korban yang ia tahu seorang wanita. “Ya Tuhan,” batin Nick terkejut yang membuatnya terdiam dua detik sebelum memeriksa denyut nadinya di arteri karotid. Nick masih mampu merasakan denyutnya meski begitu lemah. “Bagaimana, Sir?” Pertanyaan Otis yang membuat Nick menoleh untuk menatapnya tanpa melepaskan pergelangan tangan korban. “Tenanglah,” ujar Nick yang kembali memeriksa keadaan wanita yang terluka parah di hadapannya. Nick perlu menggeser posisinya untuk lebih dekat agar bisa meletakkan ujung jari telunjuknya ke depan hidung korban. Napas yang masih mendesir pelan, terasa panas dan nyaris tidak terdengar. “Dia masih hidup,” ucap Nick sebelum manik matanya mendapati sebuah cincin melingkar di jari korban. “Syukurlah,” desah Otis dan temannya bersamaan dengan perasaan lega dan syukur. Nick masih mengamati keadaan wanita itu sambil mempertimbangkan keputusan selanjutnya. Ada perasaan mengusik yang seakan tak mampu Nick tampik. “Kita bawa pulang saja,” ucap Nick yang membuat Otis dan kawannya saling melirik karena terkejut. Nick menoleh dari balik bahunya. “Kalian bantu aku untuk memasukkannya ke dalam mobil,” ujar Nick sambil kembali berdiri tegak dan menyaksikan korban wanita dengan tubuh penuh luka. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.7K
bc

My Secret Little Wife

read
97.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook