Chapter 1 - Tamu Tak Terduga

2897 Words
Nadia Kehidupanku selama dua tahun ini berjalan dengan bahagia. Setelah selama lebih 3 tahun aku merasa bimbang dengan diriku akhirnya aku lebih memilih untuk tetap bersama Revan. Benar kata Nenek cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa. Dan nampaknya itu mulai berlaku untukku dan Revan. Walau, sejujurnya di lubuk hatiku yang paling dalam terkadang aku merasa ragu dengan jalan yang ku pilih saat ini. Aku ragu apa aku bisa benar-benar mencintai Revan dan melupakan Dikta sepenuhnya? Sampai kapan... aku masih terus berbagi hatiku seperti ini? “Selamat pagi,” bisik Revan dengan mesra di telingaku pagi ini. Aku memicingkan kedua mataku. Sinar mentari begitu menusuk kedalam kamarku seolah memaksaku untuk membuka kedua mataku pagi ini.  “Selamat pagi... Mas,” sahutku. “Bagimana tidurmu?” tanya Revan. “Selalu nyenyak.” Revan mendekapku dalam pelukanya, ia mencium keningku. “Nggak, mimpi buruk kan?” “Selama sama kamu mah, nggak akan kayanya,” ujarku riang. Revan menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang dibalut lingerie dengan belah d**a yang rendah. “Bagus lah, mungkin aku harus sering-sering tidur di samping kamu kali ya?” “Jangan pernah tidur di kursi lagi!” perintahku. “Kan udah jarang, Nad. Nggak pernah lagi malah!” tuas Revan. Keheningan menghampiri kami berdua. Revan semakin lama semakin menyebalkan. Sikap manjanya benar-benar masih saja tidak berubah. argh kenapa dia selalu saja mendekapku seperti ini setiap pagi? Aku ini mau berangkat kerja plis -_- “Mas,” panggilku. “Apa, sayang?” “Sampai kapan kita terus begini?” tanyaku kesal, “Aku mau pergi ke rumah sakit ni.” Revan tertawa meledek. “Ayo, kita cuti aja lah hari ini. Itung-itung program punya baby gitu.” “BABO NAMJA!” aku mencubit hidung Revan, “Kamu mah! Ah, ayolah pasienku pasti udah banyak yang nungguin ni.” “Iya iya... ayo kita mandi bareng,” sahut Revan. “MAS!” aku melemparkan tatapan nanar. “Oke aku ngalah.” ia menyera, “Kamu mandi dulu gih sana. Nanti baru aku. oke?” “Bagus!” ##### Revan Aku sangat bahagia dengan kehidupanku saat ini. Aku memiliki seorang istri yang lebih dari seorang malaikat. Satu hal yang begitu aku syukuri, adalah pertemuan pertama kami. Walau, bukan pertemuan yang romantis seperti di film-film roman tapi pertemuan inilah yang membuatku jatuh cinta denganya. Aku jatuh cinta dan juga terobesi dengannya sejak pertama aku menatap kedua mata cokelat tuanya yang teduh itu. Dan dia juga yang membuatku kehilangan akal sehatku melakukan segala hal demi dirinya. Mata cokelat tua yang cantik... dan... sorot kedua mata cokelat tua itu benar-benar mengingatkanku dengan kedua mata cokelat muda milik... Raina. Awalnya mungkin aku hanya mencoba bermain-main, awalnya aku hanya menggunakannya sebagai alat pencengah paksaan dari papi yang selalu menjodohkanku dengan anak-anak temannya, awalnya aku hanya ingin mencari pelarian karena rasa sakit yang membekas karena penghiantan Raina masih membekas. Namun, sialnya aku jatuh cinta denganya. Ini nyata, aku pikir awalnya aku hanya menganguminya. Tapi ini berbeda. Aku terus memandangi Nadia yang sedang asik merias dirinya di depan meja rias. Pagi ini, Nadia benar-benar telihat seperti malaikat. Sayangnya, dia bukan malaikat karena dia tidak memilik sepasang sayap. Mini dress berwarna cokelat muda yang memperlihatkan jelas lekuk tubuhnya yang indah itu sehingga membuatku kehilangan fokus pagi ini. Sembari membuka lemariku, aku mulai memilih kemeja yang akan aku gunakan pagi ini. Pilihanku jatuh kepada kemeja biru laut dengan motif garis-garis yang di padukan dengan celana hitam berbahan kain. Kukenakan kemejaku untuk menutupi tubuhku ini. saat aku ingin mencoba mengancingkan kemejaku, tiba-tiba Nadia menghampiriku sembari tersenyum. “Mau aku bantuin?” tawarnya. “Nggak usah aku bisa-.” Jari-jemari lentik Nadia mulai menelusuri kemejaku. Ia sangat cekatan mengancingkan satu per satu kancing kemejaku. Aku hanya diam sembari memandanginya terus-menerus. Semakin lama dia semakin cantik saja rasanya aku begitu beruntung memilik wanita sepertinya. Cantik, baik, perhatian, namun terkadang menyebalkan. Hidupku bagai sebuah pelangi yang indah saat ia mulai hadir di hidupku.  She’s my reason now. “Selesai!” serunya riang. “Makasih,” kataku. “Sama-sama, Suamiku yang jelek.” Aku memeluknya erat. Nadia mendongak kearahku karena ia cukup pendek. Saat ia tidak menggunakan heels, mungkin tingginya hanya sedadaku saja. Mirip anak-anak lebih tepatnya anak SD. Tapi aku sangat mencintainya walau, dia seperti anak-anak. “Kamu cantik deh, hari ini....” godakku, jari-jemariku memaikan rambut hitam lurusnya. Tercium aroma shampo Strawberry miliknya. “Gombalnya mulai deh.” “Aku jujur!” tuasku, “Kenapa, kamu semakin hari semakin cantik aja si?” “Tanya sama diri kamu lah,” sahut Nadia, “Kenapa melihatku semakin cantik.” Aku terus memadanginya seolah-olah ia adalah santapanku. Ya tuhan bibir tipisnya yang di olesi lipstick berwarna Red Vampire itu mengodaku. Ayolah, ini masih pagi hentikan. “Kamu ini!” “Kenapa emang-.” Secepat kilat aku membukam bibirnya dengan ciumanku. Terlihat Nadia cukup kaget dengan siapku. Nafasnya terasa memburu, rona merah muda di pipnya semakin terlihat jelas, dan aku dapat mendengarkan detak jantungnya semakin cepat. Sejenak aku melepaskan ciuman kami. “Kenapa kamu menyebalkan? Aku ngomong jujur di bilang gombal aku tanya kenapa malah kamu jawab tanya diri sendiri. Dasar, kurcaci jelek.” “Biar aku jelek tapi, kamu cintakan?” Ia mengedipkan matanya denganku. Aku langsung mengankat tubuh munggilnya itu dengan kedua tanganku. “Ya, sangat cinta malah.” ##### Nadia Revan tanpa aba-aba langsung membantingku ketempat tidur. Ia menatapku sangat dalam sembari membelai pipiku. Sedetik kemudian ia mulai melumat bibirku dengan kasar. Sial aku benar-benar tidak berkutik karena ia mengunci diriku. Dan otakku mulai merespon untuk membalasnya. Kami berciuman sangat dalam, panas, dan b*******h pagi ini. Revan terus melumat bibirku, mengigit kecil bibirku dan menarik lidahku. Dasar dokter m***m! Rasanya pagi ini akan menjadi pagi yang gila untukku karena aku begitu menikmati ciuman kami. Ya aku sangat menikmatnya karena bibir Revan benar-benar bagikan obat terlarang untukku merusak sistem syarafku dan selalu membuatku lupa diri. ‘tok tok tok’ “Sial,” umpuat Revan kesal, “Siapa si?” Aku langsung mendorong tubuh Revan menjauh dari tubuhku. “Gangguin orang aja pagi-pagi!” Revan berlari kearah pintu kamar kami. Aku memilih untuk masuk kedalam kamar mandi untuk memperbaiki keadaanku yang mulai berantakan ini, rambut hitamku yang semua lurus dan tertata rapi berubah menjadi berantak, dan bibirku, terlihat lipstick warna Red Vampire-ku nampak sudah tak berbentuk lagi. Aku bercermin menatap diriku sendiri. Sampai kapan aku seperti ini? Mungkin sekarang aku merasa aku senang dan bahagia karena Revan di sampingku tapi Aku benar-benar masih merasa bimbang saat ini. Aku ingin hidup bahagia yang sesungguhnya. Aku ingin hidup bersama pria yang benar-benar aku cintai. Aku sangat mencintai Dikta sama seperti aku mencintai papa, tapi aku juga mencintai Revan karena dia memberi warna di hidupku. Kupandangi tubuhku terus yang terpantul di depan cerimin. Pikiranku mulai melayang. Aku menikah dengan Revan awalnya memang bukan karena cinta, tapi entah kenapa aku mulai berpikir seperti apa yang Revan utarakan satu setengah tahun lalu. Memiliki anak. Sejujurnya aku belum siap dengan hal ini. Aku baru 25 tahun. mungkin umurku sudah cukup matang untuk memiliki seorang anak, bahkan lebih dari cukup. Terkadang aku merasa iri melihat Wendy dan Kevin mereka hidup sangat bahagia karena, seorang anak. Bagimana jika aku memiliki anak juga apa ini membuatku semakin yakin dengan Revan? Apa seorang anak akan membuat pernikahan kami bahagia? Apa aku terkesan egois, selama hampir dua tahun ini aku membodohi Revan dengan menggunakan KB dan menunda kehamilanku secara sepihak karena alasan tidak siap secara diam diam? Sampai kapan aku terus merasa ragu? “Mana istri Kakak?” terdengar suara wanita yang sangat sayup-sayup dari balik pintu. “Istriku lagi di kamar mandi,” sahut Revan, “Ada apa?” “Aku penasaran aja,” sahut suara wanita itu, “Wanita i***t mana yang mau di nikahin sama pria playboy cap obat nyamuk seperti Kakak.” “Sial!” umpat Revan, “Aku bukan playboy! Mereka aja yang sibuk ngejar-ngejar aku! Cih.” “Playboy mah playboy aja, Kakak Jelek!” ledek suara itu. Aku puntuskan untuk keluar dari kamar mandi. Setelah aku merapikan keadaanku yang sangat berantakan, ku putusakan untuk menguncir ekor kuda rambut hitamku untuk menyembunyikan kusutnya rambutku karena Revan pagi ini. “Ada apa-.” ###### Revan Dan aku benar-benar tak dapan mencegah kehendak si tuyul kecil penganggu ini untuk melihat Nadia. Aku hanya dapat menahan maluku, kalau Elena tahu istriku ini masih seumuran denganya. Apa katanya nanti? Pasti dia akan mengataiku dengan sebutan paedopilia atau om-om m***m. Aku dan Nadia memang cukup jauh jarak usia dia antara kami sepuluh tahun. Aku sudah berumur 36 tahun dan Nadia baru 26 tahun. “Nadia?” ujar Elena nampak tak percaya. “Elena?” Nadia nampak tak berkedip saat adikku menyapanya. “Kalian saling kenal?” tanyaku ragu. “Kami satu SMA,” sahut Nadia. “Jadi....” Elena tak mampu menyelesaikan perkataanya Aku hanya mematung. Jadi Nadia dan Elena satu SMA? Dan aku.. aku menikahi teman adikku sendiri? Ya tuhan, buhun aku sekarang juga. Sumpah demi tuhan, jika Nadia adalah teman adikku aku tak akan pernah mau menikahinya. Oh ayolah Revan.  “Jadi, kamu ini adik yang diceritakan Mas Revan ya?” Nadia nampak tak percaya. “Kalian...” Aku langsung menarik tangan Elena dan menyeretnya keluar dari kamarku. Elena memberontak denganku. aku tak menghiraukan teriakan Elena di telingaku yang membuat telingaku sakit saat ini “Kamu kemana aja?” aku melepaskan cengraman tanganku saat sudah menjauh dari kamarku. “Mengejar cita-cita gue lah!” sahut Elena sinis, “Gue nggak mau, jadi kerbau yang di cucuk hidungnya macam Kakak!” “ELENA!” Bentakku kesal. Elena melempar tatapan sinis denganku. Sama seperti kejadian nyaris sepuluh lalu, saat papa mengusirnya dari rumah dan hidup mandiri di apartermen karena ia menentang keinginan papi saat itu. papi ingin dia menjadi seorang dokter namun, Elena lebih memilih menjadi seorang model seperti cita-citanya semasa kanak-kanak. Hubungan antara orang tuaku dan Elena mulai membaik setelah aku menikah dengan Nadia puncaknya saat usia pernikahanku dan Nadia berjalan tiga tahun. Elena memilih menetap di Italy saat itu demi mengejar karie modelnya dan mami nampak bahagia mendengarnya. Mami juga sering mengunjungi Elena dua bulan sekali selama dua tahun belakangan ini. “Kenapa? Memang itu kenyataan bukan Kakakku sayang?” ada penenkanan di kata terakhir, “Memang kenyataanya seperti itu kan?” “Jangan pernah mengatakan itu!” ujarku kesal. “Gue mengatakan yang sejujurnya, Kak Revan-ku sayang. Kenapa gue katakan seperti ini? Karena, Kakak itu terlalu payah! Ya payah, kakak itu terlalu menuruti kemauan Papi!” “ELENA DIAM KAMU!” “Sampai kapan lo jadi boneka papi, Kakakku sayang?” cibir Elena. “Aku bukan boneka Papi!” erangku. “Yakin?” tantang Elena, “Jika, bukan boneka Papi kenapa kakak tidak menolak saja dulu masuk ke kedokteran? Bukankah Kakak bercita-cita menjadi seorang arsitek? Kenapa, Kakak tidak mengejarnya hmm?” “Cukup Elena!” “Jangan bilang, Kakak terpaksa menikah dengan Nadia karena desakan Papi juga?” Ia tertawa mengejek denganku, “Iya kan?” “Kenapa lebih dari 10 tahun aku tidak bertemu dengamu sikapmu semakin kurang ajar denganku, Len?” sindirku. “Sekarang jawab gue!” kedua mata hitam Elena menatapku tajam, “Kenapa kakak nikah sama Nadia? Hm?” “Dia juniorku,” elakku, “Salahkah aku menikah denganya?” “Junior lo?” Elena menaikan alisnya. “Kamu lupa? Aku juga kuliah di tempat Nadia kulaih dulu,” jawabku. “TAPI, LO ITU LULUS JAUH SEBELUM NADIA MASUK KE KAMPUS LO, KAK!” teriak Elena histeris, “Dan ini di luar logika gue!” “Ya memang kenapa?!” “Lo nggak kasihan sama dia?” ujar Elena. “Kasihan kenapa? Aku sayang sama dia, aku cinta sama dia!” ujarku, “Dan selama empat tahun ini, aku bahagia hidup sama dia. dia juga bahagia hidup sama aku.” “Lalu? Apa dia juga sayang dan cinta sama kakak?” tanya Elena ketus, “Revan Agustaf Putra Dharmawan, jangan karena lo gagal mendapatkan Raina-mu itu kamu memaksa Nadia menikah denganmu dan menjadikan ia sebagai pelampiasanmu.” Aku membeku seketika. Ya awalnya aku hanya melampiaskan kemarahanku dengan Nadia karena aku gagal mendapatkan Raina, tapi sumpah demi tuhan aku juga jatuh cinta dengannya sejak pertama kali aku melihatnya di mall itu. “Nggak bisa jawabkan?” Elena tersenyum sinis denganku. “Siapa yang memaksanya untuk menikah, Ha?!” tantangku, “Dengar ya Elena Apriliana Putri Dharmawan, aku berani sumpah tak ada pemakasaan atau apapun disini. Aku dan Nadia menikah karena kami sama-sama saling mencintai apa itu tak cukup?” “Gue kenal Nadia dari SMA!” tuas Elena, “Dan gue tau dia sangat mencintai Dikta!” Dikta? Jangan bilang si pria aneh yang pernah memeluk Nadia tempo hari? Dan dia juga menjadi pria yang membuat Nadia tidak pernah mencintaku dulu? Jadi, Nadia mencintai pria urak-urakan dan aneh seperti pria itu? cih memang selerah kurcaci itu tak pernah baik. Benar-benar wanita bodoh! Untung saja kamu denganku Nad bagimana kalau kamu bersama Dikta? “Well, baiklah.” Elena nampak menyerah.,“Kalau, begitu minggir dari hadapan gue sekarang juga! gue kepengen bertemu dengan kakak ipar baru gue.” Elena langsung menginjak kaki kananku dengan high heels-nya. Seketika aku merasakan kakiku seperti retak karena hantaman heelsnya. Ia meninggalkanku dan masuk kedalam kamarku. Keringat mengucur dari dahiku. Kira-kira apa yang akan di katakannya dengan Nadia? Aku benar-benar takut.. apa sehabis ini aku akan kehilangan Nadia? Tidak aku tidak mau kehilangan Nadia. #### Nadia Aku hanya terduduk di tepian tempat tidurku dengan perasaan yang tak karuan. Jadi.. selama ini Revan adalah kakak dari Elena? Kakak yang sering di hujat oleh Elena karena mengusirnya bersama papinya dari rumah itu Revan? dan adik yang di ceritakan oleh Revan tempo hari itu adalah Elena?... Katakan ini hanya sebuah mimpi. Sungguh aku benar-benar ingin mati saja saat ini. Apa katanya aku menikah dengan pria tua ini dan itu adalah kakaknya? “Nadia?” panggil seseorang sembari terdengar suara pintu kamarku yang tergeser. “Elena?” Elena berjalan masuk kedalam kamarku. “Gue nggak nyaka.” Aku menggeser duduku demi memberi space kepadanya. Perasaan canggung menghampiriku. Teman SMA-ku sekarang adalah adik iparku? Ini belum pernah aku bayangkan di dalam hidupku sejujurnya. “Gue lebih, Len,” kataku “Kenapa... Oh, Nadia!” Elena memelukku erat, “Kenapa semuanya seperti ini, Nad?” “Elena.” “Gue sangat berharap lo bisa sama Dikta Nad tapi, kenapa jadinya lo samah kakak gue yang gila itu?” Aku tersenyum. “Ini takdir Elena. Dan gue tak bisa menolak takdir yang udah di gariskan tuhan sama gue.” “Lo di suap apa sama kakak gue? Apa dia memperkosa lo? Apa lo hamil duluan? Apa kalian-.” “Nggak!” potongku, “Kita nikah karena kita sama-sama udah yakin. Di perkosa? Hamil duluan? Astaga, Elena kakak elo itu pria baik-baik. Dan gue salut sama dia dia nekat ngedektin gue dengan susah payah.” “Serius?” “Dia beneran baik banget, dia bagaikan malaikat!” pujiku, “Dia bantuin gue revisi skripsi sama sidang kemarin loh, Len.” “Maaf Nadia,” ujar Elena tiba-tiba. “Harusnya semuanya nggak seperti ini.” “Maaf kenapa? Gue sayang banget sama kakak lo, Len,” kataku ragu. “Lo nggak lag bohong kan, Nad?” “Apa gue keliatan lagi bohong?” sindirku, “Elena, gue sayang sama kakak lo gue cinta sama dia sejak pandangan pertama.” Aku mengutuk perkataan ini. Ya tuhan, sejujurnya perasaanku sangat bimbang. benarkah, aku memencintai Revan? “Kapan pertama kalian ketemu?” tanya Elena antusius. Haruskah aku menceritakan pertama kali aku bertemu dengan si dokter gila ini sekitar enam tahun yang lalu di pusat perbelanjaan dan terlibat perkelahian konyol karena merebutkan sebuah sepatu? Oh ya tuhan... aku harus bagaimana sekarang. Ini koyol aku tak mau menceritakannya dengan Elena. “Dia itu orang yang nolongin gue saat hampir di perkosa dulu,” kataku ragu. “Serius?” Aku mengacak-ngacak rambut Magondy milik Elena. “Dua rius malah.” “Ya, Kakak ipar, jangan ngacakin rambut gue kali!” erangnya. “Sepertinya gue harus terbiasa dengan panggilan kakak ipar dari lo, Len.” Aku tertawa mengejek. “Nggak nyaka lo jadi kakak ipar gue, Nad,” sahut Elena. Aku memeluk Elena seperti layaknya sahabat. “Bahkan, gue nggak kebayang kakak lo yang pernah lo ceritain itu ternyata sekarang jadi suami gue.” “Kakak pecicilan!” cibir Elena. “Dokter gila,” sahutku. “Serius, lo manggi dia Dokter gila?” Elena tertawa, “Gimana respon dia? marah nggak?” “Iya awalnya dia marah!” tuasku, “Dan, dia malah manggil gue... Kurcaci.” Elena tertawa terpingkal-pingkal mendengar perkataanku. kenapa aku harus punya adik ipar seperti dia si? “Sumpah kalian aneh. Super aneh. Jadi itu panggilan sayang kalian?” “Begitulah.” “Dokter gila, kurcaci. Ya tuhan gue nggak nyaka orang se-playboy kak Revan bisa bertekuk lutut sama lo, Nad!”  “Mungkin pesona gue emang keren, Len,” ujarku percaya diri. “Lo bikin Dikta cinta mati sama lo dulu waktu jaman SMA dan sekarang lo bikin kakak gue cinta mati sama lo dan merubah kakak gue yang tadi playboy jadi pria setia.” Aku tertawa mengejek. Apa si yang istimewanya dari aku? Aku rasa semua orang mengatakan aku cantik itu adalah orang-orang yang memiliki kelain penglihatan. “Bisa aja.” “Serius gue!” tuas Elena, “Kakak gue itu playboy cap obat nyamuk banget. Apalagi jaman kuliah beh ceweknya Nad tiap minggu ganti terus.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD