bc

Conscience

book_age18+
157
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
straight
ambitious
expert
male lead
realistic earth
crime
school
like
intro-logo
Blurb

Gara Sambadha merupakan anak pertama dari seorang pengusaha sukses. Baru saja menamatkan study-nya di Sambadha University, Gara memutuskan untuk pindah ke London. Menuntut ilmu sekaligus melepaskan masa lalunya yang menyesatkan.

Di London, Gara bertemu dengan Melani dan Akmal, kakak beradik asal Indonesia yang sangat ramah.

Pada sebuah malam yang sial, Gara melakukan sebuah kesalahan sehingga membuat Melani dan Akaml pergi meninggalkannya. Membuat hidupnya ke depan penuh dengan penyesalan dan upaya penebusan dosa.

chap-preview
Free preview
1. Gara Berama
"Gara kalau mau terjun ke bisnis ya belajar dulu, kamu kan dari Sastra, Nak. Ke London mau?" Tanya Papi Rafi, adik dari Papa. "Berapa tahun?" Tanyaku. "Dua tahun, tapi kalo mau dapet gelar ya tiga tahun." Aku diam, sedikit melirik ke Papa dan Mama. Mereka berdua tersenyum, aku tahu, meskipun terlahir di keluarga pengusaha, Papa sama Mama gak pernah memaksa aku untuk meneruskan bisnis keluarga. Semuanya terserah padaku. "Bagusnya gimana Pi?" Tanyaku. "Ya 3 tahun, biar makin mantep. Kaya Papi dulu." "Papi Rafi kalo udah bilang gitu artinya bener, Gara. Semuanya balik ke kamu. Mau yang mana? Kalau mau terusin jadi editor buku juga gak masalah." Ujar Papa. Ya, ini tahun terakhirku di Sambadha University (SU), selama ini aku sudah magang menjadi editor di salah satu penerbit buku. Dan, pekerjaan itu cukup menyenangkan. Untukku. Kemudian, suatu hari Papi Rafi memintaku menemaninya rapat karena asistennya, Bunda Hana sakit dan tidak bisa menemani Papi Rafi. Hari itu, aku menemukan hal lain yang kusukai. Melihat Papi Rafi bekerja, serius tapi santai, membuatku ingin terjun ke dunia bisnis. "It's on your blood, Gara. Tapi sama kaya yang Papa kamu bilang, terserah kamu. Kalo kamu mau ikutan kita bisnis, ya Papi yang paling seneng, ada temen soalnya. Kamu kan tahu Papa kamu sama Mami Bian kerjaannya duduk-duduk nyantai doang. Yang kerja semuanya Papi." "Yaudah, iya deh Pi. Ke London aja, 3 tahun." Kataku. "Goodboy!" Seru Papi. "Bener, Gara?" Mama yang dari tadi diam akhirnya buka suara. Aku mengangguk, mantap. "Gara selesaiin kuliah di sini dulu, biar Papi Rafi yang urus semuanya. Oke?" Kata Papa. "Kok gue sih Kak?" Ujar Papi. "Terus gue?" Mereka berdua pun langsung ngobrol layaknya kakak-adek pada umumnya. "Hehe yaudah iya, gue. Eh iya Gara nih mau S1 aja? Kenapa gak S2 aja ya? Kan lebih cepet jadinya. Gak apa kali S1 Sastra, S2 Bisnis." "Lo gimana sih? Gue mana ngerti!" Papa mulai emosi kalau Papi Rafi plin-plan gini. "Gue tanya Belinda deh, dia yang paham soal ginian. Tenang, Gara nanti tinggal belajar aja." "Tadi Papi bilang ada yang 2 tahun, itu apa Pi?" Tanyaku. "Kursus! Cuma dapet sertifikat doang, mending yang dapet ijazah yee?" "Raf, lo kalo gak bener ngurus anak gue, gue cincang ya lo!" "Iya, Kak. Santai ih! Lo kaya gak tau gue aja." "Yaudah, urusan Gara selesai ya?" Tanya Papa. "Iya selesai. Gara Wisuda di SU, tahun ajaran baru langsung lanjut di London." Papi Rafi bangkit dari kursinya, membawa piring kotor ke dapur, lalu tak lama kembali dengan sekaleng cola. "Gue belom beres ngomong, lo main pergi-pergi aja!" Seru Papa. "Gue aus, mau minum!" "Dûrgrimst jadi di Belanda?" Tanya Papa. "Jadi, Ben udah ke sana buat ngurus." Jawab Papi, aku udah mulai gak ngerti bahasan para orang tua ini. Kusudahi makan malamku, lalu meninggalkan meja, berjalan ke kamarku untuk menyendiri. Sebenarnya, ada hal yang kusembunyikan dari keluargaku. Dan aku masih terus bedebat dengan hati nuraniku. Aku tahu ada yang salah denganku, makanya aku ingin pergi, aku ingin sendiri untuk memperbaiki diriku. *** "Kakak?!" Aku menoleh dan melihat Yuri berjalan mendekat. Yurika Semesta Sambadha, adik yang hanya berselisih umur 1 tahun dariku. "Kenapa?" Tanyaku. "Bener mau ke London?" Aku mengangguk mantap, Yuri lalu duduk di kasurku. Menatapku dengan tatapan serius. Jarang banget Yuri serius, dia orang paling slengean yang aku kenal. "Kenapa?" Tanyaku lagi. "Beneran buat lanjutin kuliah kan? Bukan menghindar dari semuanya?" "Iya, lagian, menghindar apa coba?" "Aku tuh tau perasaan kakak sebenernya kaya apa, aku juga tau apa yang coba kakak tutupin, cuma, harusnya tuh diselesaiin baik-baik." Ujar Yuri. "Aku gak ngerti dek, kamu ngomongin apa." Kataku berpura-pura. "Kadang, hati nurani kita bisa salah Kak. Kita gak diwajibkan mengikuti kata hati kita. Jalani aja sesuai kodratnya. Oke?" "Apa sih, Dek! Gak nyambung!" Seruku. "Kakak tau aku lagi bahas apa, pokoknya Kak, aku cuma mau bilang, kalau hati nurani pun kadang bisa salah." Aku hanya mengangguk. Enggan berdebat dengan Yuri masalah ini. Malah, aku sudah tak ingin membahasnya. Aku hanya mau fokus membenahi hidupku. "Anter yuk, Kak? Mau beli cat warna." Pintanya. "Minta anter Mang Jupri aja dong!" "Gak, mau sama Kakak. Yuk?!" Aku turun dari kasur, mengambil celana panjang lalu mendobel celana pendek yang kukenakan. "Yuk, naik motor tapi ya?" Kataku sambil melempar sebuah jaket padanya. Yuri menerima lalu mengangguk. Sore ini aku dan Yuri menikmati jalanan Bali yang mulai sedikit macet, menuju toko kelontong favorit Yuri. Yurika ini pelukis, kata Papa darah seniman memang ada di keluarga kami, ada dari Papinya Mami Bianca. Aku memang tak mengenal sosok Daniel Sambadha, tapi Papa cukup menjelaskan kepada kami kalau Daniel Sambadha adalah pebisnis dan seniman yang sangat hebat. Dan Yuri, dia benar-benar pelukis yang hebat, semua karyanya terlihat sangat realistis. Aku parkir di pinggir jalan, lalu mengikuti Yuri masuk ke toko perlengkapan menggambar ini. "Yaah, Pinky Potter belum ada?" Tanya Yuri ke penjaga saat aku tiba di sampingnya. "Impor itu, kalo mau ya nunggu, paling seminggu, soalnya bos udah order dari kemarin pas stock warna abis." "Apa sih dek?" Tanyaku. "Ini, warna yang aku mau gak ada." "Cari yang lain aja!" "Nah, mau gak Yur? Bisa dapet kaya PP kalau nyampur dua warna, kita jajal dulu, kalo gak sama gak usah dibayar." Tawar penjaga tersebut. Yurika mengangguk lalu mereka beralih ke tempat lain. Aku berbalik, melihat-lihat toko ini. Namanya Warna-Art, toko ini hanya berukuran 5 kali 6 meter mungkin, tapi semua barang-barang tersusun rapi, dan banyak sekali benda unik yang ada di sini. Aku memandang ke lava lamp yang terpajang, unik karena di terdapat salju dibagian dalamnya. Kuambil lampu tersebut, menimang-nimangnya dengan sebelah tangan, lalu teringat seseorang yang sangat menyukai salju. "Kak? Dapet nih!" Seru Yuri, mengalihkan perhatianku dari lampu tersebut. "Udah? Sama?" "Iya sama, itu lampu mau dibeli apa liat doang?" Tanya Yuri. Aku membawa lampu tersebut ke kasir, sementara si penjaga membungkus cat warna yang Yuri beli dengan kertas koran, aku meletakkan lampu di meja. "Sekalian ini ya!" "Oke, Kak Gara!" Ujar penjaga tersebut dengan nada akrab. "Aku yang kenalin kamu!" Ujar Yuri. Aku mengangguk mengerti. Setelah semua barang dibungkus, Yuri membayar, dan aku langsung berjalan keluar untuk menyalakan motor. "Kak? Itu Vissa sama Papi ya?" Seru Yuri sambil berjalan mendekat. Aku mengarah ke ibu jari Yuri menunjuk. Dan terlihatlah seorang gadis manis dengan Papinya yang sibuk di dalam sebuah toko buku yang berada di kompleks pertokoan ini. "Samperin jangan?" Tanya Yuri. "Nanya gitu, kok sambil duduk di boncengan? Lanjut aja yuk? Nanti juga besok ketemu di rumah Nini." "Oke bagus! Berarti Kakak udah gak kecanduan Vissa lagi!" Yuri menepuk pundakku. "Apaan sih dek? Sok tahu!" Seruku lalu menjalankan motor. Kufokuskan diriku untuk melajukan motor ini dengan aman, mencoba tidak memikirkan si gadis buku tadi. Aku tahu, sangat tahu kalau hal ini tak bisa dipaksakan. Jadi, aku akan memaksa hatiku untuk tidak memikirkannya. Titik! *******

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dilamar Janda

read
319.5K
bc

Sang Pewaris

read
53.1K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.6K
bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

JANUARI

read
37.3K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.7M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook