Skalla-1

2110 Words
Selalu saja.. Desah cowok berdimple di kedua pipinya itu, dia baru saja melepaskan helm saat tiba di parkiran, tapi cewek-cewek SMA Bintang Mulia sudah berlomba-lomba untuk mendapatkan fotonya. Memangnya, siapa sih dia? Artis bukan, anak pejabat juga bukan, anak orang kaya apalagi. Dia hanya remaja biasa yang punya sedikit kelebihan, pintar dan tampan. Itu saja. Gevit, bukan cowok dingin seperti yang ada di novel-novel remaja, dia biasa saja. Pokoknya, apapun yang menyangkut Gevit menurut sang empu, biasa saja. Dia tidak pernah merasa lebih. "Ish! Kalian apa-apaan sih, pergi, pergi. Abang gue bukan objek foto kalian, hush!" Cowok itu menahan senyum saat dengan galak adiknya mengusir ciwi-ciwi Bintang Mulia, "Nggak usah galak-galak kali, kayak belum terbiasa aja sama kelakuan mereka" Gevit mendaratkan usapan di puncak kepala adiknya. Aletta, biasa dipanggil Letta, gadis manis berambut panjang, sama seperti sang kakak, dia juga punya dimple di kedua pipinya. "Abang sih, digituin diem aja. Usir kek sekali-kali, bikin mood gue turun pagi-pagi gini" "Yaudah santai dong, masih pagi udah ngegas mulu. Sini cium tangan dulu sama Abangnya" Letta menatap jijik ke arah tangan yang barusan disodorkan oleh Gevit. "Ini seriusan, Bang, lo nyuruh gue cium tangan?" Gevit mengangguk dengan wajah tanpa dosa sedikitpun. Tak mau durhaka, Letta pun menuruti keinginan sang kakak, dia mencium tangan, hanya sekilas. "Udah kan, gue ke kelas dulu, bye" Arah kelas Letta dan Gevit tidak sama, setelah memastikan adiknya hilang dari pandangan cowok itu menyugar rambut, lantas berjalan menuju kelas. Tanpa merasa sok keren, meski memang sudah keren dari lahir, sepanjang koridor banyak pasang mata yang terus saja mengawasinya. Sempat terpikir oleh Gevit untuk pindah ke sekolah khusus cowok dulu, tapi dia urungkan mengingat Mama nya yang sudah bekerja keras agar dia bisa bersekolah ditempat se-elit ini. Seperti biasa, sebelum ke kelas dia menyempatkan diri untuk mampir ke loker. Isi loker langsung berhamburan saat pintu terbuka, Gevit menggaruk hidungnya yang mendadak gatal. Dia menoleh ke samping kanan dan kiri, binar mata terpampang untuk dia dari ciwi Bintang Mulia. Gevit menghela nafas, berjongkok, memunguti coklat-coklat itu hingga bersih. Memasukan makanan itu ke dalam kantong kresek yang sudah dia siapkan dari rumah. "Kebangetan sih, yakali gue makan semua coklat ini" gumam Gevit, tangannya masih sibuk memasukan coklat batang yang harganya tidak murah. Ada beberapa coklat yang ia sisihkan untuk Letta nanti. Coklat hari ini tidak sebanyak biasanya, mungkin karena mereka mulai sadar kalau Gevit tidak akan pernah memakan semua coklat itu. Percuma beli mahal-mahal kalau ujung-ujungnya berakhir di perut teman-teman sekelas cowok itu. Langkah kaki Gevit memasuki ruang kelas, fasilitas Bintang Mulia memang patut diacungi jempol. Kelas unggulan yang kebetulan ditempati Gevit bentuknya lebih mirip ruang meeting lengkap dengan lcd dan juga 2 ac yang menempel di dinding. "SIAPA YANG MAU BOLEH AMBIL!!" Teriak remaja tampan berusia 18 tahun itu.  Teman-teman sekelasnya pun langsung berebut coklat itu, sementara sang empu berjalan menuju bangkunya. Di tangan cowok itu terdapat dua buah coklat putih dan greentea, dilemparkan nya coklat itu ke arah dua cowok yang sedari tadi duduk diam di kursi mereka masing-masing.  "Kapan sih mereka berhenti ngasih gue coklat kayak gitu" "Setelah lo lulus dari sini mungkin" jawab salah satu dari mereka. "Lagian, mereka dari anak keluarga kaya, coklat sebatang  mah harganya nggak bakal kerasa, Ge. Jadi santai aja sih" lanjut dia, menggigit coklat pemberian Gevit.  "Kalo cuma sekali mah gak berasa, lo bayangin aja kalo tiap hari mereka kasih ke gue, berapa uang yang udah mereka habiskan secara cuma-cuma?" Gevit duduk di bangkunya sendiri. "Oh iya, gimana sama dia?" Gevit melontarkan pertanyaannya pada cowok yang ada disampingnya, dia juga sahabat Gevit, tapi lebih irit bicara dari pada cowok satunya lagi.  "Tanya Leo tuh" jawab dia cuek, Gevit menoleh ke arah Leo "Gimana, Le?" "Apaan deh? Gue nggak paham" "t*i lo, cepetan ngomong" Leo menelan coklat yang sudah ia kunyah, netra sipit cowok itu menatap Gevit dengan intens "Jadi,.. sebenernya,.. dia,.." "Dia udah punya pacar" Gevit dan Leo spontan menoleh menatap Vero dengan tajam. "Kan, emang paling bener gue diem aja tadi" -Tahubulat- Siapa sih yang tidak mengenal Letta? Gadis cantik setengah jutek dan mendekati galak itu? Di semester satu kemarin, dia mendapatkan juara satu umum, dan itu sukses membuat namanya dikenal oleh guru, ditambah dengan eksistensinya sebagai adik dari seorang  Gevit sang most wanted sekolah. Banyak yang menyukai Letta, tapi sepertinya gadis itu tak tertarik sama sekali dengan yang namanya pacaran. Dia sudah nyaman dengan kehidupannya yang sekarang, kalaupun mau jalan-jalan tinggal menarik sang kakak untuk menemaninya, beres.  Menopang dagu dengan kedua tangan, Letta menatap ketiga sahabatnya dengan bosan. Mereka memang seperti itu, selalu mengandalkan jawaban PR nya. Tak pernah mau mengerjakan sendiri, Letta yang memang sudah sayang banget dengan Lisa, Sasha dan Angel pun hanya bisa pasrah melihat kerja kerasnya disalin seperti itu. Bukan hanya ketiga temannya, bahkan satu kelas mengandalkan jawaban gadis cantik itu. Gevit sudah berulang kali memperingatkan agar Letta tak terlalu lunak kepada teman-temannya, atau lebih baik dia pindah ke kelas unggulan pertama saja. Letta menolak dengan alasan dia ingin terus bersama ketiga sahabatnya. "Gue heran,--" "Nggak usah heran, Ta. Nggak guna juga!" sela cewek berkuncir kuda itu, dia mendongak menatap Letta, lantas nyengir. Letta yang geram pun akhirnya menoyor kepala Sasha dengan tak berperikemanusiaan. "Gue belum selesai ngomong ya, Cabe!" Sasha membanting bolpoin nya ke meja, lantas menatap Letta dengan tajam "Gue bukan cabe ya, inget itu" "Kalian bisa nggak sih nggak usah berisik! gue nggak bisa fokus nih" tegur Lisa menengahi, karena perdebatan Sasha dan Letta dia jadi tidak bisa konsentrasi menyalin PR. Sebentar lagi bel masuk berbunyi dan mereka pasti akan segera lari ke lapangan. Sasha melanjutkan menyalin PR nya, tak lama salah satu diantara ketiganya berseru "YESS!! Akhirnya gue selesai juga" dia menoleh menatap Letta "Terima kasih tuan putri, besok kalo ada ulangan Biologi lo tenang aja, tinggal panggil nama gue udah otomatis gue kasih jawaban ke elo" Angel berseru antusias. Ya, dia memang paling jago dalam pelajaran Biologi. Apalagi kalau materinya tentang alat reproduksi. Angel paham betul. "Yeu, Letta mah udah pinter. Nggak butuh contekan, gue nih yang selalu butuh, tolong kasihanilah hamba yang mulia tuan puteri" Sasha menatap Angel dengan mengeluarkan puppy eyesnya. "OGAH!!" Jawaban Angel membuat Lisa dan Letta melakukan tos bersama, mereka tertawa, sementara Sasha menatap ketiga teman laknatnya dengan garang "Awas aja kalian semua, pas ulangan fisika jangan harap gue bakal kasih contekan ke kalian" ancam Sasha yang sepertinya sungguh-sungguh. Letta segera merangkul pundak sahabatnya agar tidak jadi ngambek. "Udah dong, kita kan cuma bercanda, Sha. Lagi PMS ya lo?" "PMS mbahmu!" -Tahubulat- Tiga cowok tampan itu saat ini tengah berada di kantin, Gevit menelan saliva saat menatap gadis berambut panjang yang tengah duduk sendiri tak jauh dari tempatnya berada. Kedua sahabat laknatnya sedari tadi terus saja mendorong-dorong punggung Gevit agar cowok itu segera bangkit untuk mendekati gadis itu. Tapi Gevit tidak ingin, dia masih ragu. Apalagi si gadis sudah punya pacar membuat Gevit semakin tidak percaya diri. "Udah sana deketin!" Vero dan Leo masih kompak mendorong punggung Gevit. Prinsip mereka berdua, sebelum janur kuning melengkung maka sah-sah saja kalau Gevit mau mendekati dia. Toh Leo dan Vero pikir hubungan si gadis dan pacarnya hanya hubungan sepihak saja. Gadis itu sepertinya tidak suka dengan pacarnya yang sekarang. "Oke-oke, gue kesana tap—" Mereka bertiga hanya bisa melongo secara bersamaan saat melihat seorang cowok bertubuh tinggi duduk disamping si gadis. Tangan cowok itu cekatan mengambil tisu, lantas mengelap bibir gadisnya yang belepotan. Gevit yang melihat ke-uwu-an itu hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia benar-benar payah kalau menyangkut soal wanita. "Ah, telat! percuma punya wajah cakep tapi nggak pernah PD!" sela Leo kesal, sementara Vero kembali meneruskan makan siangnya yang sempat tertunda.  "Udahlah biarin aja, lagian gue nggak mau disangka orang ketiga diantara hubungan mereka" "t*i lo t*i!" seru Vero dan Leo bersamaan. Gevit tak peduli, tatapannya masih saja terfokus pada wajah cantik itu. Dia, Alena Putri. Gadis yang akhir-akhir ini membuat Gevit tertarik, entahlah. Mungkin karena selama ini dia kurang memperhatikan gadis-gadis di sekitarnya, Gevit baru tau tentang Alena sebulan yang lalu mungkin, setelah ujian Akhir Semester dilaksanakan. Sangat disayangkan, karena ini adalah semester akhirnya, dan seharusnya dia fokus ke ujian bukan ke cewek. Tapi mau gimana lagi, setiap menatap wajah Alena dari kejauhan, d**a Gevit selalu berdetak lebih cepat, dia benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Dan sepertinya dewi fortuna memihak, Alena adalah sahabat Leo. Rumah mereka bersebelahan, dengan bantuan orang dalam, Gevit berharap dia bisa mendekati Alena. Namun sampai saat ini, keinginan itu belum juga terlaksana. Selain Alena sudah punya pacar, dia tak punya keberanian sebesar itu untuk mendekati seorang gadis dengan eyes smile nya yang manis. "Lo kenal sama pacarnya Alena nggak, Le?" tanya Gevit penasaran. Leo mengangguk. "Kenal lah, dia kan anak futsal. Galaksi namanya" "Oh" "Insecure gue." Gevit menatap ke arah Alena dan Gala, cowok itu benar-benar memperlakukan Alena dengan baik dan begitu perhatian. Tatapan penuh cinta Gala hanya ditujukan untuk Alena seorang. "Udah lama mereka pacaran?" "Setahun lah kira-kira" Leo adalah sumber informasi terpercaya Gevit kalau menyangkut soal Alena. "Lo mah Insekyar, insekyur doang njir. Muka di atas SNI aja masih insekyur, apalagi gue" kali ini Vero yang berucap. Padahal kalau di lihat-lihat, Vero tak kalah tampannya dengan Gevit. Dengan rahang lancip serta hidung runcing, wajah Vero lebih mirip anime jepang. "Merendah untuk di tempeleng kalian tuh." Leo merotasikan bola matanya. Dia melempar kulit kacang ke arah Gevit dan Vero secara bersamaan. "Kalian kepikiran gak sih, kita udah kelas 3 bahkan udah masuk semester akhir yang bentar lagi bakalan lulus" "Terus?" Vero memicingkan mata nya, menatap penuh kewaspadaan. "Ya masa kita masih gini-gini aja, jomblo, kemana-mana selalu bertiga. Bahkan chat w******p gue juga isinya kalian bertiga. Close friend Insta gue juga kalian bertiga. Berasa simulasi nge-gay gue" Gevit yang gemas melempar sebungkus kerupuk ke arah Leo yang dengan sigap menangkapnya. "Random banget pikiran lo. Mau lulus tuh yang dipikirin pelajaran, bukan cewek, egeeee!!" lihatlah, Gevit sedang tidak sadar diri. "Tau tuh" timpal Vero mendukung pendapat Gevit. "Mana mikir nge gay segala lagi" "Gue terus perasaan yang salah" "YA EMANG ELU JAENAAAABB!" Gevit dan Vero kompak menoyor kepala Leo tanpa kasih, lantas mereka berdiri dan berlalu begitu saja.  "WOY! INI SIAPA YANG MAU BAYAR ANJJJ!!" u*****n sudah berada di ujung lidah, tapi saat tatapan seluruh kantin terarah padanya, Leo segera membungkam mulut cablaknya. "Apa lo lihat-lihat, mau bayarin?!"  Meski kesal, Leo tetap berjalan ke arah stan makanan dan membayar semua makanan yang tadi mereka makan. "Temen k*****t emang." -Tahubulat- Netra Gala dan Alena menatap adegan yang barusan terjadi, sudut Alena terangkat saat mendapati Leo misuh-misuh karena ditinggalkan oleh teman-temannya tanpa membayar makanan mereka. "Mereka tuh cakep-cakep, tapi rada sengklek ya kelakuannya" komentar Gala. "Hm?.." Alena menoleh ke arah Gala, lantas mengangguk. "Ah, iya. Temen-temen nya Leo emang suka gitu. Gue sering tuh lihat mereka rusuh di kamar Leo. Bahkan kadang Leo yang di kunciin di balkon sama mereka.. hahaha"  Gala menatap cantiknya gadis yang ada di depannya saat ini. Gadis yang setahun terakhir menemani hari-harinya. Gadis yang kala menceritakan kerandoman Leo dengan begitu semangat, juga gadis yang teramat sangat dicintainya.  "Lo kalo lagi ceritain Leo semangat banget ya, Al" "Eh? Iyakah? Sori." "Nggak masalah kalo itu bisa buat lo ketawa terus kayak gini" Alena hanya tersenyum mendengar penuturan Gala. Selama ini, Alena terpaksa menerima Gala karena papa yang meminta dia untuk menjalin hubungan dengan Gala. Untungnya, Gala mau mengerti, dia tidak menuntut banyak hal dari Alena termasuk hatinya. Gala itu dewasa banget, dia punya positive vibes yang begitu kuat. Berada di samping Gala, seakan jalan hidup di depan akan sangat mudah dilalui. Oleh karena itu, Alena nyaman-nyaman saja didekat cowok tampan bertubuh tinggi dan atletis itu. "Oh iya, Ga, kata papa weekend nanti keluarga lo mau ada acara kumpul keluarga besar ya?" "Iya, gue lupa mau kasih tau soal itu. Lo dateng ya" "Harus banget?" Gala menatap Alena sejenak, sebelum akhirnya mengembangkan senyum. "Nggak maksa kok, kalo lo mau kabari aja, kalo nggak ya nggak apa-apa" "As always, Ga. Lo selalu ngertiin posisi gue. Gue berharap banget suatu saat lo bisa ketemu sama cewek yang juga sebaik lo gini, dan tentunya yang tulus sayang sama lo" Tidak ada yang tau apa yang tengah dirasakan oleh Gala saat mendengar ucapan Alena barusan. Gala tidak ingin gadis lain, dia hanya ingin Alena. Tapi Gala juga tidak ingin Alena pergi darinya karena dia terlalu menggenggam erat seseorang yang bahkan tidak ingin ia pegang. "Udah bel, gue duluan ya." Gala mengusap rambut Alena pelan, sebelum akhirnya berjalan keluar dari kantin menuju kelas. Di tempatnya, Alena masih diam. Tangannya sibuk mengaduk sisa es jeruk yang es batunya sudah mencair semua. "Apapun yang terjadi nanti, nggak boleh ada kata menyesal, Al. Ini udah jalan yang di siapin sama papa buat lo" Alena bermonolog, sebelum akhirnya bangkit dan berjalan keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD