Satu - Pertemuan

1280 Words
Kutatap intens wajah lelaki yang sedang memohon dan berlutut di hadapanku. Dia menggenggam tangan kananku menggunakan kedua tangannya dengan sangat erat. Terlihat buliran air mata hendak jatuh dari sudut matanya. Raut wajahnya sangat menunjukan ketulusannya. Dia adalah Rayyan, suami yang sangat aku cintai. “Kya, aku mohon jangan pergi dari rumah ini. Jangan pernah kamu meninggalkan aku.” Dengan lirih Rayyan memohon padaku agar aku tidak pergi meninggalkannya. Aku menangadahkan pandanganku ke arah langit. Mencegah air mata yang sudah menggenang agar tidak turun membasahi pipiku. Aku tidak ingin lagi terlihat lemah. Aku harus menguatkan hatiku untuk mendapatkan kebahagiaanku. “Maaf.. Aku tidak bisa lagi hidup bersama dengan kamu mas..” Kulepaskan genggaman tangannya dan melangkah pergi dari hadapannya. Rayyan tentu saja tak tinggal diam dan mencegahku berkali-kali dengan cara menarik lenganku, memelukku dan mencoba mencium keningku. Tetapi aku juga terus menguatkan hatiku dan tetap pada pendirianku untuk meninggalkannya. Hingga pada akhirnya Rayyan berhenti mengejarku saat ibunya menarik lengannya dan membawanya masuk ke dalam rumah. “Jangan nangis.. jangan nangis Kyara.. Ini sudah keputusan yang tepat. Kamu harus bahagia..” aku membisikan kalimat tersebut untuk diriku sendiri. Kemudian kulanjutkan langkah kakiku tanpa menolehkan kepalaku lagi ke belakang.   ***   10 tahun yang lalu.. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Aku diterima di sebuah perusahaan asing sebagai staff purchasing. Aku tidak sendirian, kebetulan sekali salah satu teman baikku juga diterima di perusahaan yang sama denganku. Hanya berbeda divisi saja. Dia diterima sebagai staff administrasi project. “Kya, aku nervous nihh.. Bos nya galak gak ya Kya?” tanya Elsa padaku sambil menggoyang-goyangkan lenganku. “Semoga aja sih gak galak ya, Sa. Eh tapi biasanya kalau bagian administrasi project bosnya galak loh.” Aku sedikit menggoda teman baikku itu. Elsa adalah tipe orang yang sangat mudah khawatir, sehingga aku sangat senang menggoda dan menjahilinya. “Serius Kya? Kamu kenapa gak ngelamar di satu divisi sama aku sih? Jadi kan kamu bisa terus nemenin aku.” “Aku kan emang maunya jadi staff purchasing Sa. Alhamdulillah ini keterima, saingannya lumayan lah lulusan dari universitas bagus semua.” Jawabku sangat bersyukur. Karena memang sangat sulit untuk masuk ke perusahaan ini. Tes yang diberikan juga lumayan sulit. Apalagi sempat ada rumor jika perusahaan asing hanya menerima calon karyawan dari Universitas ternama saja. Sedangkan aku dan Elsa hanya lulusan dari universitas kecil yang tidak banyak orang tahu namanya. Kami berdua melamar ke perusahaan asing ini dengan bermodalkan nilai yang bagus. Bukan bermodalkan nama Universitas kami. Saat kami sedang asik berbincang, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki di belakang kami. “Ehem, kalau mau ngobrol jangan di depan pintu masuk! Jangan ngehalangi jalan! Gue mau masuk!” lelaki menyuruhku dan juga Elsa untuk tidak menghalangi jalannya. Salah kami juga yang mengobrol di depan pintu masuk. Tetapi kan bukan berarti dia harus menyuruh kami menyingkir dengan nada kesal seperti tadi. Aku dan Elsa pun menyingkir dan memberikannya jalan. Lelaki muda bertubuh tinggi dan tegap itu melewati kami dengan mengerlingkan matanya sinis pada kami. Elsa langsung ciut karena kerlingan mata si lelaki tersebut. Sedangkan aku hanya bisa mengerutkan dahiku membalas kerlingan matanya. Setelah lelaki tersebut menutup pintu masuknya, aku mengajak Elsa untuk ikut masuk ke dalam. Kami harus menemui manager HRD sebelum mulai bekerja. Aku ditempatkan di ruangan yang berada di lantai 3, sedangkan ruangan Elsa berada 1 lantai di bawahku. Sayang sekali kami harus berpisah karena divisi kami berbeda. Aku menarik nafas dalam sebelum memantapkan langkahku untuk memasuki ruangan di lantai 3. Banyak pasang mata yang melirik padaku. Ada juga yang terlihat berbisik-bisik di pojok ruangan sana. “Permisi mba, saya karyawan baru disini. Saya mau ketemu dengan pak Rayyan.” Dengan sopan aku bertanya pada seorang staff wanita yang sedang sibuk dengan mesin fotokopi di depanku. Wanita tersebut menolehkan kepalanya padaku. Menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kamu staff baru disini?” tanyanya seolah tak percaya. Lagipula kenapa dia tak percaya? “Iya mba, saya mau bertemu dengan Pak Rayyan. Boleh tau dimana ruangan Pak Rayyan?” “Tuh kamu lihat pintu di ujung sana? Nah Pak Rayyan ada disana.” Wanita tersebut menunjuk ke sebuah pintu berwarna cokelat tua di pojok ruangan lantai 3. “Oh yang itu ya mba? Makasih ya mba.” Aku sedikit membungkukan badanku saat mengucapkan terima kasih pada staf wanita tersebut. Kembali aku melangkahkan kakiku menuju ke tempat dimana Pak Rayyan berada. Beliau adalah orang yang kata sang Manager HRD bertanggung jawab di divisiku. Kini aku berdiri tepat di depan pintu ruangan Pak Rayyan. Kuhela nafas sesaat sebelum mengetuk pintu ruangan tersebut. Tok.. tok.. tok.. “Permisi pak” kataku setelah mengetuk pintu ruangan tersebut. “Masuk!” suara seorang lelaki menjawab dari dalam ruangan. “Kok suaranya kayak pernah denger ya?” gumamku sebelum membuka pintu ruangan Pak Rayyan. “Saya masuk ya Pak..” kuputar gagang pintu ke arah bawah untuk membuka pintu ruangan tersebut. “Permisi Pak, saya Kyara, staff purchasing yang baru.” Perkenalanku singkat pada seorang lelaki yang duduk membelakangi meja. Apa lelaki tersebut yang bernama Pak Rayyan? Lelaki tersebut kemudian memutar kursinya menghadap meja dan menatap wajahku. “Kamu staff purchasing yang baru?” katanya dengan tatapan sinisnya. “Apa? Dia yang namanya Pak Rayyan? Dia kan yang tadi menyuruhku menyingkir dari depan pintu masuk. Dan kenapa pula tatapannya begitu sinis padaku?” gumamku dalam hati. Aku tak menyangka jika lelaki yang tadi pagi aku temui di depan pintu masuk adalah orang yang akan menjadi atasanku. Orang yang akan bertanggung jawab di divisiku. “Mana surat pengantar dari HRD?” Pak Rayyan mengulurkan tangannya meminta surat pengantar kerja yang diberikan HRD. “Ini pak..” kuberikan sebuah amplop cokelat yang berisi surat pengantar beserta surat lamaran kerja dan juga curriculum vitae milikku. Pak Rayyan mengambil amplop tersebut dengan wajah sinis, lalu dia langsung membuka amplop tersebut dan melihat isi yang ada di dalamnya. Dia membaca surat pengantar juga surat lamaran kerjaku dengan seksama. Untuk sesaat aku terkesima dengan wajah tampan Pak Rayyan. “Ternyata Pak Rayyan ganteng juga ya. Sinis sih emang, tapi kalau lagi serius gitu gantengnya kebangetan.” Entah apa yang merasuki pikiranku sehingga aku dengan seenaknya menilai ketampanan atasanku ini. Kugelengkan pelan kepalaku untuk mengusir pikiran tadi. Ya, dia memang tampan. Tetapi dia atasanku. Aku harus menghormatinya dan tak boleh menilainya berlebihan. “Kamu masih fresh graduate ya? Ini HRD gak salah nerima orang kan?” seperti tak punya perasaan Pak Rayyan berkata seperti itu langsung padaku. “Maaf pak? Maksud bapak apa?” tanyaku. “Yakin kamu bisa kerja disini? Kamu baru banget lulus. Kerja disini gak bisa main-main.” Matanya menatapku seakan meremehkanku. Emosiku mulai tersulut. Memang aku bukanlah lulusan dari Universitas ternama dan belum mempunyai pengalaman kerja apapun. Tetapi aku sangat percaya dengan kemampuanku. Aku termasuk tipe orang yang belajar dengan cepat dan aku yakin aku akan bisa menguasai pekerjaanku ini dalam waktu singkat. “Maaf Pak Rayyan, saya bisa buktikan pada bapak jika saya memang pantas diterima di perusahaan ini. Bapak jangan meremehkan saya.” Tegasku. Pak Rayyan mengerlingkan matanya tajam padaku, lalu dia mengembalikan semua berkas beserta map cokelat yang sedang dilihatnya. “Yasudah sana ke tempatmu, nanti ada Kenan yang ngajarin kamu.” Ucapnya. Kemudian Pak Rayyan kembali memutar kursinya membelakangi meja sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Aku pun keluar dari ruangan Pak Rayyan dengan perasaan kesal. Kesal karena harus memiliki atasan sepertinya. Dia masih muda, pasti dia belum professional. Buktinya saja tadi dia langsung mengambil ponsel dan memainkannya saat jam kerja seperti ini. Terus saja aku mengumpat Pak Rayyan di dalam hati. Saat itu aku masih belum tahu jika pertemuanku dengan Rayyan adalah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Karena nantinya Rayyan adalah lelaki yang akan memenuhi hatiku dan juga akan menentukan kebahagiaanku kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD