2 - Siswi Baru

1305 Words
Anin mencicipi roti tawar yang ada di meja makan. Sarapan pagi ini tak pernah ia sukai. Makan di pagi hari selalu membuatnya mules dan pengen pup. Sayangnya, mama tak mengijinkan siapapun pergi tanpa makan.  “An, bilangin Tama buat ketemu kakak abis sekolah.” “Kakak mau ngapain?” “Kepo banget sih. Dia ada janji sama aku. Pokoknya bilangin. Eh, aku duluan ya.” Winda segera bersiap setelah roti di tangannya sudah habis. Winda kuliah  di salah satu universitas swasta di Jakarta. Tak seperti Anin, Winda itu sangat peduli dengan fashion. Dia selalu ready dengan tampilan cantik yang luar biasa. Meski begitu dia mengambil jurusan teknik karena menyukainya. Teman-teman Winda mayoritas laki-laki. Dia seperti simpenan saja. Anin menatap roti di tangannya dengan ogah-ogahan. Perutnya terus menolak untuk menerima makanan itu. Ia sedikit kepikiran dengan janji Winda dengan Tama. Suara sumbang terdengar begitu keras dan membuyarkan pikirannya. Tama sedang menunggu di depan rumah untuk berangkat sekolah bersama. As usually, mereka selalu berangkat bersama naik motor honda.  “Ma. aku cus ya!” “Kamu kemarin dari mana An?” “Gak kemana-mana.” “Kamu gak ke makam papa? Kalau mau kesana bisa bilangin mama sama Winda. Kita bisa sama-sama.” “Tapi mama sama Kak Winda seringan sibuk. Aku gak mau ganggu. Udah ya ma, aku pergi dulu.” Suasana hati Anin selalu kesal jika orang rumah selalu tak peduli dengan hari kematian papa. Mereka seakan sudah lupa pada papa. Akan bagaimana jika tak ada lagi yang mengunjungi papa? Sungguh mereka jahat. “Kenapa lo? Bete amat?”tanya Tama saat melihat wajah Anin ditekuk. Anin tak merespon dan langsung mengambil helm yang ada di tangan Tama. Tama yang tahu tentang itu memilih untuk diam sampai mereka tiba di sekolah. Ia berharap semoga saja Anin berubah mood setelah bertemu teman satu gengnya, Gena dan Trisna. Anin langsung duduk dibangkunya dengan wajah yang belum berubah. Ya, dia masih sedih dengan segala hal yang terjadi selama ini. Mama, Kak Winda tak pernah ingat papa. Mereka sangat jahat untuk disebut keluarga. “Anindya, tahu gak?”celoteh Gena saat tiba setelah Anin duduk. “Gak.” “Ish, kemarin Debby nanyain lo.” “Hah?” “Iya, dia bilang gini, eh tumben lo berdua doang. Anin kemana?” “Najis, perasaan dia gak pernah ngundang gue ke rumahnya.” “Tuh kan, abis itu dia nanya lagi, lo tahu Anin kemana? Gitu An, gue bingung dong. What’s going on with her.” Kebetulan Debby belum tiba di kelas. Cewek yang terbilang cantik itu ternyata punya kesan negatif padanya. “Gue gak cukup berani ngelabrak Debby. Wong jelas, kita bukan apa-apa Gen.” “Tapi bukan berarti lo gak bisa. Coba aja.” “Seisi kelas ini, lebih banyak yang pro sama dia. Ya, selain dia cantik, dia juga pintar. Sebelas dua belas sama Hasta.” “Hmm, iya juga sih. Tapi kan lo punya Tama si Ganteng Maut.” “Hahah, ledek terus. Entar lo ditabok Tama, emang mau?”Gena terkekeh. Sosok Tama yang konyol memang bisa dibuat lawakan receh. Badannya yang bagus terkesan biasa saja karena kekonyolannya.  Saat jam menunjukkan pukul 08.00 WIB, guru datang dengan kewibawaannya. Dia berdehem sebagai tanda bahwa sudah waktunya mempersiapkan diri untuk belajar. Ia meneliti setiap kelas yang tampak tentram dan hening. “Selamat pagi!” “Pagi pak!” “Hari ini kita kedatangan murid baru.” Semua orang terkesima dan langsung melirik ke arah pintu. Tak ada sosok yang muncul. Sepertinya ia sedang bersembunyi. Cowok-cowok langsung berdoa kencang, semoga saja murid baru itu cewek. Disisi lain, cewek-cewek juga berharap sebaliknya. Mereka akan siap menghadang lelaki tampan yang bisa mengalahkan Si Ganteng Maut. “Silahkan masuk…” Seseorang masuk kelas dengan langkahnya yang berkesan. Tak hanya itu, ia secantik bidadari. Senyumnya manis dengan lesung pipi melekat di wajahnya, rambut panjang yang lurus dan tentu saja body goals. Ia tersenyum manis setelah guru mempersilahkan masuk.  Hasta, Tama dan Anin saling pandang. Mereka mengenal cewek itu dengan satu pertemuan singkat yang membekas. Terlebih ada janji yang melekat pada Tama setelah bertemu cewek random itu. “Selamat pagi, nama saya Bunga Dewi. Semoga kita bisa berteman. Terima kasih.” “Hai Bunga…” “Cantik amat…” “Be mine Bunga.” Tanggapan kaum adam yang membuat seisi kelas tertawa. Kehadiran Bunga pasti akan memberi warna baru di kelas itu. Warna kelas yang awalnya abu-abu kini tampak berwarna dan menggairahkan. Mereka tak melepaskan pandangan dari Bunga. Bunga sendiri tampak menikmati pertunjukan itu. Percayalah bahwa bagi sebagian orang, menjadi pusat perhatian itu sangat membahagiakan. Bunga duduk di bangku kosong yang tepat ada di depan meja Tama dan Hasta. Sungguh suatu kebetulan yang luar biasa. “Hai,,,,”sapanya dengan kepercayaan diri tinggi. Tama dan Hasta saling lirik karena mereka tak menyangka bahwa cewek itu duluan yang menyapa. What happened? Aneh bukan? “Ah, hai…”balas mereka dengan kecanggungan yang luar biasa. Bunga kembali fokus pada penjelasan guru yang sudah mulai serius menjelaskan materi.  Hasta langsung menyikut Tama dengan kegaduhan. Kekagetan itu masih susah disembunyikan. Hasta ingin tertawa hebat tapi takut pada guru killer yang sedang mengajar itu. Ia menahan napas sekuat tenaga. Menahan tawa memang sangat menyakitkan. Coba saja jika tak percaya. ***** Tama, Hasta dan Anin berlarian di teras kelas. Seperti biasa, Tama membuat Anin kesal dengan mengekspresikan wajah Anin yang sungguh malang tadi pagi. Anin terus-terusan memukul pundak cowok itu dengan kekuatan maksimal. Siap-siap saja badannya akan memar karena tamparan powerful dari Anin.Mereka tiba di kantin yang masih sepi. Fakta yang jelas bahwa mereka bertiga adalah manusia yang paling doyan makan di sekolah. Ibu kantin saja tahu bahwa mereka adalah orang pertama yang setiap hari datang paling cepat saat bel istirahat berbunyi. “Ingat janjimu Tama Wijaya.”seru Anin senyum-senyum. “Takdir lo emang hebat Tam. bisa-bisanya ketemu sama cewek yang lo taksir untuk pertama kalinya. Namanya bagus lagi, Bunga.”seru Hasta sambil memperagakan memberi bunga pada Anin. “Gue jauh lebih syok. Walau gue senang sih, kapan lagi ketemu cewek cantik.” “Lo harus penuhi janji.”ucap Anin. “Iya An, tapi pedekate dulu. Gak baik baru ketemu langsung nembak.” “Awas lo ditikung cowok lain.Lo gak lihat tatapan seisi kelas kita tadi? Mereka juga mengincar Bunga Tam.”seru Hasta. “Udah, kalian berdua gak usah ikut campur. Biar waktu yang menjawab.”ucap Tama sok bijak. Sebenarnya, tujuan ketiga siswa itu buru-buru ke kantin adalah untuk menghindari fans bar-bar Tama yang luar biasa. Mereka tidak mau ada kemacetan masal di tempat itu. Bisa saja guru memanggil Tama ke ruang BK lagi. Dulu pernah ada kejadian kacau yang membuat Tama terjerat guru genit di ruang BK. Kejadiannya bermula dari sikap Tama yang menyapa fansnya dengan senyuman maut. Semua fans disapa dengan ramah seakan dia adalah member boyband korea. Kantin yang kacau dan tak beraturan jadi alasan guru memanggil Tama. Sampailah ia ke kantor BK dan disana ada guru muda bernama Bu Anisa. Dia memberikan tatapan aneh dan terus memperhatikan Tama. Well, cewek mana yang tidak tergoda dengan badan atletis Tama? Kejadian itu membuat Tama trauma. Baginya, ruang BK lebih horror dibanding tawuran antar sekolah. “Gena, Trisna, sini aja bareng!”ajak Anin saat melihat mereka berdua baru tiba di kantin. “Ogah, gue gak mau sebangku sama Si Ganteng Maut.”ucap Trisna. “Trisna kambing, padahal di dalam hati lo, gue cowok tampan kan?”balas Tama. “Idih, jangan kepedean lo Tam. Walau julukan lo Si Ganteng Maut, tapi di mata gue lo itu  cowok biasa yang tak berarti.” “Awas lo ya…” “Udah ah, gue duduk disana ya An.” “Iya Tris.”balas Anin kecewa. “Lo sih Tam, kenapa punya banyak fans sih? Risih tau.”ungkap Anin tak peduli.  Penolakan Trisna dan Gena bukan tanpa alasan. Mereka pernah satu meja dengan ketiga sahabat ini. Akhirnya, mereka dibenci oleh adik kelas yang fans banget dengan Tama. Kenapa Anin berbeda? Semua orang juga tahu bahwa mereka itu hanya sahabat yang tak mungkin bersama. Apalagi fakta yang menunjukkan bahwa Tama dan Anin sudah kenal sejak lahir ke dunia ini. Konsentrasi penuh pada makanan akhirnya buyar oleh kehadiran seseorang yang menyapa dengan suara seksinya. Bunga Dewi, siswa baru yang masih seumur jagung di sekolah ini. “Boleh duduk disini?”tanyanya. Diam. Hening. Tanpa suara. Tidak terkira. Unpredictable. Anin melirik ke arah Hasta dan Tama. Mereka berdua hanya terus diam. Dasar laki-laki. “Iya, boleh kok.”balas Anin dengan suaranya yang diatur dengan baik agar tak terlihat seperti kena panic attack. Ya, sudah seharusnya ia mengambil alih panggung sandiwara ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD