Lima Tahun Kemudian
Seorang gadis cilik berusia 5 tahun diam-diam membuka pintu kamar yang terletak tepat di samping kamarnya. Rutinitas yang dilakukannya setiap pagi.
"Papa...," gadis kecil itu menggosok matanya, tak percaya jika di kamar yang biasanya kosong, kini ada sosok pria yang berstatus ayah kandungnya. Pria itu sedang tertidur lelap dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Seseorang yang selalu dirindukan oleh gadis kecil itu setiap waktu akhirnya hadir di hadapannya. Ini benar-benar nyata. Sekali lagi ia menggosok mata dan mencubit pipinya. Ia tidak sedang bermimpi.
Ia kelihatan sangat senang. Ada binar bahagia di wajahnya. Selanjutnya, Ia berlari riang menuju kamarnya.
"Tante Muti...!" teriaknya cukup keras hingga mengagetkan wanita muda yang dipanggil dengan sebutan Tante Muti.
"Iya sayang, ada apa? Icha darimana? Tante cari-cari dari tadi malah menghilang, ayo sisir dulu rambutnya habis itu kita sarapan dan berangkat ke sekolah," ucap wanita muda berjilbab ungu yang bernama lengkap Mutiara itu membujuk anak bernama Icha.
"Ada Papa, Tante," ujar gadis cilik itu antusias.
"Papa?" Muti bertanya tak percaya sambil menatap Icha.
"Iya, lagi bobo," Icha mengangguk.
"Papa Icha kan di London belum pulang. Pulangnya minggu depan," ujar Muti. Gadis berusia 23 itu sudah mendengar berita rencana kepulangan Alfin.
"Kalau tidak percaya Tante lihat saja di kamarnya, Icha ga bohong! Beneran ada Papa lagi bobo," Icha menarik lengan pengasuhnya untuk menuju kamar sebelah. Muti segera mengikuti langkah Icha yang tak sabar untuk membuktikan kebenaran ucapannya.
Perlahan Icha membuka pintu kamar Alfin, ayahnya. Muti berdiri di ambang pintu, mengintipnya. Benar, di atas ranjang ada sosok pria muda sedang terlelap memeluk guling dengan dengkuran halus.
Mutiara tersenyum. Ia turut bahagia dengan kedatangan pria itu. Pria yang bukan hanya dirindukan oleh gadis ciliknya namun oleh dirinya juga.
"Benar kan ada Papa? Pokoknya hari ini Icha ga mau sekolah Icha mau main seharian bersama Papa," ucap Icha penuh semangat. Berbulan lamanya tak berjumpa membuat rindunya tak terbendung.
"Sayang, mainnya nanti saja ya pulang sekolah. Lagian Papanya juga lagi bobo," bujuk Muti setengah berbisik. Khawatir jika Alfin terbangun.
"Ga mau! Icha mau bangunin Papa." Icha bersikukuh.
Tanpa bisa dicegah ia berlari masuk ke dalam kamar ayahnya.
"Papa...Icha kangen sama Papa. Papa jangan pergi lagi!" bisik Icha. Gadis cilik itu lalu masuk ke dalam selimut ayahnya. Memeluknya erat seolah tak ingin lagi berpisah.
Seulas senyum terukir di bibir tipis Muti menyaksikan tingkah Icha. Ia lalu menutup pintu kamar dan membiarkan gadis cilik kesayangannya menghabiskan waktu dengan ayahnya melepas rindu yang telah lama tersimpan.
***
Alfin menggeliat sebelum terbangun dari tidurnya. Ia tidak sadar entah sejak kapan Icha berada di pelukannya.
Icha
Pria itu lalu mencium puncak kepala putri kecilnya penuh kasih. Aroma bayi perpaduan minyak telon dan bedak menyeruak memenuhi Indra penciumannya. Wangi yang selalu dirindukannya setiap saat. Seketika hatinya menghangat.
Tadi malam ia tak sempat bertemu karena anaknya sudah tidur.
"Papa..." Icha terbangun. Ia masih memeluk ayahnya.
"Icha ga sekolah?" Alfin bertanya setengah berbisik. Dilihatnya jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lebih seperempat.
"Engga, Icha mau main sama Papa saja. Icha kan kangen Papa. Icha sayang Papa. Papa jangan pergi jauh lagi ya!" ucap Icha lirih sambil mengelus pipi Alfin yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia menatapnya dengan tatapan memelas.
Ini adalah tatapan yang menggetarkan hatinya yang sulit untuk ditolak.
"Papa juga kangen sama Icha. Papa sayang Icha," sekali lagi ia mengecup puncak kepala sang anak. Menyalurkan perasaannya.
Entah kenapa jika berdekatan dengan putrinya dan menatap mata anaknya seketika ia merindukan ibu kandung anak itu. Matanya begitu indah mewarisi mata perempuan itu.
Alfin masih menyimpan perasaan cintanya untuk wanita yang sudah melahirkan Icha. Entah dimana keberadaannya saat ini.
Ia menyesali semua perbuatan di masa lalunya. Andai waktu bisa diputar mungkin ia sudah bahagia dengan keluarga kecilnya.
Sayangnya, itu hanya angan semata.
Ia telah kehilangan cintanya.
***
"Bunda kemana Mut?" tanya Alfin ketika mereka berada di ruang makan.
"Ke Solo Mas, pulangnya besok," jawab Muti ramah.
"Oh..."
"Mas Alfin tiba jam berapa? Saya kira Mas Alfin pulang minggu depan," Muti yang tak mengira jika Alfin pulang lebih cepat.
Gadis itu lalu menarik kursi di sebelah Icha. Dia hanya seorang Babysitter namun sudah dianggap keluarga oleh orang tua Alfin. Dialah yang merawat Icha sejak anak itu berumur 6 bulan.
"Tengah malam. Kalian semua sudah tidur dan aku tidak mau menganggu tidur nyenyak kalian." Alfin menjawab sambil menatap wajah Muti, wajah ayu keibuan. Siapa pun akan terpikat kepadanya, tapi tidak bagi Alfin. Muti hanya gadis baik hati yang tak pantas untuk dicintai olehnya. Ia menyayanginya sebagai adik atau teman.
Ketika pandangan Alfin dan Muti bertemu perasaan Muti tidak karuan. Ada getaran aneh di dadanya yang ia rasakan bertahun lamanya. Perasaan yang sulit untuk ditepis karena hadir begitu saja.
Muti selalu tidak tahan menatap Alfin terlalu lama. Gadis berjilbab ungu itu langsung menundukkan pandangannya. Ia tidak ingin perasaan hatinya semakin kacau hanya karena sebuah tatapan.
"Ayo Icha makan yang banyak ya, tadi pagi kan ga sarapan. Ini sudah setengah sepuluh." Dengan telaten Muti mengambilkan nasi untuk Icha.
"Iya Tante, Icha mau makan sayur bayam sama telor bulatnya ya." Icha menunjuk makanan kesukaannya.
"Nih habisin makanannya."Muti menyodorkan pesanan Icha.
"Siap. Tapi mau disuapin." Ia merengek manja layaknya seorang anak kecil kepada ibunya.
"Icha makan sendiri, kan Tante Muti juga mau makan." Alfin merasa tak enak hati.
"Saya masih kenyang Mas, ga apa-apa biar saya suapin Icha." Muti tak keberatan. Mengurus Icha adalah kewajibannya. Ia tak pernah merasa keberatan dengan segala sifat manja khas anak-anak.
"Jangan terlalu dimanjakan!" Alfin kurang suka dengan sikap Muti. Ia tak ingin anaknya terlalu ketergantungan kepada Muti.
"Icha anak pinter biasanya makan sendiri, tidak tahu kenapa hari ini jadi manja. Mungkin karena ada Papanya," ucap Muti tersenyum. Ia dengan telaten menyuapi Icha layaknya seorang ibu kepada anaknya.
Bagi Icha Muti adalah segalanya. Ia sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Begitu pun dengan Muti, Icha adalah hal terindah yang pernah dimilikinya. Ia anak bungsu di keluarganya mungkin ini yang menjadi salah satu alasan ia sangat menyayangi Icha.
"Papa, hari ini kita jalan-jalan yuk!" ajak Icha antusias. Entah kapan terakhir kali keduanya menghabiskan waktu bersama.
"Iya. tapi habiskan dulu makannya!" Tentu saja Alfin pasti mengabulkan permintaan anaknya. Apalagi mereka sudah lama tak bertemu.
***
Icha sudah berdandan rapi bersiap untuk pergi dengan ayahnya.
"Tante Muti ga ikut?" Icha menatap Muti. Pengasuhnya itu tampak belum bersiap-siap masih mengenakan setelan rumahan.
"Engga, Icha saja yang pergi sama Papa. Tante masih punya banyak pekerjaan." Muti menjawab dengan tersenyum.
"Ini tasnya,"
Muti lalu memberikan tas bekal untuk Icha.
Terlihat wajah kecewa Icha.
"Yah, Tante ga asyik banget sih," seru Icha
"Di dalam berisi makanan dan minuman juga baju ganti Icha," beritahu Muti kepada Alfin. Kemana pun pergi Muti tak pernah lupa dengan keperluan Icha.
"Makasih," ucap Alfin. Ia merasa lega karena selama ini putrinya memiliki seorang pengasuh yang baik.
Muti sengaja tidak ikut karena ingin memberikan ruang untuk mereka berdua agar bisa lebih dekat. Alfin dan Icha jarang sekali bertemu. Selain itu Muti juga tidak ingin terbawa suasana karena terlalu lama berdekatan dengan Alfin.
"Muti aku pergi dulu ya," pamit Alfin.
"Hati-hati ya Mas," jawab Muti pendek seraya menahan getaran aneh di dadanya.
"Dag Tante!" Icha menyalami Muti.
"Dag Icha, jangan nakal ya! Nurut sama Papa!" pesan Muti.
" Assalamu'alaikum."
" Waalaikumsalam."
Icha masuk mobil ayahnya diiringi oleh pandangan Muti yang melambaikan tangannya.
Ia berharap semoga mereka selalu bersama untuk selamanya.
***
Kedua orang tua Alfin sudah kembali berada di rumah setelah melakukan perjalanan bisnis ke Solo.
"Bunda senang akhirnya kamu pulang." Bu Sarah menatap anak bungsunya. Lima tahun sudah Alfin menempuh pendidikan di negeri Ratu Elizabeth itu. Kini, ia akan memulai hidup baru di Jakarta dan kembali berkumpul bersama keluarga tercinta.
Alfin, ayah dan ibunya berada di kamar Alfin. Mereka melepas rindu.
"Mulai minggu depan kamu kerja di kantor Ayah ya!" ucap Pak Ali ayah Alfin memberikan instruksi. Sudah sejak lama ia membutuhkan pendamping untuk mengurus perusahaannya. Alfin merupakan sosok calon penggantinya di masa depan.
"Baik Yah." Alfin mengangguk setuju. Sejak berstatus menjadi seorang ayah sikap Alfin berubah 180 derajat. Ia menjadi anak penurut dan tidak lagi berani macam-macam.
"Satu hal lagi, sebaiknya kamu segera pikirkan tentang pernikahan kamu. Kamu sudah cukup umur untuk berumah tangga." Bu Sarah menyinggung masalah status Alfin saat ini.
"Bunda bercanda ya, menikah? Alfin belum punya calon Bund. Lagian umur Alfin kan baru 24. Alfin belum siap berumah tangga." Alfin tampak keberatan dengan keinginan sang Ibunda. Ia belum mapan.
"Kamu tidak perlu mencari calon karena sudah ada Mutiara yang siap menjadi istri dan ibu untuk Icha. Bunda mau kamu segera menikahinya. Orang tuanya juga setuju," ucap Bu Sarah. Tentu saja Alfin kaget. Orang tuanya berencana menjodohkan dirinya dengan pengasuh anaknya. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan olehnya.
"Iya Ayah setuju, Muti gadis yang baik, lembut dan penuh kasih sayang. 4 tahun lebih ia merawat Icha. Icha juga sangat menyayanginya. Dia juga gadis yang sholehah" Sang Ayah menimpali dengan wajah berbinar.
"Tapi Alfin tidak mencintai Muti Yah. Ayah dan Bu da tidak perlu menjodohkan kami!" ucap Alfin keberatan.
Ia menolak dijodoh-jodohkan.
"Cinta itu bisa datang nanti setelah kalian menikah. Pikiran masa depan Anissa. Ia butuh keluarga yang lengkap. Lagipula kamu tidak malu apa dengan status kamu yang bujangan tapi sudah punya anak. Hanya Mutiara yang bisa menerima kamu apa adanya. Menerima Icha dan juga masa lalu kamu." Bu Sarah bicara panjang lebar menyinggung status putranya.
Alfin kehilangan kata-katanya. Ingin ia mendebat mereka tapi percuma saja.
"Ya sudah kami mau istirahat dulu, pikirkan baik-baik usulan kami!" Bu Sarah berdiri diikuti oleh suaminya lalu keluar dari kamar putra bungsunya.
****
TBC