TMIYC-2-

1913 Words
Mengapa hidup berlaku tidak adil padanya? Lihatlah orang lain yang seumuran dengan dirinya. Nongkrong di cafe, bersenda gurau dengan banyak perempuan cantik yang tentu saja bukan perempuan-perempuan tak kasat mata yang selalu mengerumuninya. Memang, namanya perempuan. Sama. Namun bentuk mereka sama sekali tidak bisa dikatakan demikian. Axelion melajukan motornya kembali setelah lampu yang semula merah, kini berubah hijau. Menuju tempat yang dikatakan Gulung, untuk menemui pelanggannya yang katanya, berani memberikan nominal uang berapa pun asal dirinya bisa membantu. Demi uang kost yang dua bulan ke belakang masih menuggak dan melihat persediaan beras yang semakin menipis, Lion rela menuju ke tempat sepi seperti ini. Sebentar. Sebenarnya saat ini ia ada di mana? Ke mana ia melajukan motor tadi hingga sampai ke tempat sepi seperti ini? Pohon di sepanjang jalan yang tertutup dedaunan yang berguguran, hembusan angin yang terus membawa daun-daun itu untuk terbang, dan hanya ada satu bangunan yang terlihat kosong di hadapannya. Melihat gawai, Lion mengerutkan alis setelah tempat yang saat ini ia pijak tidak terdaftar di aplikasi penunjuk arah. Seingatnya, sebelum lampu merah ia masih mengikuti arahan dari aplikasi itu. Namun setelah itu dirinya tidak sadar dan tahu-tahu sudah menghentikan motornya di tempat ini. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. ‘Masuk saja ke dalam. Aku menunggu di sini.’ Lion menatap sekitar, tentu saja tidak ada orang lain selain dirinya yang berdiri di samping motor yang sudah distandarkan. Lalu matanya memandang bangunan dengan pagar yang sudah diselimuti tumbuhan merambat hingga atas. Kakinya melangkah mendekati bangunan itu. Sekali lagi gawainya berbunyi, menandakan ada satu pesan yang masuk lagi. Setelah yakin jika ada orang yang sedang menunggunya di dalam sana, Lion membuka pagar menjulang itu yang langsung terbuka tanpa harus memerlukan kunci lagi. Dengan sekali dorongan, pagar itu terbuka. Satu langkah ia melewati batas pagar dan halaman luar, suasana langsung berubah. Bangunan menyeramkan di depannya juga ikut berubah. Seperti melihat dua gambat yang berbeda, satu gambar memperlihatkan foto yang diambil oleh kamera jadul yang hanya bisa menjepret dengan warna hitam putih, dan satu gambar memperlihatkan pemandangan yang jernih dengan kamera digital yang bisa diedit dengan berbagai efek. Seperti itu pula yang diarakan Lion saat ini. Laki-laki itu tetap melangkahkan kaki hingga mencapai daun pintu yang terbuat dari jati mengkilap. Tidak ada debu atau bekas tembok yang mengelupas seperti yang sebelumnya ia lihat dari luar. Mengapa ia tidak merasa takut akan keadaan yang berubah drastis seperti ini? Jawabannya, karena sudah terbiasa. Ia sudah terbiasa melakukan perjalanan waktu seperti ini. Namun ada sedikit perbedaan dari pengalaman sebelumnya. Saat ini, ia tidak harus memejamkan mata terlebih dahulu dan berkonsentrasi untuk dapat menembus dinding waktu yang membawanya berpindah tempat. Ia memasukinya begitu saja. Dengan sangat mudah. Dengan tiba-tiba, pintu di depannya terbuka begitu saja tanpa harus ia sentuh seperti gerbang di depan sana. Suasana mulai berbeda. Aura dingin langsung menyergapnya setelah menginjakkan kaki ke dalam. Kerongkongannya tiba-tiba terasa sangat kering. Suasananya dingin, namun entah mengapa keringat justru membasahi dahi dan lehernya. Laki-laki itu mengusap tetesan keringat yang timbul. Mulai merasa ragu saat tidak melihat siapa pun di dalam sini. Lion membalikkan badan dengan hati-hati. Biasanya, ruang geraknya saat melakukan perjalanan waktu seperti ini memang terbatas. Jadi, segala sesuatu yang terjadi di waktu ini harus dilewati dengan penuh kehati-hatian. “Kemarilah,” ujar seseorang yang langsung menghentikan langkahnya di depan pintu. Lion terdiam, tidak berani menolehkan kepala ke belakang lagi. Karena sangat yakin jika di sana tidak ada orang lain. Namun suara itu semakin nyata dan memanggilnya sekali lagi. Kali ini dengan kekehan pelan yang semakin membuat bulu kuduknya meremang seketika. “Lihatlah mukaku sebentar.” “Kamu siapa?” Lion memberanikan diri untuk menoleh meski dengan tangan gemetar bukan main. Dengar? Suara tawa itu malah semakin jelas. “Apa yang kamu takutkan? Aku ini manusia, sama sepertimu.” Suara itu kembali terdengar. Lion yang semula menutup mata meski sudah kembali menoleh ke belakang mencoba membuka matanya perlahan. Dimulai dari mata kanan yang terbuka. Mengintip sedikit. “Aku ada di sampingmu.” Laki-laki itu terlonjak bukan main saat menemukan seorang wanita tua yang rambutnya sudah beruban dengan kulit wajah keriput, namun cara berdirinya masih tegap. Sejak kapan wanita itu berdiri di sebelahnya? Demi sarapannya yang hanya memakan sepotong roti sisa si gembrot, Lion berani sumpah jika saat masuk ke dalam sini, wanita itu tidak ada di sana. Tidak ada siapa pun di sampingnya. Mencoba meneliti wanita itu dari atas kepala hingga telapak kaki di bawah sana yang masih ragu untuk dilihatnya. Karena meski sudah terbiasa berhadapan dengan makhluk tak kasat mata, Lion tidak siap jika harus mendapati bahwa kaki wanita tua di hadapannya ini melayang tidak menapak di tanah. Dimulai dari topi cloche coklat yang dikenakan wanita di hadapannya, rambut putihnya yang terjuntai di atas pundak, kemudian pakaian jadul bak wanita yang hidup di zaman lima puluhan, rok di bawah lutut dengan motif polkadot dan baju balon berwarna senada dengan topi yang dikenakannya, Lion bersiap untuk melihat kakinya di bawah sana. Sudah menyiapkan tekad jika setelah ini ia akan- “Sudah dibilang, aku ini manusia sepertimu.” Wanita itu mengetukkan sepatu pantofelnya ke lantai. Membuat Lion memegang d**a merasa lega. “Syukurlah, akuk kira dia sudah mati,” gumam laki-laki itu yang langsung ditanggapi dengan kekehan dari wanita itu. Lion terhenyak kaget. Waw, di umur yang ia taksir lebih dari tujuh puluh tahun, pendengaran wanita tua itu masih berfungsi dengan baik. Padahal ia yakin suaranya hanya bisa terdengar oleh diri sendiri. “Aku juga menginginkan hal itu. Namun agaknya, Tuhan memberikanku umur yang sangat panjang, sepanjang mie pangsit kesukaanku. Masih belum bisa diputuskan oleh sekali gigit,” ujarnya kemudian. Kaki yang terbalut stoking berwarna saru dengan kaki. Wanita itu bergerak ke tengah ruangan. Di mana ada sofa yang melingkari satu meja. Entah keberanian dari mana, kaki Lion juga mengikutinya begitu saja. Seperti dua magnet yang saling bertemu. Tertarik begitu saja. “Namaku Hilda,” ucap wanita dengan satu kaki disilangkan di atas kaki satunya. Lion mengangguk pelan. “Kalau saya-“ “Axel. Axelion. Benar?” Wah. Dari mana Hilda mengetahui namanya? Selama melakukan pekerjaan sebagai pria panggilan, untuk mengusir hantu yang mengganggu maksudnya. Ia tidak pernah memberi tahukan namanya kepada orang lain. Lagi pula, untuk apa juga mereka mengetahui namanya? Mereka hanya membutuhkan jasanya saja, tidak lebih. “Tidak perlu kaget. Aku mengetahuinya dari temanmu. Memangnya aku siapa, yang bisa asal menebak namun penuh kebenaran?” Hilda tertawa kembali. Lion mengakui, jika wanita itu memiliki selera humor yang sangat rendah. Sedari tadi Lion merasa ketakutan berada di tempat antah berantah yang bahkan ia tidak tahu mengapa harus berhenti di depan bangunan yang mengerikan seperti ini. Lalu lihatlah wanita tua yang selalu ceria sedari tadi. Bahkan tertawa meski tidak ada sesuatu yang menurutnya patut untuk ditertawakan. “Sudah mendengar alasan aku ingin menemuimu seorang diri?” Laki-laki itu menggeleng. “Tidak. Saya tidak mengetahuinya. Saya hanya diberi tahu untuk datang saja ke alamat yang Anda berikan.” Lagi, Hilda tertawa pelan. “Santai saja, Anak Muda yang tampan. Tidak usah berbicara formal seperti itu. Anggap saja kita seumuran.” Axelion tertawa tanpa diminta. Nah, yang satu ini baru lucu. Bah! Anggap saja kita seumuran dari sebelah mananya? Dilihat dari style pakaian saja sudah terasa jauhnya. Apalagi disandingkan dengan wajah mereka. Giliran Hilda yang tidak tertawa saat ini meskipun Anak Muda Yang Tampan di seberangnya sedang menahan tawanya dengan telapak tangan yang menutupi mulut. Sadar dengan tatapan Hilda yang memperhatikannya dengan sorot dingin, Lion berdeham kecil untuk mengusir gelitik pelan di perutnya. “Mohon maaf,” ujarnya sembari melipat bibir ke dalam. “Mari kita bicarakan saja tentang apa yang Nenek-“ “Hush! Jangan panggil aku seperti wanita tua yang rambutnya sudah berubah dengan kulit keriput seperti itu. Kamu sangat tidak sopan, Anak Muda. Kamu tidak melihat penampilanku yang modis seperti ini?” Tangan keriput Hilda mengelus baju hingga roknya sebatas paha. Sekali lagi, Lion harus mencubit lengannya untuk mengenyahkan perasaan ingin terbahak sekeras-kerasnya. “Aku harus memanggil nen- Anda apa, kalau begitu?” “Ya panggil nama saja.” Mata Lion sedikit membesar saat mendengarnya. Sebagai anak sopan, ia tidak menyukai ide itu. Bagaimana bisa memanggil nenek tua dengan sebutan nama secara langsung tanpa embel-embel panggilan sopan di depannya? “Kenapa, tidak suka?” “Tidak,” ujar Lion. “Ck, ribet sekali anak muda jaman sekarang.” “Bukan begitu maksudnya. Saya tidak keberatan memanggil nama langsung. Tapi, apa ..., boleh seperti itu?” Hilda memutar matanya jengah. “Aneh sekali anak muda di depanku, lihatlah dia seperti kucing jalanan yang disodori ikan segar namun menolaknya,” ujar wanita itu berbisik ke sebelah kiri. Di mana tidak ada siapa pun di sana. “Las, kamu mending pergi ke kamarmu lagi. Biarkan aku berbicara berdua dengan anak ini.” Terkejut untuk yang kedua kali, Lion benar-benar merinding saat ini. Hilda sedang berbicara dengan siapa? Kemudian kepalanya seolah mendapatkan ide brilian. Baru teringat, bagaimana caranya wanita tua seperti Hilda bisa mengajaknya bertemu di tempat yang tidak terjangkau di aplikasi penunjuk arah? Pakaiannya yang aneh, dan saat ini berbicara seorang diri. Apakah perempuan itu adalah hantu jadi-jadian yang sedang menipunya? Axelion baru menyadari jika mereka paling bisa mengelabui manusia. Benar, wanita tua di depannya ini pasti bukan dari kalangan hantu receh yang bisa langsung ia deteksi dalam sekali lihat. Karena ada sebagian makhluk yang bisa menipunya seperti ini. Golongan dari kasta tertinggi dunia tak kasat mata. Iblis. Mata Lion mengitari ruangan sekitar. Melihat apakah suasana di sana berubah menjadi tempat lain semacam kerajaan iblis dan dia yang sedang dijadikan korban untuk ikut ke dunia kegelapan itu? “Ck! Sudah dibilang aku ini manusia, masih tidak percaya juga.” Lion tersadar dan kembali dari lamunan mengerikannya. Melihat ke depan, tempat Hilda tadi duduk. Tidak ada, wanita itu tidak lagi duduk di sana. “Aku di sini.” “Hah!” Laki-laki malang itu meloncat dari duduknya saat menemukan Hilda sudah berada di samping kiri. Tepat bersebelahan dengan tempatnya duduk. “Dengarkan aku. Aku membutuhkan bantuanmu untuk mengurus tempat ini mulai dari sekarang. Bagaimana, kamu bersedia?” Sebentar, Lion masih harus mengambil napas terlebih dahulu untuk melonggarkan rasa kagetnya. “Mengurus tempat ini?” Kening laki-laki penuh keringat di leher itu berkerut dalam. “Tentu saja bukan untuk menjadi tukang bersih-bersih seperti yang saat ini ada di pikiranmu.” Oh, waw. Sekali lagi Lion terpana akan kemampuan Hilda yang bisa membaca pikirannya dengan mudah. “Aku memiliki penawaran yang sangat bagus untukmu jika mau mengambil pekerjaan yang anak aku sebutkan sebentar lagi.” “Apa?” Lion menggeser duduknya untuk menatap Hilda dengan pandangan penuh. “Apa pun yang kamu mau.” “Apa pun?” Tanya Lion untuk lebih meyakinkan. Hilda mengangguk penuh sebagai jawaban. “Aku memiliki harta yang banyak. Ada dua unit apartemen juga. Kamu boleh memilikinya jika berhasil menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik. Bagaimana?” Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya kepada Lion. Dengan sorot mata yang tidak ada penyesalan sekali ketika menawarkan sejumlah harta dan apartemen yang mana saat mendengarnya saja, jantung Lion sudah hampir copot dari tempatnya. Bagaimana tidak? Upah yang ia dapat paling besar dari pekerjaan pengusir hantu saja paling mencapai dua juta. Lalu ini, apartemen? “Setuju?” “Pekerjaan apa yang harus aku lakukan?” Hilda menjauhkan badannya kembali. Memberi sekat antara dirinya dan Lion. “Tapi masa kerjanya tidak tentu sampai kapan. Kamu harus menyelesaikannya hingga akhir setelah menerima tawaranku.” Mengangguk kaku, Lion masih menunggu jawaban yang keluar dari mulut bergincu merah Hilda. “Jadilah seorang pengantar.” “Pengantar?” “Iya. Pengantar arwah. Mengantarkan mereka untuk menyeberang.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD